Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
Dalam sebuah hadits disebutkan :
2). Bacaan yang disebutkan dalam hadits ‘Aisyah yang diriwayatkan oleh alBukhari dan Muslim :
3). Bacaan yang disebutkan dalam hadits ‘Aisyah yang diriwayatkan oleh Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dan AnNasaa’I 40:
4). Bacaan dalam ruku’ dan sujud yang disebutkan dalam hadits ‘Auf bin Malik alAsyja’i yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ahmad, dan AnNasaa’i 57:
5) Bacaan sujud berdasarkan hadits Ali Bin Abi Tholib yang diriwayatkan oleh Muslim, Ahmad, AtTirmidzi, Abu Dawud, AnNasaa’I, Ibnu Majah58:
Rincian makna :
6) Bacaan sujud yang disebutkan dalam hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan Muslim, Abu Dawud :
Rincian Makna :
Penjelasan :  
57. Lafadz hadits ‘Auf bin Malik al-‘Asyja’i :
58. Lafadz hadits ‘Ali bin Abi Tholib :
62. Dalil tentang disyariatkannya sholat istikharah adalah :
(Abu Utsman Kharisman)
Referensi:
http://itishom.web.id
أَقْرَبُ مَا يَكُوْنُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ 
     “  Paling dekatnya seorang hamba kepada Allah adalah pada waktu dia sujud,  maka perbanyaklah doa (pada saat itu) “(H.R Muslim dari Abu Hurairah)
          Beberapa lafadz bacaan dalam sujud yang disyariatkan oleh Nabi adalah :
1) Bacaan yang disebutkan dalam hadits Hudzaifah yang diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, dan AnNasaa’i 56:
سُبْحَانَ رَبِّيَ اْلأَعْلَى
“Maha Suci Tuhanku yang Maha (Paling) Tinggi “
          Sebagaimana dijelaskan pada bacaan ruku’ sebelumnya, tidak ada batasan jumlah bilangan mengucapkannya, namun disesuaikan dengan panjang/lamanya sujud.
Penjelasan :
          Dalam  bacaan ini kita nyatakan bahwa Allah adalah Yang Paling Tinggi di atas  segala-galanya. Dialah Yang Tertinggi dalam Dzat maupun SifatNya. Tidak  ada yang lebih tinggi dari Allah dalam dzat maupun SifatNya. 
          Sifat Allah berada pada puncak kesempurnaan yang tidak ada kekurangan, cela, maupun aib sedikitpun. Dalam AlQuran disebutkan :
...وَِللهِ اْلمَثَلُ اْلأَعْلَى وَهُوَ اْلعَزِيْزُ اْلحَكِيْمُ
" … Dan bagi Allahlah permisalan (sifat)  yang tertinggi, dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana “(Q.S AnNahl :60)
          Dalam  hal dzat, Allah adalah yang tertinggi di atas segala-galanya. Lafadz  bacaan dalam sujud ini sebagai salah satu dalil dari AsSunnah merupakan  salah satu jawaban atas sebuah pertanyaan : ‘di manakah Allah ?’. Jika  pertanyaan ini ditanyakan kepada kebanyakan kaum muslimin, jangan heran  jika kita mendapati beragam jawaban. Ada yang menyatakan : ‘Allah ada di  mana-mana’ atau ‘ Allah ada di hati tiap manusia’. 
          Jika  Allah ada di mana-mana berarti Allah ada di masjid, di rumah kita, di  pasar, di jalan-jalan yang becek, atau bahkan lebih parah lagi akan  berada di tempat-tempat yang manusia sendiri merasa tidak layak berada  di tempat itu ! Jika Allah berada di hati manusia maka Allah akan  berkumpul dengan makhluk yang manusia sendiri akan lari darinya.  Sebagaimana disebutkan dalam atsar Sahabat Ibnu Abbas bahwa syaitan  mendekam dalam hati manusia yang lalai. Beliau berkata :
الشَّيْطَانُ جَاثِمٌ عَلَى قَلْبِ ابْنِ آدَمَ فَإِذَا سَهَا وَغَفَلَ وَسْوَسَ فَإِذَا ذَكَرَ اللهَ خَنَسَ 
“  Syaitan mendekam dalam hati anak Adam. Jika anak Adam tersebut lupa  (berdzikir) dan lalai dia akan menimbulkan perasaan was-was, jika anak  Adam tersebut mengingat Allah (berdzikir) ia akan menghilang” (perkataan Ibnu Abbas ini disebutkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnafnya (7/135), Ibnu Jarir  AtThobary dalam tafsirnya (30/355), dan Ibnu Katsir dalam tafsirnya (4/576))
          Maha  Suci Allah atas segala persangkaan yang tidak berdasar tersebut. Maha  Tinggi Allah dari segala penisbatan yang tidak layak bagiNya.  Pemahaman-pemahaman yang keliru semacam ini akan menimbulkan I’tiqad dan aqidah yang keliru pula. Padahal kekeliruan dalam masalah aqidah bisa  berakibat fatal. Seseorang yang yakin bahwa Allah ada di hati setiap  manusia bisa jadi akan merasa bahwa Allah telah menyatu dalam jasadnya.  Hal ini akan menggiring seseorang pada aqidah wihdatul wujud / ‘manunggaling kawula lan gusti’ yang sudah disepakati oleh para Ulama’ sebagai aqidah kufur. 
          Secara  fitrah manusia meyakini bahwa Allah berada di puncak ketinggian.  Seseorang yang berdoa akan menengadahkan tangannya menghadap langit.  Memang demikianlah dalil-dalil dalam AlQuran maupun al-Hadits yang  shohih menjelaskannya. Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman :
أَأَمِنْتُمْ مَّنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ اْلأَرْضَ ...
“Apakah  kalian merasa aman dari Yang Di Atas Langit (Allah) untuk menimpakan  adzab kepada kalian dengan menimbun kalian dengan tanah (bumi)?”(Q.S.  AlMulk : 16)
Dalam sebuah hadits disebutkan :
عَنْ  مُعَاوِيَةَ بْنِ اْلحَكَمِ أَنَّهُ لَمَّا جَاءَ بِتِلْكَ اْلجَارِيَةِ  السَّوْدَاءَ قاَلَ لَهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  أَيْنَ اللهُ قَالَتْ فِي السَّمَاءِ قَالَ مَنْ أَنَا قَالَتْ أَنْتَ  رَسُوْلُ اللهِ قَالَ أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ  
“Dari  Mu’awiyah bin al-Hakam bahwasanya dia mendatangi Rasulullah dengan  membawa seorang budak wanita hitam. Kemudian Rasulullah shollallaahu  ‘alaihi wasallam bertanya pada budak wanita tersebut:’ Di mana Allah?’  Budak itu menjawab,’Di atas langit’ . Rasul bertanya lagi,’Siapakah  aku?’ Budak itu menjawab,’Engkau adalah utusan Allah’.Maka Rasul  berkata: ’Merdekakanlah ia karena ia adalah mukminah (wanita beriman)’ (H.R Ahmad, Muslim, Abu Dawud, AnNasaai, Malik, dan AsySyafi’i)
Rasulullah  shollallaahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda ketika membagikan  harta rampasan perang dan sebagian kaum merasa tidak puas dengan  pembagian itu:
أَلاَ تَأْمَنُوْنِي وَأَنَا أَمِيْنٌ مَنْ فِي السَّمَاءِ يَأْتِيْنِي خَبَرُ السَّمَاءِ صَبَاحًا وَمَسَاءً
“Tidakkah  kalian mempercayai aku, padahal aku adalah kepercayaan dari Yang Ada Di  Atas Langit?. Datang kepadaku khobar (wahyu) dari langit setiap pagi  dan sore”
(H.R. Bukhari,Muslim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban,AtTirmidzi,AdDaarimi, Abu Dawud, Ibnu Majah)
(H.R. Bukhari,Muslim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban,AtTirmidzi,AdDaarimi, Abu Dawud, Ibnu Majah)
          Para  Ulama’ menjelaskan bahwa Allah berada di atas langit dan Dialah Yang  tertinggi di atas segala-galanya sesuai dengan dalil-dalil di atas  termasuk hadits bacaan sujud ini. Namun, Allah sangat dekat dengan  hambaNya dalam arti Dia Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Mengetahui  seluruh gerak-gerik hambaNya, bahkan yang sekedar terbesit dalam benak  dan terlintas dalam pikirannya. Ia senantiasa bersama kita karena kita  senantiasa dalam pengawasanNya, dan di bawah KekuasaanNya. Untuk  orang-orang yang beriman dan bertaqwa kebersamaan dan kedekatan Allah  ini memiliki arti tambahan dan lebih khusus yaitu Allah juga senantiasa  menolong, membimbing, dan memberikan taufiq kepada mereka. Penjelasan para Ulama’ ini berlandaskan dalil-dalil di antaranya :
وَلَقَدْ خَلَقْنَا اْلإِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ اْلوَرِيْدِ
“Dan  sungguh Kami telah menciptakan manusia dan Kami Maha Mengetahui segala  yang terbesit dalam jiwanya, dan Kami lebih dekat kepadanya dibandingkan  urat lehernya” (Q.S Qoof: 16)
وَإِذَا  سَأَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّي فَإِنِّي قَرِيْبٌ أُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ  إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيْبُوْا لِيْ وَلْيُؤْمِنُوْا بِيْ لَعَلَّهُمْ  يَرْشُدُوْنَ 
“ Dan jika hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, katakan bahwa sesungguhnya Aku dekat. Aku  akan mengabulkan do’a orang yang berdo’a jika ia meminta kepadaKu. Maka  hendaknya mereka memenuhi seruanKu dan beriman kepadaKu supaya mereka  mendapatkan petunjuk “(
Q.S. AlBaqoroh :186)
Q.S. AlBaqoroh :186)
هُوَ  الَّذِيْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ  اسْتَوَى عَلَى اْلعَرْشِ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي اْلأَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيْهَا وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ  وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ 
“Dialah  Allah Yang Menciptakan langit dan bumi dalam 6 hari kemudian Ia  beristiwa’ di atas ‘Arsy. Dia Mengetahui segala sesuatu yang masuk ke  dalam bumi, segala sesuatu yang keluar dari bumi, segala sesuatu yang  turun dari langit, segala sesuatu yang naik ke langit. Dan Dia selalu bersama kalian di manapun kalian berada, dan Allah Maha Melihat segala sesuatu yang kalian lakukan” (Q.S AlHadiid : 4)
Janganlah  kita lengah, lalai dan menyangka ada di antara aktivitas kita yang  tidak diketahui Allah. Jika kita melakukan perbincangan rahasia  sekalipun dengan beberapa orang tertentu, ketahuilah sesungguhnya bukan  hanya orang-orang tertentu itu saja yang tahu, tapi juga Allah. Sebagaimana tersebut dalam ayatNya yang mulia :
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي اْلأَرْضِ مَا يَكُوْنُ مِنْ نَجْوَى  ثَلاَثَةٍ  إِلاَّ هُوَ رَابِعُهُمْ وَلاَ خَمْسَةٍ إِلاَّ هُوَ سَادِسُهُمْ وَلاَ  أَدْنَى مِنْ ذَلِكَ وَلاَ أَكْثَرَ إِلاَّ هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا  كَانُوْا ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوْا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّ  اللهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ  
“Tidakkah  mereka melihat bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu di langit dan  di bumi. Tidaklah ada 3 orang yang berbisik (berbincang) kecuali  Dia-lah yang ke-empat, dan tidak pula ada 5 orang kecuali Dialah Yang  ke-enam, tidaklah kurang atau lebih dari itu kecuali Dia selalu bersama mereka di manapun mereka berada. Kemudian  akan dikhabarkan kepada mereka segala sesuatu yang telah mereka  kerjakan nanti pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui  segala sesuatu”(Q.S Al-Mujaadilah : 7)
Allah Subhaanahu WaTa’ala memberikan ancaman keras kepada orang-orang munafiq : 
يَسْتَخْفُوْنَ مِنَ النَّاسِ وَلاَ يَسْتَخْفُوْنَ مِنَ اللهِ وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُوْنَ مَا لاَ يَرْضَى مِنَ اْلقَوْلِ وَ كَانَ اللهُ بِمَا يَعْمَلُوْنَ مُحِيْطًا
“Mereka bisa bersembunyi dari manusia namun tidak bisa bersembunyi dari Allah. Dan Dialah Allah yang bersama mereka  ketika mereka merahasiakan ucapan-ucapan yang tidak diridlai. Dan  adalah Allah ilmuNya meliputi segala yang mereka lakukan”(Q.S AnNisaa’  :108)  
Bagaimana bisa kita menghindar dan bersembunyi dari Allah, padahal Dialah Allah Yang Maha Mengetahui segala sesuatu :
يَعْلَمُ خَائِنَةَ اْلأَعْيُنِ وَمَاتُخْفِي الصُّدُوْرُ
“Dialah Allah Yang Mengetahui mata yang berkhianat dan segala yang tersembunyi dalam dada”(Q.S AlMu’min :19)
Pendengaran Allah juga meliputi segala macam dan jenis suara. Bahkan, salah seorang wanita paling mulia, dan Ummahaatul Mu’minin (Ibunda kaum beriman), Aisyah radliyallaahu ‘anha pernah memberikan persaksian yang demikian menakjubkan.
Persaksian tersebut berkaitan dengan firman Allah:
قَدْ سَمِعَ اللهُ قَوْلَ الَّتِيْ تُجَادِلُكَ فِيْ زَوْجِهَا وَتَشْتَكِيْ إِلَى اللهِ وَاللهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا إِنَّ اللهَ سَمِيْعٌ بَصِيْرٌ
“Sungguh  Allah telah mendengar perkataan seorang wanita yang mendebatmu tentang  suaminya dan dia mengadu kepada Allah, dan Allah Maha Mendengar  percakapan kalian berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha  Melihat”(Q.S Al-Mujaadilah : 1)
‘Aisyah radliyallaahu ‘anha berkata : ’Segala  puji bagi Allah Yang PendengaranNya meliputi segala macam suara.  Sungguh telah datang al-Mujaadilah (seorang wanita yang mendebat dan  mengajak diskusi) kepada Nabi Shollallaahu ‘alaihi wasallam. Ia  berbicara pada Nabi, dan aku berada di samping rumah. Aku tidak bisa  mendengar (secara jelas) apa yang mereka perbincangkan. Tapi kemudian  Allah turunkan : …surat AlMujaadilah sampai akhir ayat. (H.R Ahmad, AnNasaai, dan Ibnu Maajah, disebutkan oleh Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya (8/27) disebutkan pula dalam kitab As-Shoohihul Musnad min Asbaabin Nuzuul). 
Dalam riwayat yang lain ‘Aisyah berkata : “Maha  Suci (Allah) Yang Pendengarannya mampu menjangkau segala sesuatu. Aku  mendengar perkataan Khoulah binti Tsa’labah dan sebagian ucapannya tidak  terdengar olehku…”
          Subhaanallah….kita perhatikan, saudaraku kaum muslimin….
          ‘Aisyah,  istri Rasul yang berada di samping rumah dan mendengar sebagian  perbincangan tersebut dalam jarak yang cukup dekat, ternyata Allah jauh  lebih bisa mendengar dari ketinggian DzatNya. Bahkan, kemudian Allah  turunkan surat AlMujaadilah, yang menceritakan kisah perbincangan  tersebut secara rinci dan menurunkan hukum yang harusnya dilaksanakan  terkait dengan masalah yang diperbincangkan tersebut secara gamblang,  mendetail, dan jelas. 
            Demikianlah,  Allah berada pada puncak ketinggian yang tidak ada yang lebih tinggi  dari Dia, namun Dia sangat dekat dengan hambaNya. Kita rasakan kedekatan  Allah dalam sujud ini dengan ungkapan keyakinan melalui lisan dan hati  kita bahwa Allah adalah Yang Tertinggi dalam Dzat dan SifatNya.
2). Bacaan yang disebutkan dalam hadits ‘Aisyah yang diriwayatkan oleh alBukhari dan Muslim :
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي
“Maha Suci Engkau Yaa Allah Tuhan kami dan kami memujiMu, Yaa Allah ampunilah aku “ 
(Penjelasannya bisa anda simak kembali pada bacaan ruku’)
3). Bacaan yang disebutkan dalam hadits ‘Aisyah yang diriwayatkan oleh Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dan AnNasaa’I 40:
سُبُّوْحٌ قُدُّوْسٌ رَبُّ اْلمَلاَئِكَةِ وَالرُّوْحِ
“ Maha Suci dan Maha Bersih Tuhannya Malaikat dan Ruh (Jibril) “
(Penjelasannya bisa anda simak kembali pada bacaan ruku’)
4). Bacaan dalam ruku’ dan sujud yang disebutkan dalam hadits ‘Auf bin Malik alAsyja’i yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ahmad, dan AnNasaa’i 57:
سُبْحَانَ ذِي اْلجَبَرُوْتِ وَاْلمَلَكُوْتِ وَالْكِبْرِيَاءِ وَاْلعَظَمَةِ 
“ Maha Suci (Allah) Yang memiliki kemampuan untuk menundukkan, kepemilikan dan kekuasaan yang mutlak, kekuasaan, dan keagungan”
(Penjelasannya bisa anda simak kembali pada bacaan ruku’)
5) Bacaan sujud berdasarkan hadits Ali Bin Abi Tholib yang diriwayatkan oleh Muslim, Ahmad, AtTirmidzi, Abu Dawud, AnNasaa’I, Ibnu Majah58:
اللَّهُمَّ  لَكَ سَجَدْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَلَكَ أَسْلَمْتُ سَجَدَ وَجْهِيَ  لِلَّذِيْ خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ تَبَارَكَ  اللهُ أَحْسَنُ اْلخَالِقِيْنَ 
“ Yaa Allah, (hanya) kepadaMu aku sujud, dan (hanya) kepadaMu aku beriman, dan (hanya) kepadaMu aku menyerahkan diriku. Wajahku  sujud kepada Yang Menciptakannya, dan membentuknya, dan Yang membuka  pendengaran dan penglihatannya. Allahlah Penentu dan Sumber segala  keberkahan yang melimpah dan Ia adalah sebaik-baik Pencipta “
Rincian makna :
اللَّهُمَّ لَكَ سَجَدْتُ =  Yaa Allah (hanya) kepadaMu aku sujud 
وَبِكَ آمَنْتُ =  dan (hanya) kepadaMu aku beriman 
وَلَكَ أَسْلَمْتُ = dan (hanya) kepadaMu aku menyerahkan diriku 
سَجَدَ وَجْهِيَ =  wajahku sujud 
لِلَّذِيْ خَلَقَهُ = kepada Yang Menciptakannya 
وَصَوَّرَهُ = dan Yang Membentuknya 
وَشَقَّ سَمْعَهُ = dan Yang Membuka pendengarannya 
وَبَصَرَهُ = dan (Yang Membuka) penglihatannya 
تَبَارَكَ اللهُ = Allahlah Penentu dan sumber keberkahan 
أَحْسَنُ اْلخَالِقِيْنَ = (Dia) adalah sebaik-baik Pencipta 
Penjelasan :
          Kita  nyatakan bahwa hanya kepadaNyalah kita sujud karena ketundukan mutlak  kita serahkan kepadaNya tidak kepada yang lain, dan memang sujud kepada  selain Allah adalah suatu hal yang terlarang dalam syariat Islam. Dalam  sebuah hadits disebutkan :
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِيْ أَوْفَى قَالَ لَمَّا قَدِمَ مُعَاذٌ مِنَ الشَّامِ سَجَدَ لِلنَّبِيِّ  صَلَّى  اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا هَذَا يَا مُعَاذُ قَالَ أَتَيْتُ  الشَّامَ فَوَافَقَتْهُمْ يَسْجُدُوْنَ ِلأَسَاقَفَتِهِمْ  وَبَطَارِقَتِهِمْ فَوَدِدْتُ فِيْ نَفْسِيْ أَنْ نَفْعَلَ ذَلِكَ بِكَ  فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  فَلاَ  تَفْعَلُوْا فَإِنِّيْ لَوْ كُنْتُ آمِرًا أًحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِغَيْرِ  اللهِ َلأَمَرْتُ اْلمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا وَالَّذِيْ  نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ تُؤَدِّي اْلمَرْأَةُ حَقَّ رَبِّهَا حَتَّى  تُؤَدِّيْ حَقَّ زَوْجِهَا وَلَوْ سَأَلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَى  قَتَبٍ لَمْ تَمْنَعْهُ (رواه أحمد و ابن ماجه)
“  Dari Abdullah bin Abi Aufa beliau berkata : ‘ketika Mu’adz (bin Jabal)  datang dari Syam ia langsung sujud pada Nabi Shollallaahu ‘alaihi  wasallam . ( Melihat hal itu) Rasulullah bertanya : ‘Apa yang kau  lakukan ini wahai Mu’adz? Mu’adz berkata: ‘Aku telah mendatangi  Syam, (dan melihat) penduduk di sana sujud kepada uskup-uskup mereka dan  pemimpin-pemimpin mereka. Maka timbul keinginan dalam  diriku untuk mengerjakan hal ini (sujud) terhadapmu’. Rasulullah  Shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : ‘Janganlah kalian  melakukannya’. Kalau seandainya aku (boleh) memerintahkan kepada  sesoerang (manusia) untuk sujud kepada selain Allah, niscaya aku akan  memerintahkan wanita untuk sujud kepada suaminya. Demi Dzat Yang jiwaku  berada di tangannya, tidaklah seorang wanita menunaikan hak Tuhannya  sampai ia menunaikan hak suaminya. Kalau seandainya suaminya meminta  dirinya, meskipun (saat itu) dirinya berada di atas pelana (kendaraan)  hendaknya ia tidak menghalanginya” (H.R Ahmad dan Ibnu Majah, al-Imam  Asy-Syaukani menyatakan bahwa sanad hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah  sholih (baik))  
          Kemudian  kita nyatakan bahwa hanya kepada Allahlah kita beriman. Beriman kepada  Allah hanya bisa tercapai jika dilakukan pula sikap mengkufuri (tidak  beriman kepada) thaghut . Hal ini sesuai dengan firman Allah Subhaanahu Wa Ta’ala :
...فَمَنْ  يَكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْ بِاللهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ  بِاْلعُرْوَةِ اْلوُثْقَى لاَ انْفِصَامَ لَهَا وَاللهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ )البقرة :256) 
“  …Barangsiapa yang kufur terhadap thaghut (segala sesuatu yang disembah  selain Allah) dan beriman kepada Allah, maka sungguh ia telah berpegang  teguh dengan tali yang kokoh, yang tidak terlepaskan. Dan Allah adalah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui “(Q.S AlBaqoroh : 256)  
...يُرِيْدُوْنَ أَنْ يَتَحَاكَمُوْا إِلَى الطَّاغُوْتِ وَ قَدْ أُمِرُوْا أَنْ يَكْفُرُوْا بِهِ ...
“…Mereka menginginkan untuk berhukum kepada thaghut padahal mereka diperintahkan untuk mengkufurinya …”(Q.S AnNisaa’:60)
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِيْ كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُوْلاً أَنِ اعْبُدُوْا اللهَ وَاجْتَنِبُوْا الطَّاغُوْتَ 
“  Dan sungguh telah kami utus pada setiap umat Rasul, supaya (menyeru  ummatnya agar) menyembah Allah (semata) dan menjauhi thaghut “(Q.S  AnNahl :36)
وَالَّذِيْنَ  اجْتَنَبُوْا الطَّاغُوْتَ أَنْ يَّعْبُدُوْهَا وَأَنَابُوْا إِلَى اللهِ  لَهُمُ اْلبُشْرَى فَبَشِّرْ عِبَادِ (17) الَّذِيْنَ يَسْتَمِعُوْنَ  اْلقَوْلَ فَيَتَّبِعُوْنَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِيْنَ هَدَاهُمُ  اللهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُوْا اْلأَلْبَابِ (18)
“  Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (dengan tidak) beribadah  kepadanya, dan mereka kembali (inabah) kepada Allah, bagi mereka kabar  gembira. Berilah kabar gembira pada hambaKu yang  mendengarkan ucapan dan mengikutinya dengan baik. Mereka adalah  orang-orang yang Allah beri hidayah dan mereka adalah orang-orang yang  berakal “ (Q.S AzZumar : 17-18)
          Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah merangkumkan penjelasan para ‘Ulama terdahulu di antaranya dari kalangan para Sahabat dan tabi’in dalam mendefinisikan thaghut : “ segala sesuatu (makhluk) yang diperlakukan melampaui batas dalam hal disembah(diibadahi), diikuti, dan ditaati”59
          Segala sesuatu yang disembah selain Allah adalah thaghut. Manusia  yang dikultuskan dan diikuti secara mutlak walaupun bertentangan dengan  AlQuran dan AsSunnah, dan dia mengajak manusia secara terang-terangan  untuk mengikuti penyimpangan dari AlQuran dan as-Sunnah, sehingga  menghalalkan yang diharamkan Allah dan mengharamkan yang dihalalkan  Allah, maka dia termasuk thaghut. 
          Hal  semacam ini serupa dengan yang disabdakan Rasulullah kepada Sahabat  ‘Adi bin Hatim yang dulunya beragama Nashrani. Suatu ketika Nabi  membacakan padanya ayat :
اتَّخَذُوْا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّنْ دُوْنِ اللهِ ...
“ Mereka menjadikan pendeta-pendeta dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah …”(Q.S AtTaubah :31)
‘Adi bin Hatim heran dan berkata : ‘kami (dulu) tidak menyembah mereka’. Rasulullah berkata :
أَلَيْسَ يُحَرِّمُوْنَ مَا أَحَلَّ اللهُ فَتُحَرِّمُوْنَهُ وَيُحِلُّوْنَ مَا حَرَّمَ اللهُ فَتُحِلُّوْنَهُ  
“  Bukankah (ketika pendeta dan rahib-rahib itu) mengharamkan apa yang  dihalalkan Allah, kalian (ikut) mengharamkannya, dan (ketika pendeta dan  rahib-rahib itu) menghalalkan yang diharamkan Allah, kalian (ikut)  menghalalkannya ?”
‘Adi bin Hatim menjawab : Ya, benar. Rasul bersabda :
فَتِلْكَ عِبَادَتُهُم 
“ maka itulah peribadatan mereka (kepada pendeta dan rahib-rahib itu)” (H.R Ahmad ,atTirmidzi dan beliau menghasankannya).
          Maka  kita mengikuti Ulama’ sebagai pewaris para Nabi ketika mereka  benar-benar konsisten dalam menjalankan AlQuran dan AsSunnah. Namun,  jika mereka justru mengajak pada penyimpangan terhadap AlQuran dan  Sunnah Rasulillah Shollallaahu ‘alaihi wasallam dan memperkenalkan  ajaran-ajaran baru dalam peribadatan yang tidak pernah dikenal oleh Nabi  dan para SahabatNya, kita tidak diperbolehkan mengikutinya. Hal ini  disebabkan kita khawatir terjerumus pada sikap menuhankan mereka ketika  seluruh yang mereka sampaikan -tidak peduli sesuai atau tidak dengan  ajaran Islam- kita ikuti sepenuhnya tanpa reserve, bahkan mengalahkan  ketundukan kita pada ajaran Allah dan Rasul-Nya.
          Seorang  pemimpin/ raja yang memimpin rakyatnya dengan menetapkan hukum tidak  sesuai dengan aturan dari Allah dan Rasul-Nya, dalam keadaan dia tahu  adanya penyimpangan tersebut dan dia berkeyakinan bahwa hukum yang dia  buat lebih baik dari hukum Allah, kemudian dia memaksa rakyatnya untuk  mengikutinya dan memberikan hukuman bagi yang tidak melaksanakannya, dan  dia mewajibkan secara mutlak bagi rakyatnya untuk mengikuti seluruh  aturan-aturannya walaupun bertentangan dengan AlQuran dan AsSunnah, maka  dia bisa dikategorikan sebagai thaghut. 
          Sungguh indah teladan dari para Khulafa’ur Rasyidin (Abu Bakr, Umar, Utsman, dan ‘Ali –radliyallaahu ‘anhum ‘ajma’iin)  dan  para Sahabat Nabi yang menjadi pemimpin, mereka senantiasa berpesan  agar ditegur dan diingatkan jika dalam pelaksanaan pemerintahannya  terjadi penyimpangan terhadap AlQuran dan Sunnah Nabi. Ketika terjadi  kekhilafan dalam pemerintahan mereka dan para Sahabat yang lain  menasehati mereka dengan menyampaikan hujjah berupa firman Allah dan  Sabda Rasulullah, mereka adalah orang-orang pertama yang langsung sadar  ketika diingatkan dan kembali pada jalur yang Allah tetapkan.Mereka  tidak mengajak rakyatnya untuk patuh secara mutlak pada aturan-aturan  yang mereka buat, namun aturan yang wajib diikuti adalah aturan yang  tidak bertentangan dengan aturan Allah dan Rasul-Nya. 
          Sebagai rakyat, kita wajib mengikuti pemimpin-pemimpin kita (ulil amri) ketika mereka memerintahkan dalam  hal-hal yang ma’ruf dan berguna bagi kemaslahatan umat serta tidak bertentangan dengan aturan Allah dan RasulNya. Allah Subhaanabu wa Ta’ala berfirman :
يَأَيُّهَا  الَّذِيْنَ آمَنُوْا أَطِيْعُوا اللهَ وَأَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَأُولِي  اْلأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ إِلَى  اللهِ وَالرَّسُوْلِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَاْليَوْمِ  اْلآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَّأَحْسَنُ تَأْوِيْلاً (النساء : 59)
“ Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah ar-Rasul dan pemimpin (ulil amri) di antara kalian.  Jika kalian berselisih pendapat tentang suatu permasalahan, maka  kembalikanlah kepada Allah (AlQuran) dan ar-Rasul (AsSunnah) jika kalian  memang beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian adalah lebih  baik dan lebih baik (pula) akibatnya “(Q.S AnNisaa’:59)
          Selanjutnya, dalam lafadz bacaan sujud ini kita menyatakan :
وَلَكَ أَسْلَمْتُ 
“ dan (hanya) kepadaMu aku berserah diri “
          Seharusnya  hanya kepada Allahlah kita pasrahkan hidup kita, karena kita yakin  hidup dan mati kita adalah untuk Allah, diri kita adalah milikNya, dan  kepadaNya kita akan dikembalikan. Kita bertawakkal kepadaNya dengan  mengupayakan berbagai hal yang memang Allah jadikan hal itu sebagai  sebab (syar’i maupun qodari –bisa disimak kembali penjelasannya pada bagian AlFatihah-) untuk  mencapai hal yang kita inginkan. Namun, kaum muslimin masih banyak yang  menjadikan sesuatu sebagai sebab padahal hal itu tidak Allah jadikan  sebagai sebab syar’i ataupun qodari. Hal tersebut bisa menafikan kesempurnaan iman bahkan iman secara kesempurnaan. 
          Banyak di antara mereka yang menggunakan jimat, susuk, dan yang semisalnya. Banyak pula yang menentukan keputusannya untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu secara tathoyyur. Tathoyyur adalah  menyandarkan keputusan untuk berbuat atau tidak berbuat, atau merasa  pesimis atau optimis terhadap keberhasilan sesuatu berdasarkan suatu  kejadian, perilaku binatang, waktu, tempat, dan semisalnya. 
Tathoyyur secara bahasa berasal dari at-Thoyr yang artinya  burung.  Hal ini sesuai dengan kebiasaan bangsa arab terdahulu yang bersikap  pesimis atau optimis untuk berbuat sesuatu dengan cara melepaskan seekor  burung terbang ke udara. Jika burung tadi terbang menuju tempat  tertentu yang dituju atau ke arah kanan, mereka merasa optimis untuk  melakukan sesuatu, jika tidak, mereka akan pesimis sehingga mengurungkan  niatnya untuk berbuat 60.      
Kepercayaan  –kepercayaan arab tersebut dihapus dengan adanya syariat Islam yang  dibawa oleh para Nabi, dan Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam  melarang keras kepercayaan-kepercayaan semacam itu. Dalam sebuah hadits disebutkan :
...لاَ طِيَرَةَ وَلاَهَامَةَ وَلاَ صَفَرَ (رواه البخاري و مسلم)
“  …tidak ada tathoyyur (dalam Islam), tidak ada (kepercayaan kesialan  akibat) burung Haamah, dan tidak ada (kepercayaan) terhadap bulan Shofar  61“(H.R AlBukhari-Muslim)
Dalam hadits yang lain disebutkan :
عَنْ  عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ  وَسَلَّمَ قَالَ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ  وَمَا مِنَّا إِلاَّ وَلَكِنَّ اللهُ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ 
“  Dari Sahabat Abdullah bin Mas’ud dari Nabi Shollallaahu ‘alaihi  wasallam : at-Thiyaaroh (tathoyyur) adalah syirik, at-Thiyaaroh adalah  syirik, at-Thiyaaroh adalah syirik. (Ibnu Mas’ud menyatakan): ‘Dan itu  ada pada masing-masing kita kecuali Allah telah menggantikannya dengan  tawakkal’ “(H.R Abu Dawud, Ibnu Majah, al-Hakim, at-Tirmidzi, dan beliau  menshohihkannya, dishahihkan pula oleh Syaikh al-Albani dalam  ‘As-Shohiihah’) 
          Termasuk kebiasaan Jahiliyyah sebelumnya adalah memutuskan jadi atau tidaknya melakukan sesuatu dengan meminta keputusan (mengundi) dengan azlaam. Allah Subhaanahu wa Ta’ala turunkan larangan melakukan perbuatan tersebut dalam firmanNya :
...وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوْا بِاْلأَزْلاَمِ ذلِكُمْ فِسْقٌ ...(المائدة : 3)
“ Dan diharamkan pula bagi kalian mengundi dengan azlaam. Itu semua adalah kefasiqan…”(Q.S AlMaaidah :3)
Ibnu Jarir atThobary menjelaskan : “…yang  demikian ini adalah karena dulu orang-orang di masa Jahiliyyah jika  salah seorang dari mereka hendak melakukan bepergian, berperang, atau  yang semisalnya, mereka memutar gelas yaitu azlaam dan (di bagian  tertentu pada gelas itu) ada tertulis : ‘Tuhanku melarangku’, dan di  bagian lain tertulis : ‘Tuhanku memerintahkanku’. Jika yang keluar  adalah tulisan :’Tuhanku memerintahkanku’, maka mereka meneruskan untuk  melakukan perbuatannya bepergian, berperang, menikah, dan yang  semisalnya, sedangkan jika yang keluar adalah tulisan : ‘Tuhanku  melarangku’, maka mereka mengurungkan niatnya”
          Dalam Islam, semua keburukan –keburukan I’tiqad dan  persangkaan – persangkaan itu semua diganti dengan yang jauh lebih baik  dan seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai hamba Allah, yaitu sikap tawakkal dan keyakinan Allah akan memberikan pilihan yang terbaik dengan cara melakukan sholat istikharah dan melakukan musyawarah dengan orang – orang yang sholih sebelum menentukan suatu pilihan 62, karena memang cara yang demikian inilah yang Allah perintahkan kepada kita dan 2 hal itu (istikharah dan musyawarah dengan orang-orang sholih) Allah jadikan sebagai sebab syar’i dan qodari untuk tercapainya kebaikan bagi kita. 
          Kemudian, dalam bacaan sujud ini :
سَجَدَ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ
kita  nyatakan dengan penuh pengagungan kepada Allah bahwa kita sujudkan  wajah kita karenaNya, dan kita nyatakan bahwa Dialah Yang Menciptakan  wajah kita, membentuknya, dan menjadikan pendengaran dan penglihatan  kita berfungsi dengan baik, sehingga seharusnya kita fungsikan pula  sesuai dengan yang Ia perintahkan –semoga Allah memberikan taufiq dan  kekuatan kepada kita untuk senantiasa bisa memanfaatkan penglihatan dan  pendengaran kita untuk hal-hal yang diridlaiNya, dan Ia palingkan  pendengaran dan penglihatan kita dari hal-hal yang dilarangNya -.
          Selanjutnya, kita nyatakan :
تَبَارَكَ اللهُ أَحْسَنُ اْلخَالِقِيْنَ
bahwa  Allahlah ‘Sebaik-baiknya Pencipta’. Dijelaskan oleh para ‘Ulama’ bahwa  Allahlah satu-satunya Pencipta secara hakiki, karena hanya Dialah yang  mampu menjadikan sesuatu ada dari keadaan sebelumnya tidak ada,  sedangkan yang lain hanya bisa mengubah sesuatu dari suatu bentuk ke  bentuk yang lain, dan dalam hal membentuk sesuatu itupun Allahlah yang  terbaik di atas segala-galanya. Sesuatu yang Allah bentuk dan rupakan  adalah yang paling sempurna, paling indah, dan paling baik dibandingkan  bentukan dan rupa yang diupayakan oleh makhlukNya.
6) Bacaan sujud yang disebutkan dalam hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan Muslim, Abu Dawud :
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ ذَنْبِيْ كُلَّهُ دِقَّهَ وَجِلَّهَ وَأَوَّلَهُ وَآخِرَهُ وَعَلاَنِيَّتَهُ وَسِرَّهُ  
“  Yaa Allah ampunilah dosaku seluruhnya : yang sedikit maupun yang  banyak, yang awal sampai yang akhir, yang (dilakukan) secara  terang-terangan ataupun tersembunyi”
Rincian Makna :
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ = Yaa Allah ampunilah aku 
ذَنْبِيْ كُلَّهُ = dosaku seluruhnya 
دِقَّهَ وَجِلَّهَ =  yang sedikit maupun yang banyak 
وَأَوَّلَهُ وَآخِرَهُ = yang awal sampai yang akhir
وَعَلاَنِيَّتَهُ وَسِرَّهُ = yang terang-terangan maupun yang tersembunyi 
Penjelasan :
          Segala  puji untuk Allah, Maha Suci Ia, Yang dengan kebaikan dan rahmatNya  telah memberikan kemudahan-kemudahan bagi hambaNya yang senantiasa  berbuat dosa untuk menghapus dosa-dosanya. Sungguh sholat  merupakan sarana pelebur dosa seorang hamba dengan Allah yang sangat  Pemurah. Rasul mengibaratkan sholat 5 waktu sebagai air sungai jernih  yang lewat di depan pintu rumah seseorang yang digunakan mandi 5 kali  sehari, sehingga bersihlah tubuh seseorang tersebut dari kotoran,  daki-daki yang ada  pada tubuhnya. 
          Sholat  memang sarat dengan permohonan ampun kepada Allah atas  kesalahan-kesalahan kita. Dalam doa iftitah, dalam bacaan surat yang  mengandung istighfar, ruku’, sujud, duduk di antara dua sujud, hampir  semuanya berisi doa-doa istighfar, yang salah satunya adalah bacaan  dalam sujud ini. Dalam doa ini kita memohon ampun kepada Allah atas  seluruh dosa-dosa kita, baik yang sedikit ataupun banyak, awal dulu  sampai akhir hayat kita, yang kita lakukan secara terang-terangan maupun  tersembunyi, semuanya kita minta kepada Allah untuk diampuni, karena  kita yakin bahwa tidak ada yang bisa mengampuni dosa kecuali Allah, dan  Dialah yang memerintahkan kepada kita untuk banyak beristighfar sebagai  salah satu amalan ibadah yang diridlaiNya.
7) Bacaan  sujud yang disebutkan dalam hadits ‘Aisyah yang diriwayatkan Muslim,  AtTirmidzi, Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah, AnNasaa’i 63:
اللَّهُمَّ  إِنِّي أَعُوْذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ  عُقُوْبَتِكَ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ لاَ أُحْصِيْ ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ  كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
“Yaa  Allah sesungguhnya aku berlindung kepada ridla-Mu dari kemurkaanMu, dan  (aku berlindung) kepada ampunanMu dari adzabMu, dan (aku berlindung)  kepadaMu dariMu, aku tidaklah mampu membatasi pujian untukMu sebagaimana  Engkau puji diriMu sendiri “
Rincian Makna :
 اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ = Yaa Allah sesungguhnya aku berlindung 
بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ = kepada ridlaMu dari kemurkaanMu  
وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ = dan kepada ampunanMu dari adzabMu 
وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ = dan aku berlindung kepada Mu dari Mu 
لاَ أُحْصِيْ =  aku tidak mampu membatasi 
ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ = pujian untuk Mu  
كَمَا أَثْنَيْتَ =  sebagaimana Engkau puji  
عَلَى نَفْسِكَ = atas diriMu (sendiri)
          Allah  Subhaanahu wa Ta’ala telah menggariskan tujuan hidup manusia adalah  untuk beribadah kepadaNya. Seseorang yang beribadah kepada Allah  seharusnya dimotivasi oleh keinginan mencapai ridlaNya dan menjauhi  kemurkaanNya. 
           Seringkali  dalam kehidupan ini kita dihadapkan dengan pilihan yang sulit dan  dilematis. Di satu sisi, kita ingin mengerjakan suatu perbuatan yang  memang diperintahkan dan diwajibkan Allah untuk dikerjakan, namun hal  itu bertentangan dengan kebiasaan dan adat masyarakat tertentu, atau  aturan-aturan yang dibuat sendiri oleh manusia. Atau justru lebih sering  lagi, ada aturan-aturan yang dibuat manusia yang bersinggungan langsung  dengan kehidupan kita yang sebenarnya kita tahu dengan jelas bahwa hal  itu dilarang oleh Allah. 
Ada  banyak keadaan di mana kita dihadapkan pada pilihan sulit. Akankah kita  mengharapkan keridlaan manusia dengan mengorbankan keridlaan Allah,  atau sebaliknya kita pilih keridlaan Allah, yang dengan resikonya kita  mengorbankan keridlaan manusia, bahkan justru mengundang sindiran,  celaan, dan cacian dari mereka? 
Jika  memang memungkinkan, seharusnya kita berupaya untuk senantiasa bergaul  akrab dengan sesama manusia, khususnya saudara kita sesama muslim,  menerapkan akhlaqul kariimah, berbaur dengan mereka dalam hal-hal yang  tidak ada unsur kemaksiatan di dalamnya. Mengajak pada kebaikan dan  mencegah dari kemunkaran. Itu adalah keadaan yang terbaik, saat kita  diberi kemampuan oleh Allah untuk mampu bersikap secara tepat pada saat  yang tepat. Kita masih mampu untuk berkata ‘tidak’  untuk  hal-hal yang kita tidak boleh terlibat di dalamnya, bahkan lebih dari  itu kita masih mampu untuk mengajak saudara kita muslim untuk tidak  terjerumus padanya. Kita mampu mewarnai pergaulan itu dengan baik, bukan  justru kita yang diwarnai dan hanyut dalam pergaulan tersebut. Suatu  kekuatan yang Allah anugerahkan kepada kita baik dengan tangan maupun  lisan untuk beramar ma’ruf nahi munkar. 
Kita  mampu bersabar ketika saudara-saudara kita menyindir dan mengejek kita  untuk hal-hal yang berhubungan dengan pribadi kita sendiri dan bersikap  memafkan mereka. Kita bisa bersabar ketika sebagian hak-hak kita diambil  tidak secara haq, dan kita pun memaafkannya. Pada saat lain, ketika  syariat – syariat Allah dan Sunnah RasulNya dijadikan bahan tertawaan,  cacian, dan ledekan, atau ketika nampak jelas kebanggan yang ditunjukkan  di hadapan kita saat hal-hal yang diharamkan Allah dilanggar, kita  seharusnya mampu bersikap marah semata-mata karena Allah. 
Ummul Mu’minin ‘Aisyah –radliyallaahu ‘anha- mengisahkan kepada kita tauladan dari Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam :
مَا  خَيَّرَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ  أَمْرَيْنِ إِلاَّ أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا فَإِنْ  كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْهُ وَمَا انْتَقَمَ رَسُوْلُ  اللهِ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  لِنَفْسِهِ إِلاَّ أَنْ تُنْتَهَكَ حُرْمَةُ اللهُ فَيَنْتَقِمُ ِللهِ بِهَا
“  Tidaklah Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam memilih di antara 2  hal kecuali beliau ambil yang paling mudah di antara keduanya selama  tidak ada (unsur) dosa. Jika ada(unsur) dosa, beliau adalah manusia yang  paling jauh darinya. Tidaklah Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam  membalas (ketika disakiti) untuk dirinya sendiri, namun jika hal-hal  yang diharamkan Allah dilanggar, beliau membalas untuk Allah ‘Azza wa  Jalla “(H.R AlBukhari-Muslim)
         Jika  kita senantiasa bisa bersikap konsisten seperti yang ditunjukkan  Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam ini, mampu bergaul secara luas  tanpa mengorbankan prinsip-prinsip, mampu ‘mewarnai’ bukan ‘diwarnai’,  bersikap sabar atas gangguan terhadap pribadi kita, menunjukkan akhlaqul  kariimah, mengucapkan kalimat-kalimat yang baik, amar ma’ruf nahi  munkar, maka seharusnya kita tidak boleh menyendiri, memisahkan diri  dari masyarakat. Justru dalam kondisi semacam ini kita harus berada di  tengah-tengah mereka secara aktif dengan upaya menyebarkan kemaslahatan  dan manfaat bagi sesama. Dalam hal ini Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi  wasallam bersabda :
اْلمُؤْمِنُ  الَّذِيْ يُخَالِطُ النَّاسَ وَيَصْبِرُعَلَى أَذَاهُمْ أَعْظَمُ أَجْرًا  مِنَ اْلمُؤْمِنِ الَّذِيْ لاَ يُخَالِطُ النَّاسَ وَلاَ يَصْبِرُ عَلَى  أَذَاهُمْ 
“  Seorang mukmin yang bergaul dengan manusia dan sabar atas gangguan  mereka mendapatkan pahala yang lebih besar dibandingkan mukmin yang  tidak bergaul dengan manusia dan tidak bersabar dari gangguan mereka  “(H.R Ahmad, Ibnu Majah, al-Hafidz menyatakan bahwa sanad hadits ini  hasan, asy-Syaikh Al-Albaani menshahihkannya dalam ‘Shahiihul Jaami’)
Al-Ahnaf bin Qoys (salah seorang Sahabat Nabi) menyatakan : 
اْلكَلاَمُ  بِالْخَيْرِ أَفْضَلُ مِنَ السُّكُوْتِ وَالسُّكُوْتُ خَيْرٌ مِنَ  اْلكَلاَمِ بِاللَّغْوِ وَاْلبَاطِلِ وَاْلجَلِيْسُ الصَّالِحُ خَيْرٌ مِنَ  اْلوِحْدَةِ وَاْلوِحْدَةُ خَيْرٌ مِنْ جَلِيْسِ السُّوْءِ
“Mengucapkan  kalimat yang baik lebih baik dari diam, dan diam lebih baik dari ucapan  yang sia-sia dan batil. Duduk bersama orang sholih lebih baik dari  menyendiri. Menyendiri lebih baik dari duduk bersama orang yang jahat  “(‘atsar ini disebutkan oleh Ibnu Abdil Baar dalam kitab ‘At-Tamhiid’ juz 17 hal 447)
         Namun,  jika kita merasa akan tidak mampu bersikap tegar, kuat, dan khawatir  justru kita yang terpengaruh serta hanyut dalam kesalahan-kesalan yang  dilegalkan, terjerumus ke dalam prevalensi (kelaziman) normatif  yang seakan – akan benar, walaupun pada dasarnya salah namun terus  menerus dikesankan benar, maka sebaiknya kita memilih menyendiri (‘uzlah) ,  berupaya menyelamatkan diri kita sendiri. Bukankah banyak sekali  hal-hal yang sesungguhnya salah dan terlarang dalam syariat, namun  karena kemudian berhasil dikesankan baik sedemikian rupa sehingga  berhasil menggiring opini umum untuk bersama-sama melakukan pembenaran,  akhirnya dianggap sebagai suatu kelaziman, bahkan kemudian menjadi norma  baru yang diterima masyarakat tersebut ? 
Kita  yang mengetahui bahwa sebenarnya hal tersebut terlarang dalam syari’at  harus menghindarinya, tidak mendukung, dan tidak terlibat di dalamnya. Kita tidak boleh terlibat tolong menolong dalam hal – hal yang mengandung dosa padanya :
...وَلاَ تَعَاوَنُوْا عَلَى اْلإِثْمِ وَ اْلعُدْوَانِ...
“ …dan janganlah kalian tolong menolong dalam hal-hal (yang mengandung) dosa dan permusuhan “(Q.S AlMaaidah :2)
Jika  kemudian orang-orang marah pada kita karena tidak mau terlibat dalam  kelaziman yang dibuat-buat, dan pembenaran yang dipaksakan tersebut,  semoga kita bisa meninggalkan hal itu ikhlas karena Allah, mengharap  ridlaNya, walaupun mendapat murka manusia. Semoga kita mendapatkan  kebaikan seperti yang tersebut dalam sebuah hadits :
مَنِ  الْتَمَسَ رِضَى اللهِ بِسَخَطِ النَّاسِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَأَرْضَى  النَّاسَ عَنْهُ وَمَنِ اْلتَمَسَ رِضَا النَّاسِ بِسَخَطِ اللهِ سَخِط  اللهُ عَلَيْهِ وَأَسْخَطَ عَلَيْهِ النَّاس
“Barangsiapa  yang mencari keridlaan Allah dengan (risiko) mendapat kemurkaan  manusia, maka Allah akan meridlainya dan menjadikan manusia nanti ridla  padanya, dan barangsiapa yang mencari keridlaan manusia dengan sesuatu  yang dimurkai Allah, Allah akan murka padanya dan akan menjadikan  manusia murka padanya (H.R Ibnu Hibban dalam Shahihnya, AtTurmudzi dalam  Sunannya, AlHaitsami dalam Mawaariduz Dzhom’aan)
          Ridla  Allah adalah suatu hal yang harus menjadi prioritas utama kita untuk  dicapai, dan kemurkaan Allah seharusnya menjadi urutan terdepan dalam  hidup kita untuk dijauhi. Sungguh mulya teladan manusia terbaik  –Rasulullah- yang mengajarkan dalam bacaan sujud ini kita memohon kepada  Allah : “ Yaa Allah sesungguhnya aku berlindung kepada keridlaanMu dari kemurkaanMu“
          Kemudian, kita mengucapkan dalam doa ini :
وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ
“ Dan aku (berlindung) kepada pemberian maaf dariMu (ampunanMu) dari adzab(hukuman)Mu”
         Asy-Syaikh al-‘Utsaimin menjelaskan :” (اْلعَفْوُ) artinya adalah memaafkan kesalahan-kesalahan hambaNya. Seringkali (kata):(اْلعَفْوُ)   (pemberian maaf) digunakan terhadap perbuatan-perbuatan meninggalkan kewajiban, sedangkan (kata) : (اْلمَغْفِرَةُ) (ampunan) sering digunakan terhadap perbuatan – perbuatan melakukan hal-hal yang dilarang. 
         Dijelaskan pula oleh Asy-Syaikh al-‘Utsaimin bahwa dalam AlQuran Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman : 
...فَإِنَّ اللهَ كَانَ عَفُوًّا قَدِيْرًا (النساء : 149)
“ sesungguhnya Allah adalah yang Maha Pemaaf lagi Maha Berkuasa”
Dalam  ayat ini Allah Subhaanahu Wa Ta’ala menggabungkan sifat ‘Pemaaf’ dengan  sifat ‘Maha Berkuasa’, karena Allah Ta’ala memang memaafkan  kesalahan-kesalahan hambaNya dalam keadaan Ia sangat mampu dan sangat  berkuasa untuk mengadzab/ memberi hukuman, sehingga Sifat ‘Pemaaf’ Allah  adalah sempurna. 
Berbeda  dengan manusia yang mungkin memaafkan kesalahan orang lain, karena dia  memang tidak ada pilihan lain kecuali memaafkannya. Jika tidak  dimaafkan, dia khawatir akan ada akibat-akibat buruk akan menimpanya.  Manusia tersebut dalam posisi yang lemah, karena dia memang masih  membutuhkan orang lain. Berbeda dengan Allah yang sangat tidak butuh  dengan segala sesuatu sedangkan segala sesuatu sangat butuh kepadaNya.  Dia Maha Berkuasa untuk memaafkan atau mengadzab hambaNya, dan jika Dia  menghendaki untuk mengadzab seorang hamba, tidak ada yang bisa  menghalangi dan tidak akan ada efek – efek  buruk bagiNya setelahNya, karena semua tunduk di bawah KekuasaanNya.  Semoga Allah Subhaanahu Wa Ta’ala melindungi kita dari adzabNya dengan  melimpahkan pemberian maaf dan ampunanNya.
Selanjutnya, kita menyatakan dalam bacaan sujud ini : 
وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ 
“ Dan aku berlindung kepadaMu dari Mu”
         Sesungguhnya  keselamatan dan kebahagiaan yang hakiki didapatkan oleh orang-orang  yang mendapatkan keridlaan, pemberian maaf, dan ampunan dari Allah,  serta terjauhkan dari kemurkaan dan adzab dari Allah. Sehingga,  tidak ada jalan lain kecuali ‘lari dari Allah’ menuju ‘Allah’. Tidak ada  jalan untuk selamat dari kemurkaan dan adzab Allah kecuali dengan  berlindung kepada Allah semata. 
         Kemudian  dalam bacaan sujud ini kita nyatakan bahwa segenap pujian kembalinya  hanya kepada Allah semata, dengan pujian yang sangat berlimpah nan  banyak, namun kita tidak sanggup menghitung segenap pujian bagi Allah.  Hanya Dialah semata yang Mengetahui dan mampu secara tepat memuji  Diri-Nya sendiri. 
Catatan Kaki :
56. Lafadz hadits Hudzaifah :
صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَافْتَتَحَ اْلبَقَرَةَ ثُمَّ اْلمِائَةَ ثُمَّ مَضَى بِهَا  فَقُلْتُ يُصَلِّي بِهَا فِيْ رَكْعَةٍ فَمَضَى بِهَا ثُمَّ افْتَتَحَ  النِّسَاءَ فَقَرَأَهَا ثُمَّ افْتَتَحَ آلَ عِمْرَانَ فَقَرَأَهَا  يَقْرَأُ مُتَرَسِّلاً إِذَا مَرَّ بِآيَةٍ فِيْهَا تَسْبِيْح سَبَّحَ  وَإِذَا مَرَّ بِسُؤَالٍ سَأَلَ وَإِذَا مَرَّ بِتَعَوُّذٍ تَعَوَّذَ ثُمَّ  رَكَعَ فَجَعَلَ يَقُوْلُ  سُبْحَانَ رَبِّيَ اْلعَظِيْم فَكَانَ رُكُوْعُهُ نَحْوًا مِنْ قِيَامِهِ  ثُمَّ قَالَ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ ثُمَّ قَامَ طَوِيْلاً قَرِيْبًا  مِمَّا رَكَعَ ثُمَّ سَجَدَ فَقَالَ سُبْحَانَ رَبِّيَ اْلأَعْلَى فَكَانَ  سُجُوْدُهُ قَرِيْبًا مِنْ قِيَامِهِ 
“  Aku sholat bersama Nabi Shollallaahu ‘alaihi wasallam pada suatu malam,  beliau mulai membaca AlBaqoroh, ketika sampai pada ayat ke-seratus  beliau meneruskannya, aku berkata(dalam hati):’ mungkin beliau akan  menyelesaikannya dalam dua rokaat’, ternyata beliau meneruskan dengan  membaca AnNisaa’, kemudian membaca Aali Imraan, beliau membacanya dengan  perlahan. Jika beliau sampai pada ayat yang mengandung tasbih, beliau  bertasbih, jika sampai pada ayat yang berisi permintaan, beliau meminta  (berdoa), jika sampai pada ayat yang mengandung permintaan perlindungan,  beliau meminta perlindungan, kemudian beliau ruku’ dengan membaca :  Subhaana robbiyal ‘adzhiim. Lama ruku’nya hampir sama dengan lama  berdirinya. Kemudian membaca : Sami’allaahu liman hamidah, kemudian  beliau berdiri dalam keadaan lamanya mendekati lama ruku’, kemudian  beliau sujud mengucapkan : Subhaana Robbiyal a’laa, dan lama sujudnya mendekati lama berdirinya “ (H.R Ahmad, Muslim, dan AnNasaa’i).
57. Lafadz hadits ‘Auf bin Malik al-‘Asyja’i :
قُمْتُ  مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً فَقَامَ  فَقَرَأَ سُوْرَةَ اْلبَقَرَةَ لاَ يَمُرُّ بِآيَةِ رَحْمَةٍ إِلاَّ وَقَفَ  فَسَأَلَ وَلاَ يَمُرُّ بِآيَةِ عَذَابٍ إِلاَّ وَقَفَ فَتَعَوَّذَ قَالَ  ثُمَّ رَكَعَ بِقَدْرِ قِيَامِهِ يَقُوْلُ فِيْ رُكُوْعِهِ سُبْحَانَ ذِيْ  اْلجَبَرُوْتِ وَاْلمَلَكُوْتِ وَاْلكِبْرِيَاءِ وَاْلعَظَمَةِ ثُمَّ  سَجَدَ بِقَدْرِ قِيَامِهِ ثُمَّ قَالَ فِيْ سُجُوْدِهِ مِثْلَ ذَلِكَ
 “  Pada suatu malam saya melakukan qiyaamul lail bersama Rasulullah  Shollallaahu ‘alaihi wasallam. Beliau membaca surat AlBaqoroh, tidaklah  beliau sampai pada ayat rahmat kecuali beliau berhenti dan memohon  kepada Allah, tidaklah beliau sampai pada ayat tentang adzab kecuali  berhenti dan memohon perlindungan, kemudian beliau ruku sesuai kadar  lama berdirinya dengan mengucapkan : Subhaana dzil jabaruuti walmalakuuti walkibriyaa’i wal ‘Adzhomah.  Kemudian beliau sujud sesuai kadar lama berdirinya, dan mengucapkan  (dalam sujudnya) dengan bacaan seperti itu juga” (H.R Abu Dawud, Ahmad,  AnNasaa’i)
58. Lafadz hadits ‘Ali bin Abi Tholib :
...وَإِذَا  سَجَدَ قَالَ اللَّهُمَّ لَكَ سَجَدْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَلَكَ أَسْلَمْتُ  سَجَدَ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ  وَبَصَرَهُ تَبَارَكَ اللهُ أَحْسَنُ اْلخَالِقِيْنَ...
“ …dan jika beliau sujud membaca : Allaahumma  laka sajadtu wa bika aamantu wa laka aslamtu sajada wajhiya lilladzii  kholaqohu washowwarohu wa syaqqo sam’ahu wa bashorohu tabaarokalaahu  ahsanul khooliqiin…”(H.R Muslim, Ahmad, AtTirmidzi, Abu Dawud, AnNasaa’i,Ibnu Majah sesuai lafadz Muslim)
59. Umar ibn al-Khoththob, Mujahid, Asy-Sya’bi, Qotadah, ad-Dlohhak menyatakan : thaghut adalah syaitan. Abul ‘Aaliyah menyatakan bahwa taghut adalah tukang sihir. Al-Jauhary menjelaskan : thaghut adalah dukun/tukang ramal, syaitan, dan seluruh pemimpin (ajaran) kesesatan.( Lihat tafsir AlQurthuby juz 3 hal 282 cetakan Daaru sya’b Kairo tahun 1372 H dan tafsir at-Thobary juz 3 hal 19 ).
      Penjelasan Ibnul Qoyyim bisa disimak dalam syarh tsalaatsatil ushuul hal 151 cetakan Daaru at-Tsurayya tahun 1421 H.
60. Silakan disimak penjelasan makna tathoyyur tersebut dalam kitab al-Qoulul Mufiid syarh Kitaabit Tauhid karya Asy-Syaikh Ibn ‘Utsaimin juz 1 hal 346.
61. Dijelaskan oleh para ‘Ulama’ bahwa makna Haamah  dalam  hadits ini adalah nama seekor burung yang dikenal oleh orang Arab.  Mereka berkeyakinan bahwa burung ini adalah jelmaan dari ruh orang yang  sudah meninggal, dan keyakinan sial jika burung ini hinggap pada rumah  seseorang kemudian berkicau/berbunyi, maka hal itu dianggap sebagai  pertanda kematian (penghuni rumah) itu sudah dekat. Keyakinan ini  dilarang oleh Rasulullah dalam hadits tersebut. Demikian juga Rasul  melarang keyakinan-keyakinan semisalnya, seperti dalam lafadz hadits: وَلاَ صَفَرَ , tidak  ada keyakinan sial terhadap bulan Shafar dan bulan-bulan lainnya.  Karena orang-orang arab sebelumnya berkeyakinan adanya bulan yang baik  untuk melakukan sesuatu dan adanya bulan yang buruk dan berakibat  kesialan jika melangsungkan sesuatu seperti pernikahan, berdagang, dan  semisalnya. Keyakinan ini semua dilarang oleh nabi dalam hadits ini dan  sebagaimana hadits dari Ibnu Mas’ud yang disebutkan kemudian bahwa  hal-hal semacam ini adalah kesyirikan (Silakan disimak penjelasan hadits  ini dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi karya AlMubarakfury (6/295) , Aunul Ma’ud karya AbutThoyyib Muhammad Syamsul haq al-‘Adzhiim(10/290), dan al-Qoulul Mufiid karya Asy-Syaikh al-‘Utsaimin juz 1 hal 348-349)
62. Dalil tentang disyariatkannya sholat istikharah adalah :
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  يُعَلِّمُنَا اْلإِسْتِخَارَةَ فِيْ اْلأُمُوْرِ كُلِّها كَمَا  يُعَلِّمُنَا السُّوْرَةَ مِنَ اْلقُرْآنِ يَقُوْلُ إِذَا هَمَّ  أَحَدُكُمْ بِاْلأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ  غَيْرِاْلفَرِيْضَةِ ثُمَّ لْيَقُلْ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيْرُكَ  بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ  اْلعَظِيْمِ فَإِنَّكَ تَقْدُرُ  وَلاَ أَقْدُرُ وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلاَّمُ اْلغُيُوْبِ  اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ خَيْرٌ لِيْ فِيْ  دِيْنِيْ وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ أَوْ قَالَ عَاجِلِ أَمْرِيْ  وَآجِلِهِ فَاقْدُرْهُ لِيْ وَيَسِّرْهُ لِيْ ثُمَّ بَارِكْ لِيْ فِيْهِ  وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ شَرُّ لِيْ فِيْ دِيْنِيْ  وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ أَوْ قَالَ فِيْ عَاجِلِ أَمْرِيْ  وَآجِلِهِ فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِيْ عَنْهُ وَاقْدُرْ لِيَ  الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِيْ بِهِ قَالَ وَيُسَمِّي حَاجَتَهُ 
      “ Dari Sahabat Jabir bin Abdillah, beliau berkata : “ Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam pernah mengajari kami istikharah  dalam segala urusan sebagaimana beliau mengajari kami surat AlQuran.  Beliau berkata : ‘ Apabila salah seorang di antara kamu menghajatkan  sesuatu, maka hendaknya dia sholat dua rokaat bukan sholat fardlu  kemudian hendaklah mengucapkan : ‘ Allaahumma inni astakhiiruka bi  ‘ilmika wa astaqdiruka biqudratika wa as-aluka min fadl-likal ‘adzhiim  fainnaka taqduru walaa aqduru wa ta’lamu walaa a’lamu wa anta ‘allaamul  ghuyuub. Allaahumma in kunta ta’lamu anna haadzal amro khoyrun lii fii  diinii wa ma’aasyii wa ‘aaqibati amrii - --‘aajili amrii wa aajilihi –  faqdurhu lii wa yassirhu lii tsumma baariklii fiihi. Wa in kunta ta’lamu  anna haadzal amro khoyrun lii syarrun lii fii diinii wa ma’aasyii wa  ‘aaqibati amrii  --- ‘aajili amrii wa aajilihii-fashrifhu  ‘annii washrifnii ‘anhu—waqdur liyal khoyro haytsu kaana tsumma ardlinii  bihi (Yaa Allah sesungguhnya aku meminta pilihan kepadaMu dengan  Ilmu-Mu, dan aku meminta kebaikanMu dengan taqdirMu karena sesungguhnya  Engkau yang mentaqdirkan, sedang aku tidaklah kuasa mentaqdirkan  sesuatu, dan Engkaulah Yang Maha Mengetahui hal-hal ghaib. Yaa Allah,  jika Engkau Mengetahui bahwa urusanku ini baik bagiku dalam Dien-ku,  kehidupanku,  dan akibat urusanku (ini), taqdirkanlah itu untukku, dan mudahkan aku  padanya. Dan jika Engkau Mengetahui bahwa urusanku ini buruk bagiku  dalam Dienku, kehidupanku, dan akibat urusanku (ini), jauhkan ia dariku  dan jauhkan  aku darinya, dan taqdirkanlah bagiku yang  terbaik walaupun dari mana saja datangnya, dan jadikan aku rida  atasnya)..kemudian ia sebutkan hajat (kepentingannya) “(H.R AlBukhari)
            Sedangkan dalil tentang disyariatkannya syuuro (musyawarah) dengan orang-orang yang sholih :
 وَالَّذِيْنَ اسْتَجَابُوْا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوْا الصَّلاَةَ وَأَمْرُهُمْ شُوْرَى  بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُوْنَ 
     “ dan orang-orang yang memenuhi (panggilan) Tuhan mereka, dan mereka menegakkan sholat, dan pada urusan mereka saling bermusyawarah, dan terhadap apa yang kami rizkikan, mereka menginfaqkannya..”     (Q.S.Asy-yuuroo: 38)
فَبِمَا  رَحْمَةٍ مِّنَ اللهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ  اْلقَلْبِ لاَنْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ  لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي اْلأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَّكَلْ عَلَى  اللهِ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ اْلمُتَوَكِّلِيْنَ 
     “ Maka  dengan Rahmat dari Allah, engkau bersikap lembut terhadap mereka. Jika  engkau bersikap keras niscaya mereka akan lari dari sekelilingmu.  Maafkanlah mereka dan mintakan ampun untuk mereka, dan bermusyawarahlah dalam urusan(mu).  Jika engkau telah menguatkan tekad, bertawakkallah kepada Allah,  sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakkal (kepadaNya) “(Q.S Ali Imran :159) 
Dijelaskan  oleh para ‘Ulama’ bahwa istikharah dan musyawarah adalah untuk hal-hal  yang tidak ada perintah dan larangan secara tegas dalam AlQuran dan  AsSunnah as-Shohiihah untuk berbuat atau meninggalkan sesuatu. Jika ada  larangan atau keharusan dari dalil-dalil syar’i (nash), maka tidak ada  pilihan lain kecuali mengikuti dalil tersebut. 
63. Lafadz hadits ‘Aisyah tersebut adalah :
عَنْ  عَائِشَةَ قَالَتْ فَقَدْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ  وَسَلَّمَ لَيْلَةً فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ  قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِيْ اْلمَسْجِدِ وَهُمَا مَنْصُوْبَتَانِ وَهُوَ  يَقُوْلُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ  وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ لاَ أُحْصِيْ  ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ 
     “  Dari ‘Aisyah beliau berkata : ‘Aku pernah kehilangan Rasulullah  Shollallaahu ‘alaihi wasallam pada suatu malam, maka kemudian aku  mencarinya, tiba-tiba tanganku mengenai perut telapak kaki beliau, dan  beliau waktu itu berada di masjid dalam keadaan kedua telapak kaki  tersebut tegak. Beliau mengucapkan : Allaahumma innii a’uudzu  biridlooka min sakhotika wa bi mu’aafaatika min ‘uquubatika wa a’uudzu  bika minka laa uhshii tsanaa-an ‘alaika anta kamaa atsnayta ‘alaa  nafsika (Yaa Allah sesungguhnya aku  berlindung kepada ridla-Mu dari kemurkaanMu, dan (aku berlindung)  kepada ampunanMu dari adzabMu, dan aku berlindung kepadaMu dariMu, aku  tidaklah mampu menghitung pujian untukMu sebagaimana Engkau puji diriMu  sendiri)”(H.R Muslim, AtTirmidzi, Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah,  AnNasaa’i) 
64.  Dijelaskan oleh para ‘Ulama bahwa pemberian maaf yang akan mendapatkan  pahala dari Allah adalah pemberian maaf yang menimbulkan maslahat  (kebaikan).Salah satu maslahat yang dicapai adalah jika sang pembuat  kesalahan menjadi insyaf dan tidak mengulangi lagi perbuatannya. Tapi,  kalau seandainya pemberian maaf tersebut justru akan menjadikan  seseorang yang berbuat salah tersebut semakin menjadi-jadi dan tidak  bermanfaat baginya, maka tidaklah dianjurkan memberikan maaf padanya.  Hal ini sesuai dengan firman Allah Subhaanahu Wa Ta’ala :
 ...فَمَنْ عَفَا وَ أَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللهِ ...(الشورى : 40)
      “ Barangsiapa yang memaafkan dan menimbulkan kebaikan (maslahat), maka pahalanya (akan diberikan) Allah “(Q.S AsySyuura:40)
            Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di menjelaskan : “…  Allah mempersyaratkan di dalamnya pemberian maaf dan al-ishlah (sesuatu  yang menimbulkan kebaikan). Hal ini menunjukkan bahwa jika pembuat  kesalahan tidak pantas untuk dimaafkan, dan maslahat syar’iyyah  mengharuskan ia mendapatkan hukuman ,maka dalam hal ini (pemberian maaf)  tidak diperintahkan”(Taisiir Kariimir Rahmaan fii Tafsiiri Kalaamil  Mannaan, dalam penafsiran ayat ke –40 dari surat AsySyuuro).
(Abu Utsman Kharisman)
Referensi:
http://itishom.web.id
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar