Ucapan : سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ 
Penjelasan :
I’tidal (Berdiri tegak setelah bangkit dari ruku’)
2) Bacaan yang disebutkan dalam hadits Abu Hurairah, Anas bin Malik, yang diriwayatkan oleh Muslim 48:
3) Bacaan yang disebutkan dalam hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh AlBukhari dan Muslim 49:
4) Bacaan yang disebutkan dalam lafadz yang lain yang diriwayatkan oleh AlBukhari 50:
5) Bacaan yang disebutkan dalam hadits Rifa’ah bin Raafi’ AzZuroqiy yang diriwayatkan oleh AlBukhari 51 :
6) Bacaan yang disebutkan dalam hadits Abdillah Ibn Abi Aufa yang diriwayatkan Muslim 52:   
Penjelasan :
7) Bacaan yang disebutkan dalam hadits Abi Sa’id al-Khudry yang diriwayatkan Muslim 55:
Penjelasan :
Artinya : “ Allah Mengabulkan (pujian) orang-orang yang memujiNya”.
Penjelasan :
          Tidak  seperti perpindahan antar gerakan lain dalam sholat yang berupa bacaan  takbir, ketika bangkit dari ruku’, kita diSunnahkan untuk membaca lafadz  tersebut. Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh  AlBukhari dan Muslim :
 ...ثُمَّ يَقُوْلُ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ حِيْنَ يَرْفَعُ صُلْبَهُ مِنَ الرُّكُوْعِ ...
“  … kemudian beliau mengucapkan : Sami’allaahu liman hamidah ketika  mengangkat tulang punggungnya dari ruku’ (H.R AlBukhari-Muslim)
          Dijelaskan oleh Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin bahwa makna : سَمِعَ اللهُ adalah ‘Allah mengabulkan’ karena fi’il (kata kerja) : سَمِعَ diikuti dengan huruf lam ( ل  ). Sehingga  dalam hal ini artinya tidak hanya sekedar ‘mendengar’, tapi juga  ‘mengabulkan’ karena kalau hanya sekedar ‘mendengar’, Allah mendengar  orang-orang yang memuji maupun yang tidak memujiNya. Sedangkan makna : حَمِدَهُ  adalah memuji Allah (mensifatiNya dengan Sifat-sifat Kesempurnaan) diiringi dengan perasaan cinta dan pengagungan. Jadi, tidak sekedar memuji, namun harus diiringi dengan perasaan cinta dan pengagungan. 
          Jika  timbul pertanyaan : mengapa diartikan ‘mengabulkan’ padahal seseorang  hamba tersebut memujiNya bukan berdoa kepadaNya? Maka jawabannya adalah :  karena sesungguhnya seseorang yang memuji Allah, sesungguhnya ia secara  lisaanul haal telah berdoa kepadaNya, karena ia memuji Allah  dengan mengharapkan pahala dariNya. Maka jika dia mengharapkan pahala  dari Allah, maka pujian kepadaNya dalam bentuk tahmid, dzikir, dan takbir mengandung  doa, karena tidaklah dia memuji Allah kecuali karena mengharapkan  pahala. Sehingga makna mengabulkan sesuai dengan hal tersebut 46
          Dijelaskan oleh para Ulama’ bahwa doa terbagi menjadi 2 :
1. Doa yang berarti permintaan 
2. Doa yang berarti ibadah.
          Memuji  Allah adalah termasuk ibadah sehingga termasuk juga doa. Allah akan  mengabulkan doa orang-orang yang berdoa kepadanya baik doa itu berupa  permintaan dengan memberikan apa yang diminta, dan mengabulkan  orang-orang yang berdoa ibadah dengan memberikan pahala kepadanya. 
I’tidal (Berdiri tegak setelah bangkit dari ruku’)
          Terdapat beberapa bacaan yang dituntunkan Nabi ketika I’tidal, yaitu :
1)  Bacaan yang disebutkan dalam hadits Abu Hurairah, Anas bin Malik  diriwayatkan oleh AlBukhari dan hadits Abu Sa’id AlKhudry yang  diriwayatkan oleh Muslim 47:
رَبَّنَا لَكَ اْلحَمْدُ
   “ Wahai Tuhan kami, (hanya) untukMu lah (segala) pujian “
2) Bacaan yang disebutkan dalam hadits Abu Hurairah, Anas bin Malik, yang diriwayatkan oleh Muslim 48:
رَبَّنَا وَ لَكَ اْلحَمْدُ 
   “ Wahai Tuhan kami kabulkanlah dan (hanya) untukMu (segala) pujian “
     Dijelaskan oleh Ibnu Daqiiqil Ied : “ seakan-akan penetapan huruf wau ( و ) menunjukkan  makna tambahan sehingga maknanya : ‘ “Wahai Tuhan kami kabulkanlah, dan  untukMu lah (segenap) pujian” sehingga (bacaan ini) mengandung makna  doa dan makna pengkhabaran “   
3) Bacaan yang disebutkan dalam hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh AlBukhari dan Muslim 49:
اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ اْلحَمْدُ 
     “ Yaa Allah Tuhan kami, (hanya) untukMu lah (segala) pujian “
4) Bacaan yang disebutkan dalam lafadz yang lain yang diriwayatkan oleh AlBukhari 50:
 اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَ لَكَ اْلحَمْدُ 
     “ Yaa Allah Tuhan kami kabulkanlah, dan (hanya) untukMu lah (segala) pujian “
5) Bacaan yang disebutkan dalam hadits Rifa’ah bin Raafi’ AzZuroqiy yang diriwayatkan oleh AlBukhari 51 :
رَبَّنَا وَلَكَ اْلحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ 
     “ Wahai Tuhan kami, (hanya) untukMu lah (segala) pujian yang banyak, baik, dan diberkahi padanya “(lihat penjelasan untuk lafadz yang hampir serupa pada salah satu bacaan iftitah)
6) Bacaan yang disebutkan dalam hadits Abdillah Ibn Abi Aufa yang diriwayatkan Muslim 52:
اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ اْلحَمْدُ مِلْءَ السَّمَاوَاتِ وَمِلْءَ اْلأَرْضِ وَمِلْءَ مَا شِئْتَ   مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ 
     “  Yaa Allah Tuhan kami (hanya) untukMu lah (segala) puji sepenuh langit  dan sepenuh bumi dan sepenuh segala sesuatu sesuai KehendakMu setelahnya  “
Penjelasan :
          Al-Muthohhir menjelaskan : “  Ini adalah permisalan dan pendekatan (makna), karena ucapan/kalimat  (pujian) tidak bisa diukur dalam bentuk takaran-takaran dan tidak pula  dapat dimuat oleh tempat-tempat penampung. Hanyalah yang dimaksud adalah  (untuk menunjukkan) banyaknya jumlah (berlimpah) sehingga kalau  seandainya dirupakan dalam suatu wujud/bentuk yang bisa memenuhi suatu  tempat, akan mencapai segala sesuatu yang memenuhi langit dan bumi.  (Sedangkan makna) :  
وَمِلْءَ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ 
(artinya):  (yang memenuhi) lebih dari itu atau (memenuhi) di antara keduanya  (langit dan bumi), dan yang memenuhi selainnya seperti ‘Arsy,  al-Kursi,di bawah tanah …(dan yang lainnya yang hanya Allah saja yang  mengetahuinya)“
     At-Tuurbusytii menjelaskan : “ (makna kalimat) :
 وَمِلْءَ مَا شِئْتَ 
    (“ dan memenuhi segala sesuatu sesuai KehendakMu…”)
    “  Ini menunjukkan pengakuan kelemahan (hamba) sehingga tidak mampu  sepenuhnya bisa menunaikan pujian (yang sempurna bagi Allah) setelah  upaya (maksimal), karena ia telah memuji Allah dengan pujian yang  memenuhi langit dan bumi. Ini adalah puncak (pujian) (yang bisa  diungkapkan), kemudian ketika meningkat dan semakin tinggi, ia serahkan  (pujian itu)  sesuai dengan Kehendak Allah, karena memang tidak ada akhir/ batas pujian (bagi Allah)”53
                   Memang  tidak mungkin tercakup pada ucapan manusia seluruh pujian untuk Allah.  Asy-Syaikh Muhammad Ibn Sholih al-‘Utsaimin menjelaskan: “ Allah  Subhaanahu WaTa’ala terpuji atas segala makhluk yang diciptakanNya, dan  atas segala perbuatan yang dilakukanNya, dan Allahlah (yang paling  berhak) mendapatkan pujian. Dan telah diketahui bahwa langit dan bumi  serta isinya seluruhnya adalah makhlukNya, sehingga pujian memenuhi  langit dan bumi…”54
         Rasulullah  akan diberi ilham pujian-pujian untuk Allah yang tidak pernah diucapkan  oleh seorangpun sebelum beliau sebagaimana dalam sebuah hadits tentang Syafaatul ‘Udzhma (ketika manusia memohon syafaat kepada Nabi Muhammad shollallaahu ‘alaihi wasallam pada yaumul qiyaamah): 
...  فَيَقُوْلُوْنَ يَا مُحَمَّدُ أَنْتَ رَسُوْلُ الله وَخَاتِمُ  الأنْبِيَاءِ وَقَدْ غَفَرَ اللهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا  تَأَخَّرَ اِشْفَعْ لَنَا إِِِلَى رَبِّكَ أَلاَ تَرَى إِلَى مَا نَحْنُ  فِيْهِ فَأَنْطَلِقُ فَآتِي تَحْتَ الْعَرْشِ فَأَقَعُ سَاجِدًا لِرَبِّي عَزَّ وَجَلَّ ثُمَّ  يَفْتَحُ اللّهُ عَلَيَّ وَيُلْهِمُنِي مِنْ مَحَامِدِهِ  وَحُسْنِ الثَّنَاءِ عَلَيْهِ شَيْئًا لَمْ يَفْتَحْهُ عَلَى أَحَدٍ قَبْلِيْ
…” Maka  manusia berkata : ‘Wahai Muhammad, engkau adalah utusan Allah dan  penutup para Nabi. Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang telah lalu  maupun yang akan datang. Mintalah syafaat untuk kami kepada Tuhanmu.  Tidakkah engkau melihat keadaan kami yang seperti ini?’(Kemudian  Rasulullah menyatakan): Kemudian aku pergi menuju bawah Arsy dan sujud  kepada Tuhanku Azza Wa Jalla kemudian Allah membukakan kepadaku  dan mengilhamkan kepadaku pujian-pujian yang baik untukNya yang tidak  pernah dibukakan untuk orang-orang sebelumku”(H.R AlBukhari dan Muslim)
7) Bacaan yang disebutkan dalam hadits Abi Sa’id al-Khudry yang diriwayatkan Muslim 55:
رَبَّنَا  لَكَ اْلحَمْدُ مِلْءَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَمِلْءَ مَا شِئْتَ  مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ أَهْلَ الثَّنَاءِ وَاْلمَجْدِ أَحَقُّ مَا قَالَ  اْلعَبْدُ وَكُلُّنَا لَكَ عَبْدٌ اللَّهُمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ  وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ وَلاَ يَنْفَعُ ذَا اْلجَدِّ مِنْكَ  اْلجَدُّ 
     “  Wahai Tuhan kami, (hanya) untukMu lah segala pujian sepenuh langit dan  bumi dan sepenuh segala sesuatu sesuai KehendakMu setelahnya.  (Engkaulah) Pemilik pujian dan Keagungan, (suatu ucapan) yang paling  berhak diucapkan seorang hamba: dan kami seluruhnya adalah hambaMu. Yaa  Allah, tidak ada satupun penghalang yang bisa menghalangi dari apa yang  Engkau beri, dan tidak ada suatupun pemberi yang bisa memberikan apapun  yang Engkau halangi dan tidaklah ada yang bermanfaat kecuali amalan  sholeh untuk taat kepadaMu dan segala yang bisa mendekatkan kepadaMu “
Penjelasan :
     Penjelasan  sebagian lafadz di awal sudah dikupas sebelumnya. Dalam tambahan lafadz  ini kita mengakui bahwa Allahlah yang berhak mendapatkan pujian dan  keagungan. Kita mengakui sepenuhnya bahwa kita adalah hamba Allah,  kemudian kita yakini sepenuhnya kekuasaan Allah atas seluruh makhluk  yang jika Ia berkehendak untuk memberi suatu manfaat kepada seseorang,  tidak ada satu kekuatan pun yang bisa menghalangi tersampaikannya  pemberian Allah itu. Sebaliknya, jika Allah halangi sesuatu sampai pada  seseorang, maka tidak akan ada satupun kekuatan yang bisa  menyampaikannya pada seseorang tersebut. Hal ini nampak jelas pada lafadz :
اللَّهُمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ 
    “Yaa  Allah, tidak ada satupun penghalang yang bisa menghalangi dari apa yang  Engkau beri, dan tidak ada suatupun pemberi yang bisa memberikan apapun  yang Engkau halangi”
    Dalam  sebuah hadits Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam pernah  memberikan pengajaran yang begitu agung kepada Sahabat Ibnu Abbas, yang  masih belia saat itu :
يَاغُلاَمُ  إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ احْفَظِ اللهَ  تَجِدْهُ تُجَاهَكَ إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ  فَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَاعْلَمْ أَنَّ اْلأُمَّةَ لَوِاجْتَمَعَتْ عَلَى  أَنْ يَنْفَعُوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوْكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ  كَتَبَهُ اللهُ لَكَ وَلَوِاجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوْكَ بِشَيْءٍ  لَمْ يَضُرُّوْكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ رُفِعَتِ اْلأَقْلاَمُ وَجَفَّتِ الصُّحُف
   “  Wahai anak, aku akan mengajarimu beberapa kalimat : ‘Jagalah Allah,  niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah Allah niscaya engkau akan  mendapati Ia ada di hadapanmu. Jika engkau meminta, maka mintalah  kepadaNya. Jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan  kepadaNya. Ketahuilah, bahwa kalau seandainya seluruh umat  berkumpul untuk memberikan suatu manfaat kepadamu, tidak akan sampai  manfaat itu kepadamu kecuali jika Allah tetapkan sampai kepadamu. Dan  jika seluruh umat berkumpul untuk menimbulkan mudharat kepadamu, tidak  akan bisa memudharatkanmu sesuatupun kecuali jika Allah tetapkan sesuatu  bisa memudharatkanmu. Telah diangkat pena, dan telah kering  lembaran-lembaran “(H.R Ahmad, Abu Ya’la, AlHaakim, dan atTirmidzi,  beliau menyatakan bahwa hadits ini hasan shohih)
          Makna kalimat :
وَلاَ يَنْفَعُ ذَا اْلجَدِّ مِنْكَ اْلجَدُّ
     “  Tidaklah bermanfaat kekayaan (duniawi) bagi pemiliknya, karena kekayaan  itu berasal dariMu. Hanyalah yang bermanfaat amalan sholih dan segala  upaya untuk mendekatkan diri kepadaMu (sesuai dengan yang Engkau ridlai)(dijelaskan oleh AlHafidz dalam Fathul Baari (2/332), AnNawaawi dalam syarh Shohiih Muslim (4/196),Abut Thoyyib dalam ‘Aunul Ma’bud (3/59)).
          Allah Subhaanahu WaTa’ala berfirman :
 اْلمَالُ وَاْلبَنُوْنَ زِيْنَةُ اْلحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاْلبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَّخَيْرٌ أَمَلاًَ 
    “  Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, sedangkan  amalan-amalan sholih adalah lebih baik balasannya dan lebih (pantas)  untuk diangankan “ (Q.S AlKahfi : 46)
يَوْمَ لاَ يَنْفَعُ مَالٌ وَّلاَ بَنُوْنَ إِلاَّ مَنْ أَتَى اللهَ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍ
     “  Pada hari yang tidak bermanfaat waktu itu harta maupun anak, kecuali  yang datang menghadap Allah dengan hati yang selamat (dari syirik dan  kemunafiqan) “(
Q.S AsySyu’araa’ : 88-89)
  
Q.S AsySyu’araa’ : 88-89)
     Sebagian ulama’ menukilkan periwayatan dengan lafadz lain :
وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الْجِدِّ مِنْكَ اْلجِدُّ
  dengan bacaan : اْلجِدِّ (huruf jim dikasroh), yang diartikan : al-ijtihaad (upaya). Sehingga maknanya adalah : ‘tidaklah bermanfaat semata-mata amalan sholih seseorang, yang bisa menyelamatkan dia (selain dengan amalannya) kecuali harus dengan fadhilah dan rahmat dari Allah’. Pendapat demikian dikemukakan oleh AsySyaibaani dan dirajihkan oleh AsSuyuuthi dalam syarh asSuyuuthi li sunaan an-Nasaai (2/199) namun dilemahkan oleh al-Imam al-Qurthuby)
Referensi : 
http://itishom.web.id
 
1 komentar:
wah! Terimakasih ya.... Atas infonya
Posting Komentar