Membiasakan diri dengan sesuatu yang dipandang rendah akan melunturkan sifat sombong dan bangga diri dalam hatinya. Gerak-gerik  hati, perlu dikelola dengan baik  dengan menggunakan ilmu. Sebab ilmulah  yang  bisa mengidentifikasi mana  yang baik dan buruk dalam hati.
Seseorang  yang kehilangan ilmu, bisa dipastikan terjebak dalam  ‘penyakit’ yang  berujung kepada kesesatan. Sebab, setan akan mudah  memasuki hati yang  tak terisi ilmu. Salah satu ‘penyakit’ mengantar  pada kesesatan itu  adalah penyakit bangga diri (ujub) dan sombong (kibr).
Biasanya,  seseorang yang terjangkiti sifat takabur (sombong), sulit  menerima  kebenaran. Dikiranya, hati sudah aman dari berbagai godaan.  Padahal  setan tidak berpuas, jika seseorang melaksanakan ibadah. Setan  berusaha,  bagaimana caranya ibadah itu menjadi sia-sia bahkan menjadi  ‘bumerang’  bagi pelakunya. Ujub dan kibr, adalah dua sifat iblis yang  saling berkorelasi.
Seseorang yang sombong, pada mulanya berawal dari  bangga diri. Yaitu  merasa dirinya suci, dan bersih dari segala  kekurangan, dan memandang  orang lain dengan pandangan rendah. Sombong  dan bangga diri disebut sifat iblis, karena iblislah makhluk  Allah yang  pertama kali melakukan sifat tercela ini. Iblis awalnya  makhluk Allah  yang taat menghamba pada-Nya dalam waktu yang cukup lama.  Namun, Allah  akhirnya melaknat dan mengusir dari syurga dan  menyumpahinya menjadi  penghuni neraka akibat kesombongannya. Ia  sombong, merasa lebih mulia  dari Adam as.
Demikian pula dengan mutakabbir (0rang  yang sombong).  Kebanyakan orang yang dengan ilmu tidak akan mengalami  kemajuan  berarti, karena sudah merasa mencapai puncak paling tinggi (top of the top).   Ilmu yang hakikatnya masih pada level dasar, tapi dirasa sudah  mencapai  tingkat doktor. Akibatnya, nasihat orang di sekitarnya tak  dihiraukan.  Ia pun jatuh pada kesesatan yang nyata. “Mereka menyangka  bahwa mereka  berbuat sebaik-baiknya.” (QS.Al-Kahfi: 104).
Rasulullah mendefinisikan kibr dengan bathorul haq wa ghomtu an-Nas (menolak kebenaran dan meremehkan orang lain) (HR. Muslim). Kebenaran  --apapun bentuknya dan siapapun yang menyampaikan-- wajib  diterima  dengan lapang hati. Kelapangan hati ini perlu ditanamkan  dalam-dalam  pada diri pemimpin, da'i atau thalibul 'ilm. Sebab, ujub  dan takabur ini  biasanya menghinggapi mereka, walau sekecil apapun.
Seseorang  yang baru saja mempelajari ilmu, perlu memahami isi hati  kecilnya.  Suatu saat kadang terbersit dalam hati bahwa ia sudah 'alim,  pandai  berdalil dan sedikit-sedikit menantang debat. Ibarat orang yang  baru  mempelajari beberapa jurus bela diri, biasanya ia menantang siapa  saja  untuk beradu fisik. Belajar ilmu agama juga demikian, pada  fase-fase awal, sering kali  kita terjatuh pada kekeliruan. Hal ini  adalah wajar. Akan tetapi, ia  akan tetap pada kesalahan jika nasehat  orang saat ia melakukan  kesalahan tidak didengar.
Setan, tidak  akan diam melihat seseorang yang sedang belajar agama.  Ia tidak rela  ilmu dan imannya setiap waktu meningkat. Salah satu  caranya, membisikkan  bahwa si pelajar itu telah menjadi 'alim, tidak  perlu belajar banyak  lagi, dan tidak butuh nasehat orang lain. Setan memang selalu  menggiring manusia kepada hal-hal yang berbau  instan, membisikkan  mimpi-mimpi indah. Menjadi orang 'alim dalam waktu  yang singkat, meraih  gelar ustadz atau kyai dengan mudah dan cepat.  Tidak perlu belajar dari  ayunan sampai liang lahat (uthlubul 'ilma  minal mahdi ila al-lahdi),  sebagaimana pesan Rasulullah. Tapi  seolah-olah hanya  mengikuti traning  singkat atau ikut audisi dai lalu  dengat cepat orang memanggilnya  ustadz. Jadilah ia ulama karbitan.
Akibat dari cara-cara yang instan ini, ia tidak sempat mempelajari ilmu dan bakal menjadikannya penyakit hati. Sebenarnya   tidak akan ada masalah bila, sang da'i tadi terus belajar di tengah   kesibukannya berdakwah. Yang menjadi problem adalah, bila sudah merasa   menjadi juru dakwah ia enggan menyempurnakan ilmu, dan merasa sudah top. Imam al-Ghazali menyatakan, “orang bodoh adalah orang yang merasa dirinya paling pintar.”
Bagaimana  bila ada orang yang ilmunya bertambah, tapi takaburnya  menjadi-jadi?  Salah satu sebanya menurut Imam al-Ghazali karena ia  mendalami ilmu  agama dalam keadaan hatinya kotor. Rajin mengaji tapi  maksiat jalan  terus. Atau, niat awalnya sudah salah. Menuntut ilmu dengan  niat mencari  pengaruh, jabatan dan harta atau menjadi ustadz biar kaya.  Dan fenomena  ini agaknya sudah menjadi tren saat ini.
Membasmi Ujub
Lantas  bagaimana menyembuhkan penyakit ujub dan takabur ini?  Kesombongan dan  ujub, biasanya disebabkan oleh faktor nasab,  ketampanan, kekayaan dan  ilmu. Untuk soal nasab (keturunan), seorang Muslim harus  sadar bahwa  semulya apapun nasab ayah atau kakek, semuanya berasal dari  cairan yang  hina dan dari tempat yang rendah yaitu tanah.
Sombong  karena ilmu merupakan satu bentuk kesombongan yang paling  dahsyat daya  rusaknya – yang rumit untuk menyembuhkannya. Banyak kasus  seorang 'alim  jatuh pada kesesatan karena faktor ini. Model kesombongan  seperti ini  butuh usaha dan niat yang sungguh-sungguh. Maka orang yang  berilmu mesti  harus mengetahui dua hal:
Pertama, kesadaran bahwa  tanggung jawab 'alim  di hadapan Allah lebih berat. Seorang 'alim yang durhaka  dengan ilmunya lebih buruk daripada orang  bodoh yang maksiat. Seorang  kiai dan orang bodoh yang sama-sama  berzina, siksanya lebih pedih  seorang kiai.
Kedua, bahwa sifat sombong itu hanya milik  Allah. Makhluk lainnya  tidak berhak bertakabur. Bila seseorang itu  bertakabur, maka  sesungguhnya ia telah merampas hak Allah. Bagaimana  Allah tidak murka  dengan orang seperti ini? Secara umum, Imam  al-Ghazali memberi beberapa petunjuk sebagai  berikut; Yaitu, adanya  sinergi atau kombinasi antara ilmu dan amal.
Seorang muslim  hendaknya menyadari hakikat diri dan hakikat Allah  (ma'rifatullah).  Hakikat manusia adalah makhluk hina. Ia dilahirkan  dari sesuatu yang  hina (QS. Al-Insan: 1-2). Saat lahir, ia sama sekali  tidak memiliki  apa-apa dan lemah. Semua kepandaian, kecerdasan dan  keluasan ilmu  semuanya dari Allah. Sedangkan Allah SWT adalah dzat yang serba sempurna. Dialah yang berhak sombong.
Adapun penyembuhan dengan amal dapat dilakukan dengan melatih diri menjadi orang tawadhu', setinggi apapun ilmunya. Rasulullah  SAW telah memberi teladan yang luar biasa dalam hal ini.  Beliau adalah  manusia yang paling mulia. Tapi, Rasulullah SAW adalah  tipe pemimpin  yang merakyat. Ia tak segan bergumul dengan orang-orang  miskin.
Dalam  satu riwayat beliau sampai-sampai pernah makan di atas tanah  tanpa alas  bersama sahabat. Seorang ulama' salaf pernah melatih diri  dengan makan  dan ngobrol bersama para penjual di emperan pasar. Padahal  ia sangat  terpandang di mata umat. Hal ini dilakukannya semata-mata  demi  menyingkirkan sifat kibr yang hinggap di hatinya.Melatih hidup  sederhana  inilah yang kadang sulit dilakukan pemimpin.
Membiasakan diri dengan sesuatu yang dipandang rendah ini akan melunturkan sifat sombong dan bangga diri dalam hatinya.
Semuanya  tergantung pada kesedian diri, adakah kerelaan dari para  pemimpin, dan  juru dakwah untuk bersahaja, terbuka menerima kebenaran,  merakyat, dan  dekat dengan umat. Sebaliknya orang yang menutup diri,  tidak jujur dan  egois biasanya mudah diombang-ambingkan oleh kesesatan,  dan mudah  tergoda oleh harta, jabatan dan prestasi. 
Wallahu'alam. 

 
1 komentar:
Sepakat dg yg di jelasin di atas kg :) kunjungi balik ya, nuwun.
Posting Komentar