Membaca kalimat :    اللهُ أَكْبَرُ
     Rangkaian ibadah sholat dimulai dengan takbir 1 dan diakhiri dengan salam. Pada setiap pergantian gerakan sholat juga dipisahkan dengan bacaan takbir. 
Hendaknya  kita berupaya melafadzkan bacaan takbir itu secara benar dan tidak  melakukan kesalahan. Ada beberapa kesalahan pengucapan lafadz takbir  yang bisa merubah makna dan terhitung sebagai kesalahan fatal. Di  antaranya adalah menambahkan huruf hamzah al-istifhaam di awal lafdzul jalaalah : اللهُ      sehingga dibaca panjang di awal, menjadi : آللهُ. Atau, memasukkan hamzah al-istifham itu di awal lafadz : ‘akbar’, sehingga dibaca : اللهُ آكْبَر .  Kalau ini diucapkan, yang seharusnya berarti : “ Allah Yang Terbesar”  (sebuah pernyataan secara yakin) menjadi sebuah pertanyaan : “Apakah  Allah besar ? ”. Ini menunjukkan keraguan dan merupakan kekufuran dalam  bentuk ucapan. Demikian juga kesalahan dalam memanjangkan bacaan huruf ba’ pada : أَكْبَرُ menjadi أَكْبَارُ mengakibatkan perubahan makna dari “ Yang Terbesar” menjadi “Gendang / bedug ” (bisa dilihat penjelasan Asy-Syaikh Masyhur Hasan Salmaan dalam kitabnya : al-Qoulul Mubiin fii akhtoo-il Musholliin hal 228 terbitan Daaru Ibnil Qoyyim tahun 1993 M/1413 H). 
Kesalahan yang lain adalah ketika seseorang membaca huruf laam (ل ) pada lafadz اللهُ dengan tipis (tarqiiq) (lihat Qowaaid Tajwid karya AlQoori hal 82).  Bacaan semacam ini mirip dengan yang diucapkan orang nashrani dengan menyebut tuhan A-lah. 
Makna  takbir tersebut adalah “ Allah adalah yang ter-Besar, ter-Agung di atas  segala sesuatu ”. Sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Al-Utsaimin dalam  kitab beliau Syarhul Mumti’ : “ Maknanya adalah : bahwasanya Allah  Ta’ala ter-Besar dari segala sesuatu dalam hal DzatNya, Nama-namaNya,  dan Sifat-sifatNya. Sebagaimana disebutkan dalam firmanNya :
وَمَا قَدَرُوا اللهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالأرْضُ جَمِيْعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ 
وَالسَّمَاوَاتِ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِيْنِهِ (الزمر : 67)
“  Dan tidaklah mereka (orang-orang musyrik) mengagungkan Allah dengan  sebenar-benarnya pengagungan padahal bumi seluruhnya dalam genggamanNya  pada hari kiamat dan langit-langit dilipat dengan Tangan KananNya2 “ (Q.S. AzZumar : 67)
يَوْمَ نَطْوِي السَّمَاءَ  كَطَيِّ السِّجِلِّ لِلْكُتُبِ كَمَا بَدَأْنَا أَوَّلَ 
خَلْقٍ نُّعِيْدُهُ وَعْدًا عَلَيْنَا إِنَّا كُنَّا فَاعِلِيْنَ ( الأنبياء : 104)
“  Pada hari dimana Kami lipat langit sebagaimana terlipatnya lembaran  kitab, sebagaimana Kami mulai awal mula penciptaan, seperti itulah Kami  akan mengembalikan. Suatu janji dari Kami, pasti akan Kami laksanakan  “(Q.S AlAnbiyaa’:104)
وَلَهُ الْكِبْرِيَاءُ فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَهُوَ اْلعَزِيْزُ اْلحَكِيْمُ
(الجاثية : 37 )
“  Dan Dialah Yang memiliki Kebesaran (kekuasaan) di langit dan bumi dan  Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana “(Q.S AlJaatsiyah :37 ) 3
          Dari makna tersebut jika kita terjemahkan lafadz takbir menjadi : “ Allah Maha Besar ”, kata “Maha” tersebut  harus diartikan sebagai Yang ter- atau Paling, bukan diartikan sebagai  ‘sangat’ atau ‘amat’. Ketika kita kumandangkan lafadz tersebut dengan  lisan kita, hendaknya kita kumandangkan pula dalam hati kita bahwa  Allahlah yang terBesar di atas segala-galanya dalam DzatNya,  Nama-namaNya (seluruh Nama-namaNya adalah yang terbaik dan termulya),  serta Sifat-sifatNya (memiliki kesempurnaan yang tertinggi dan tidak ada  kekurangan sedikitpun). Kita hayati ucapan tersebut dalam takbiratul  ihraam (di permulaan) maupun takbir-takbir lainnya ketika berpindah dari  satu gerakan sholat ke gerakan berikutnya.
Catatan Kaki:
1. Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dalam Shohihnya:
إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَأَسْبِغِ اْلوُضُوْءَ ثُمَّ اسْتَقْبِلِ اْلقِبْلَةَ فَكَبِّرْ ...
وَفِيْ لَفْظٍ : إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ ...
(رواه اليخاري و مسلم )
“  Jika engkau akan melakukan sholat maka sempurnakanlah berwudlu’  kemudian menghadaplah kiblat kemudian bertakbirlah”. Dalam lafadz yang  lain beliau bersabda:…”Jika engkau berdiri untuk melakukan sholat maka  bertakbirlah…”(H.R Bukhari-Muslim)
 Dari  hadits tersebut jelaslah bahwa rangkaian sholat dimulai dengan bacaan  takbir dan tidak ada satupun hadits shohih yang menyebutkan bahwa  Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam memulainya dengan bacaan  apapun sebelumnya. Niat adalah di hati, tidak diucapkan dengan lisan.  Sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan junjungan kita Nabi Muhammad  Shollallaahu ‘alaihi wasallam.        
2. Merupakan salah satu aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah ketika terdapat penyebutan Sifat-Sifat Allah dalam AlQuran maupun AlHadits, maka Sifat –sifat tersebut harus diimani dan diyakini sebagaimana adanya, tanpa melakukan tahriif(memalingkan lafadz/makna), tidak pula melakukan ta’thiil (penolakan), tidak pula takyiif (mempertanyakan kaifiat), dan tidak pula tamtsill(menyamakan sifat tersebut dengan sifat makhluk).
   Sebagaimana  dalam ayat tersebut (Q.S AzZumaar : 67) disebutkan bahwa Allah memiliki  ‘Tangan Kanan’, maka kita yakini bahwa Allah memiliki ‘Tangan Kanan’  secara hakiki, secara sebenarnya. Tidak kita tahriif atau palingkan maknanya menjadi ‘Kekuasaan’ dan semisalnya, tidak pula kita melakukan ta’thiil (penolakan), tidak pula melakukan  takyiif dengan  bertanya ‘bagaimana’ atau seperti apa ‘Tangan Kanan’ Allah tersebut,  dan tidak pula kita menyamakan TanganNya dengan tangan makhluk. Hal yang  menguatkan bahwa Allah menggenggam bumi dengan Tangan KananNya secara  hakiki dan bukan merupakan majas atau bahasa kiasan adalah  hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dalam Shahihnya,  Rasulullah shollallaahu ‘alahi wa sallam bersabda :
يَقْبِضُ اللهُ  تَعَالَى اْلأَرْضَ وَيَطْوِي السَّمَاءَ بِيَمِيْنِهِ ثُمَّ يَقُوْلُ أَنَا اْلمَلِكُ أَيْنَ مُلُوْكُ اْلأَرْضِ
“Allah  Ta’ala menggenggam bumi dan melipat langit dengan Tangan KananNya  kemudian berkata : ‘Akulah Raja. Mana raja-raja bumi” (H.R  Bukhari-Muslim)
Sebagai seorang mukmin hendaknya bersikap sebagaimana sikap yang ditunjukkan oleh Imam AsySyafi’i dalam ucapan beliau:          
أمَنْتُ بِاللهِ وَ بِمَا جَاءَ عَنِ اللهِ عَلَى مُرَادِ اللهِ ...
   “ Aku beriman dengan Kitabullah (AlQuran) sesuai dengan yang datang dari Allah, sesuai dengan maksud yang diinginkan Allah “
3. Syarhul Mumti’ ‘alaa Zaadil Mustaqni’ karya Syaikh al-Utsaimin juz 3 hal 16 cetakan AlMaktabatut Taufiqiyyah.
(Abu Utsman Kharisman)
Referensi
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar