Rabu, 23 Februari 2011

Mengagungkan Allah dalam Ruku'

          Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

وَإِنِّّي نُهِيْتُ أَنْ أَقْرَأَ اْلقُرْآنَ رَاكِعًا أَوْ سَاجِدًا فَأَمَّا الرُّكُوْعُ فَعَظِّمُوْا فِيْهِ الرَّبَّ (رواه مسلم)
“ Sesungguhnya aku dilarang untuk membaca (ayat) AlQuran pada waktu ruku’ dan sujud. Adapun pada waktu ruku’ agungkanlah Tuhan “ (H.R Muslim)

Dalam ruku’ kita mengagungkan Allah dalam bentuk perbuatan (menundukkan tubuh) dan ucapan (lafadz bacaan ruku’)
Bacaan – bacaan dalam ruku’ yang disyariatkan :

1). Bacaan dalam hadits Hudzaifah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shohihnya :
سُبْحَانَ رَبِّيَ اْلعَظِيْمِ
“ Maha Suci Tuhanku yang Maha Agung “

Jumlah bacaan minimal adalah satu kali sesuai dengan hadits Hudzaifah tersebut. Adapun hadits yang menyebutkan batasan minimal 3 kali, yaitu :
عَنْ عَوْن بن عَبْدِ الله بن عُتْبَة عَنِ ابْنِ مَسْعُوْد أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ   قاَلَ إِذَا رَكَعَ أَحَدُكُمْ فَقَالَ فِي رُكُوْعِهِ سُبْحَانَ رَبِّيَ اْلعَظِيْم ثَلاَثَ مَرَّاتٍ فَقَدْ تَمَّ رُكُوْعُهُ وَذَلِكَ أَدْنَاهُ وَإِذَا سَجَدَ فَقَالَ فِي سُجُوْدِهِ سُبْحَانَ رَبِّيَ اْلأَعْلَى ثَلاَثَ مَرَّاٍت فَقَدْ تَمَّ سُجُوْدُهُ وَذَلِكَ أَدْنَاهُ (رواه أبو داود والترمذي وابن ماجه)
“ Dari ‘Aun bin Abdillah bin ‘Utbah dari Ibnu Mas’ud bahwasanya Nabi Shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “ Jika ruku’ salah seorang dari kalian kemudian mengucapkan dalam ruku’nya : Subhaana robbiyal ‘adzhiim tiga kali maka telah sempurnalah ruku’nya dan itulah (bacaan) terpendek. Dan jika sujud salah seorang di antara kalian kemudian mengucapkan dalam sujudnya : Subhaana robbiyal a’la tiga kali maka telah sempurnalah sujudnya dan itu adalah (bacaan) terpendek “ (H.R Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
         Dijelaskan oleh para ulama’ bahwa hadits ini adalah hadits dhoif 38 (mursal) karena sanadnya terputus. Di antaranya Abu Dawud yang mentakhrij hadits tersebut menyatakan bahwa ‘Aun (bin Abdillah bin ‘Utbah) tidak pernah bertemu dengan Ibnu Mas’ud, AlBukhary menyatakan bahwa hadits ini mursal dan sanadnya tidak bersambung.
Imam AsySyaukani menyatakan : “ Tidak ada dalil yang membatasi kesempurnaan tasbih itu dengan batasan tertentu. Tetapi yang mesti dilakukan adalah memperbanyak tasbih, disesuaikan dengan panjangnya sholat tanpa membatasi pada jumlah tertentu” 39

2) Bacaan yang disebutkan dalam hadits ‘Aisyah yang diriwayatkan oleh Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dan AnNasaa’I 40:
سُبُّوْحٌ قُدُّوْسٌ رَبُّ اْلمَلاَئِكَةِ وَالرُّوْحِ
“ Maha Suci dan Maha Bersih Tuhannya Malaikat dan Ruh (Jibril) “

Rincian Makna :
سُبُّوْحٌ = Maha Suci
قُدُّوْسٌ   = Maha Bersih
رَبُّ اْلمَلاَئِكَةِ =   Tuhan Malaikat  
وَالرُّوْحِ =dan (Tuhannya) Ruh (Jibril)
Penjelasan :
Makna : سُبُّوْحٌ adalah yang terlepas dari segala kekurangan dan sekutu (serikat) serta segala hal yang tidak layak terdapat  dalam Sifat Ilahiyyah. (Sedangkan) قُدُّوْسٌ adalah yang terbersihkan dari segala hal yang tidak layak (dinisbatkan) kepada Sang Pencipta 41

Ibnu Katsir menukil perkataan Ibnu Jarir dalam tafsirnya :  “ Ibnu Jarir berkata : ‘ AtTaqdiis (bacaan : قُدُّوْسٌ ) adalah pengagungan dan pembersihan. Sebagaimana ucapan :  سُبُّوْحٌ قُدُّوْسٌ mempunyai makna : سُبُّوْحٌ = pensucian bagiNya, sedangkan ucapan قُدُّوْسٌ = pengagungan dan pembersihan 42
         Makna الرُّوْحِ adalah Jibril sebagai Malaikat yang termulya dan tertinggi kedudukannya dibandingkan seluruh Malaikat yang lain seluruhnya. Sebagaimana sebagian para mufassirin menjelaskan bahwa yang turun pada Lailatul Qodar adalah Malaikat dan Ar-Ruuh, yaitu Jibril  :
تَنَزَّلُ اْلمَلاَئِكَةُ وَ الرُّوْحُ فِيْهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ …(القدر : 4)
“ Para Malaikat dan arRuuh (Jibril)  turun pada waktu itu atas idzin Tuhan mereka …”
(Q.S AlQodar : 4)
         Walaupun Jibril adalah termasuk Malaikat juga namun karena keutamaan yang ada padanya ia disebutkan tersendiri. Dalam lafadz doa yang lain Rasulullah juga memohon kepada Allah dengan menyebutkan Allah sebagai Tuhan Jibril, Mikail, dan Isrofil. Sebagaimana lafadz doa iftitah pada sholat malam (qiyaamul lail) yang disebutkan dalam hadits Aisyah yang diriwayatkan oleh Muslim :
كَانَ إِذَا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ افْتَتَحَ صَلاَتَهُ اللَّهُمَّ رَبَّ جِبْرَائِيْل وَمِيْكَائِيْلَ وَإِسْرَافِيْلَ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْض عَالِمَ اْلغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيْمَا كَانُوْا فِيْهِ يَخْتَلِفُوْنَ اهْدِنِي لِمَا اخْتُلِفَ فِيْهِ مِنَ اْلحَقِّ بِإِذْنِكَ إِنَّكَ تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ  (رواه مسلم )
Adalah Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam jika melakukan qiyaamul lail (sholat malam) beriftitah dalam sholatnya (dengan bacaan) : Allaahumma Robba Jibrooil wa Miikaail wa Isroofiil Faathiros samaawaati wal ardl ‘aalimal ghoibi wasysyahaadah anta tahkumu bayna ‘ibaadika fiimaa kaanuu fiihi yakhtalifuuna. Ihdinii limaakhtulifa fiihi minal haqqi bi-idznika innaka tahdii man tasyaa-u ila shiroothim mustaqiim (Wahai Allah Tuhannya Jibril, Mikail dan Isrofil, Sang Pencipta Langit dan bumi, Yang Maha Mengetahui yang ghoib dan nyata, Engkaulah Yang Menentukan hukum di antara hambaMu dalam hal-hal yang mereka perselisihkan. Tunjukilah aku kebenaran atas idzinMu dari hal-hal yang diperselisihkan. Sesungguhnya Engkau Pemberi petunjuk kepada orang-orang yang Engkau kehendaki menuju jalan yang lurus ) (H.R Muslim) 
         Maka dalam salah satu bacaan ruku’ ini kita mensucikan Allah, membersihkan dari segala hal yang tidak pantas untuknya, sekaligus kita agungkan Ia, dan kita sebut Ia sebagai Tuhan (Yang Menciptakan dan Memiliki Kekuasaan secara penuh) atas seluruh para Malaikat, yang salah satu di antara Malaikat yang paling mulya dan paling utama adalah Jibril. Bacaan ini selain disyariatkan dalam ruku’ juga dalam sujud.  

3) Bacaan ruku’ yang disebutkan dalam hadits ‘Aisyah yang diriwayatkan oleh alBukhari dan Muslim :
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي
“Maha Suci Engkau Yaa Allah Tuhan kami dan kami memujiMu, Yaa Allah ampunilah aku “

Rincian Makna :
سُبْحَانَكَ =  Maha Suci Engkau
اللَّهُمَّ = Yaa Allah
رَبَّنَا = Wahai Tuhan kami
وَبِحَمْدِكَ = dan kami memujiMu
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي = Yaa Allah ampunilah aku
Penjelasan :
Lafadz hadits secara lengkap tentang bacaan ini:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكْثِرُ أَنْ يَقُوْلَ فِي رُكُوْعِهِ وَسُجُوْدِهِ سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي يَتَأَوَّلُ اْلقُرْآنَ
“ Dari ‘Aisyah beliau berkata : ‘Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam memperbanyak membaca dalam ruku’ dan sujudnya :’ Subhaanakallaahumma robbanaa wabihamdika Allaahummaghfirlii ‘  
sebagai implementasi penafsiran AlQuran “ (H.R AlBukhari-Muslim)
Dijelaskan oleh para Ulama’ bahwa ayat AlQuran yang ditafsirkan dengan bacaan ini oleh Nabi adalah ayat-ayat dalam surat AnNashr.
Sebagaimana disebutkan dalam riwayat yang lain :
مَا صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ صَلاَةً بَعْدَ أَنْ نُزِلَتْ عَلَيْهِ :
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللهِ وَاْلفَتْحُ ...(النصر 1- 3) إِلاَّ يَقُوْلُ فِيْهَا سُبْحَانَكَ...
“ Tidaklah Nabi shollallaahu ‘alaihi wa aalihi wasallam sholat setelah turunnya (Surat AnNashr: 1-3) kecuali membaca (di dalam ruku’ dan sujudnya ) : Subhaanakallaahumma Robbanaa wabihamdika Allaahummaghfirlii “43
Dalam hal ini Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam melaksanakan perintah Allah dalam ayat AnNashr yaitu :
فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ...(النصر : 3)
“ Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepadaNya …”
(Q.S AnNashr :3)
       Sahabat Ibnu Abbas menyatakan bahwa turunnya surat AnNashr tersebut sebagai pertanda bahwa ajal Rasulullah sudah dekat dan memang beliau kemudian meninggal pada tahun yang sama dengan diturunkannya surat AnNashr tersebut. Dengan terjadinya Fathu Makkah (penaklukan kota Mekkah secara damai oleh kaum muslimin yang dipimpin Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam), maka tugas beliau sebagai penyampai risalah sudah hampir berakhir demikian juga dengan masa hidup beliau di dunia, sehingga kemudian beliau diperintahkan untuk selalu memperbanyak membaca tasbih dengan memuji Allah serta ber-istighfar kepadaNya. Sejak turunnya ayat tersebut beliau selalu membaca bacaan ini dalam ruku’ dan sujud beliau, dan bacaan ini dituntunkan untuk dibaca ummatnya dalam ruku’ dan sujud sebagaimana bacaan-bacaan lain yang diajarkan oleh beliau –semoga sholawat dan salam senantiasa tercurah pada beliau, keluarga dan segenap keturunan beliau yang sholih, para Sahabat, serta seluruh kaum muslimin yang terus konsisten menjalankan Sunnah-Sunnah beliau sampai hari kiamat -.

4) Bacaan dalam ruku’ dan sujud yang disebutkan dalam hadits ‘Auf bin Malik alAsyja’i yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, AnNasaa’i, dan Ahmad 57:
سُبْحَانَ ذِي اْلجَبَرُوْتِ وَاْلمَلَكُوْتِ وَالْكِبْرِيَاءِ وَاْلعَظَمَةِ
“ Maha Suci (Allah) Yang memiliki kemampuan untuk menundukkan, kepemilikan dan kekuasaan yang mutlak, kekuasaan, dan keagungan “
 Rincian Makna :
سُبْحَانَ = Maha Suci
ذِي =  Yang memiliki
اْلجَبَرُوْتِ = Kemampuan untuk menundukkan
وَاْلمَلَكُوْتِ  = dan kepemilikan dan kepenguasaan mutlak
وَالْكِبْرِيَاءِ = dan Kekuasaan  
وَاْلعَظَمَةِ = dan Keagungan
Penjelasan :
          Makna : اْلجَبَرُوْت adalah kekuasaan dan kemampuan penuh untuk memaksa dan mengalahkan, sebagaimana dijelaskan makna ini dalam kitab Aunul Ma’bud karya Abut Thoyyib Syamsul haq al-‘Adzhiim Aabadii. Allah Subhaanahu wa Ta’ala memiliki kekuasaan dan kemampuan secara mutlak untuk memaksa seluruh hambaNya untuk tunduk pada kekuasaanNya, sebagaimana dalam firmanNya :
وَهُوَ اْلقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ ...(الأنعام : 18)
“ Dan Dialah Allah Yang memiliki kekuasaan untuk memaksa / menundukkan hamba-hambaNya “
(Q.S AlAn’aam :18)
Imam Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya : “Dialah Allah yang leher-leher (hamba) tunduk padaNya, para pembangkang pun tunduk padaNya, dan wajah-wajah tunduk padaNya, dan segala sesuatu di bawah kekuasaanNya, dan seluruh makhluk (berupaya) mendekat kepadaNya, dan merendahkan diri pada Keagungan Kemulyaan dan KebesaranNya, pada Keagungan dan KetinggianNya, dan KekuasaanNya atas segala sesuatu …”
          Allahlah yang Maha Berkehendak atas segala sesuatu. Tidak ada yang bisa menghalangi terjadinya takdir Allah. Allahlah yang berkuasa dan Maha Mampu untuk memaksakan terjadinya segala sesuatu atas Kekuasaan dan kehendakNya. Tidak ada yang bisa menghindar dari sakit, kematian, dan segala takdir yang Allah tetapkan baginya. Tidak ada yang bisa menghindar ketika Allah paksa seluruh manusia dibangkitkan dan berkumpul di padang mahsyar. Tidak ada yang bisa menghalangi ketika Allah memaksa matahari terbit dari arah barat pada hari kiamat. Sebaliknya, tidak ada satupun yang bisa memaksa Allah. Dalam sebuah hadits disebutkan :
لاَ يَقُوُلَنَّ أَحَدُكُمْ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي إِنْ شِئْتَ اللَّهُمَّ ارْحَمْنِي إِنْ شِئْتَ لِيَعْزَمِ اْلمَسْأَلَةَ فَإِنَّهُ لاَ مُكْرِهَ لَهُ (رواه البخاري )
“ Janganlah salah seorang dari kalian berdoa : Yaa Allah ampuni aku jika Engkau menghendakinya, Yaa Allah rahmatilah Aku jika Engkau menghendakinya. Hendaknya dia meminta dengan sungguh-sungguh (kemauan yang kuat), karena sesungguhnya tidak ada yang memaksa Allah “(H.R AlBukhari)
Dijelaskan oleh Syaikh Ibnu Utsaimin dalam alQoulul Mufiid bahwa tidak boleh seseorang berdoa dengan menyatakan ampuni dan rahmati aku jika engkau kehendaki , jika Engkau kehendaki jangan ampuni dan rahmati aku. Seakan-akan orang yang berdoa itu menyatakan : ‘aku tidak memaksamu, jika Engkau mau ampuni aku, jika tidak jangan ampuni’ karena seseorang tersebut merasa bahwa permintaannya adalah permintaan yang sulit dan berat untuk dipenuhi Allah padahal tidak ada sesuatu pun yang berat dan sulit bagi Allah, sebagaimana disebutkan dalam hadits tersebut dengan lafadz yang diriwayatkan Muslim :
فَإِنَّ اللهَ لاَ يَتَعَاظَمُهُ شَيْءٌ أَعْطَاهُ
…karena sesungguhnya tidak ada sesuatu pun yang besar bagi Allah untuk diberikan “
Bahkan, berbeda dengan makhluk yang tidak senang jika banyak diminta, Allah justru murka pada hamba yang tidak pernah meminta (berdoa) kepadaNya. Dalam sebuah hadits disebutkan :
مَنْ لَمْ يَسْأَلِ اللهَ يَغْضَبْ عَلَيْهِ (رواه أحمد والترمذي وابن ماجه)
“Barangsiapa yang tidak meminta kepada Allah, Allah murka padanya “(H.R Ahmad, AtTirmidzi, dan Ibnu Majah dan dishahihkan oleh alHakim, disepakati oleh AdzDzahabi dan dihasankan oleh AlAlbani dalam Shahih Adaabul Mufrad)
          Namun, walaupun Allah memiliki kekuasaan mutlak untuk memaksa segala sesuatu agar tunduk di bawah takdirNya, dalam hal syariat yang berkaitan dengan perintah dan larangan Allah, Dia sekali-kali tidak pernah memaksa hamba-hambaNya untuk menjalankan perintah-perintahNya dan menjauhi larangan-laranganNya. Ia berikan pilihan bagi hambaNya, bagi yang mengikuti perintah dan aturanNya Ia sediakan balasan baik yang berlipat, sedangkan bagi yang tidak mau mengikuti Ia sediakan nanti di akhirat adzab yang sangat pedih. Allah Subhaanahu WaTa’ala berfirman :
إِنَّا خَلَقْنَا اْلإِنْسَانَ مِنْ نُّطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَّبْتَلِيْهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيْعًا بَصِيْرًا (1) إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيْلَ إِمَّا شَاكِرًا وَّإِمَّا كَفُوْرًا (3) إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِيْنَ سَلاَسِلَ وَ أَغْلاَلً وَّ سَعِيْرًا (4) (الإنسان :3-4)
“Sesungguhnya Kami menciptakan manusia dari air mani yang bercampur kemudian Kami uji dia, dan Kami jadikan dia bisa mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami memberikan penjelasan kepadanya ke arah jalan (yang lurus), bisa jadi dia bersyukur bisa jadi dia kufur. Kami sediakan bagi orang-orang kafir rantai-rantai, belenggu, dan api yang menyala dan panas membakar “ (Q.S AlInsaan :3-4)
وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْن (البلد : 10)
“ Dan Kami beri penjelasan pada dua jalan “ (Q.S AlBalad :10)
Dijelaskan oleh Sahabat Ibnu Mas’ud bahwa yang dimaksud dalam ayat ini Allah Subhaanahu WaTa’ala memberikan penjelasan jalan kebaikan dan jalan keburukan. Dalam ayat yang lain Allah berfirman :
فَأَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَتَقْوَاهَا (الشمس :8)
“ Maka Dia (Allah) mengilhamkan (menjelaskan) kepada jiwa manusia perbuatan fajir (durhaka) dan ketaqwaan (Q.S AsySyams :8)
Sahabat Ibnu Abbas menjelaskan ayat ini : Allah menjelaskan pada jiwa (manusia) kebaikan dan keburukan. Dalam ayat yang lain disebutkan :
وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَّبِكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِيْنَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا وَإِنْ يَسْتَغِيْثُوا يُغَاثُوْا بِمَاءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِي اْلوُجُوْهَ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءَتْ مُرْتَفَقًا (الكهف : 29)
“ Dan katakanlah : Al-Haq itu (berasal) dari Tuhan kalian. Barangsiapa yang ingin beriman maka hendaknya beriman, barangsiapa yang menghendaki kufur, maka silakan kufur. Kami sediakan bagi orang-orang dzholim (kafir kepada Allah, Rasul, dan KitabNya) neraka yang temboknya mengepung mereka. Jika mereka meminta (air), mereka akan diberi air sangat panas yang (hawanya) bisa memanggang kulit wajah. Itulah minuman yang sangat buruk, dan neraka adalah seburuk-buruk tempat menetap “(Q.S AlKahfi : 29)
       Hal ini perlu diperjelas sebagai bantahan bagi kaum Jabariyyah yang berkeyakinan bahwa manusia tidak memiliki pilihan sama sekali. Semuanya yang menggerakkan hanyalah Allah, manusia hanyalah pelaksana mutlak, sehingga mereka beranggapan bahwa orang-orang yang berdosa sekalipun sesungguhnya bukan karena kesalahan diri mereka pribadi, tetapi karena Allah pada hakikatnya yang menggerakkan mereka, dan manusia tersebut tidak ada pilihan dan kemampuan untuk menghindari dosa itu. Subhaanallah, Maha Suci Allah dari persangkaan mereka. Ayat-ayat di atas sesungguhnya telah cukup jelas membantah hal itu. Bahwa manusia juga memiliki pilihan untuk memilih jalan kebaikan atau keburukan. Mereka juga memiliki kehendak, walaupun kehendak mereka di bawah kehendak Allah Subhaanahu WaTa’ala, dan Allah sekali-kali tidaklah berbuat dzholim terhadap hambaNya.
          Makna : ْلمَلَكُوْتِ ا adalah kepemilikan dan kepenguasaan secara mutlak lahir dan batin. Segala sesuatu dimiliki dan dikuasai oleh Allah secara mutlak. Sebagaimana dalam firmanNya :
ِللهِ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي اْلأَرْضِ  ...(البقرة :284)
“Hanya milik Allah sajalah segala yang ada di langit dan di bumi “(Q.S AlBaqoroh :284)
Bahkan kita semuanyapun adalah milikNya dan kepadaNyalah kita akan dikembalikan. Sebuah ungkapan istirja’ yang dituntunkan Nabi, dan seharusnya kita hayati dan resapi secara mendalam :
إِنَّا ِللهِ وَ إِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
Sesungguhnya kami adalah milik Allah, dan kepadaNyalah kami akan dikembalikan “
          Sebuah keutamaan yang besar bagi orang yang mengucapkan dan menghayatinya ketika tertimpa musibah.  Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
مَا مِنْ عَبْدٍ تُصِيْبُهُ مُصِيْبَةٌ فَيَقُوْلُ إِنَّا ِللهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْن اللَّهُمَّ أَجِرْنِي فِي مُصِيْبَتِي وَأَخْلِفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا إِلاَّ أَجَرَهُ اللهُ فِي مُصِيْبَتِهِ وَأَخْلَفَ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا
“ Tidaklah seorang hamba tertimpa musibah kemudian dia berkata : Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun, Allaahumma ajirnii fii mushiibatii wa akhliflii khoyron minhaa “( Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepadaNyalah kami akan dikembalikan. Yaa Allah berikanlah aku pahala atas musibahku ini dan beri ganti aku dengan yang lebih baik ), kecuali Allah akan memberi pahala atas musibahnya itu dan akan menggantikan yang lebih baik baginya “ (H.R Muslim dari Ummu Salamah, salah seorang istri Nabi)
       Makna :  الْكِبْرِيَاءِadalah kekuasaan, sebagaimana Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman :
وَلَهُ اْلكِبْرِيآءُ فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَهُوَ اْلعَزِيْزُ اْلحَكِيْمُ (الجاثية : 37)
“ Dan bagi Allahlah al-kibriyaa’ (kekuasaan) di langit dan bumi, dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana “(Q.S AlJaatsiyah :37)
Mujahid (salah seorang taabi’iin) menjelaskan makna الْكِبْرِيَاءِ : kekuasaan, yaitu Dialah Yang Maha Agung dan teragungkan, yang segala sesuatu tunduk di hadapanNya, dan sangat butuh kepadaNya.
          Makna lain dari الْكِبْرِيَاءِ adalah keangkuhan atau kesombongan. AlImam AlQurthuby menyatakan : الْكِبْرِيَاء adalah sifat yang jika (dinisbatkan) pada Allah adalah suatu hal yang terpuji, jika (dinisbatkan) pada makhluk adalah sifat yang tercela 44
          Hanya Allahlah memang yang berhak dan pantas untuk sombong karena Dialah Yang TerBesar di atas segala-galanya, Dialah pula Yang Maha Berkuasa atas segala-galanya, Dia tidak butuh pada apa dan siapapun, sedangkan segala sesuatu sangat butuh kepadaNya. Dalam sebuah hadits Qudsi disebutkan :
 يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى : الْعِظَمَةُ إِزَارِيْ وَ اْلكِبْرِيَاءُ رِدَائِي فَمَنْ نَازَعَنِي وَاحِدًا مِنْهُمَا أَسْكَنْتُهُ نَارِيْ (رواه مسلم)

“ Allah Ta’ala berfirman : Keagungan adalah sarungKu dan Kesombongan adalah selendangKu. Barangsiapa yang mengambil salah satu dari keduanya, Aku letakkan ia di nerakaKu (AnNaar) (H.R Muslim)
Imam AlQurthuby menjelaskan : “ bukanlah yang dimaksud (sarung dan selendang) adalah pakaian yang bisa dirasakan (hakiki), akan tetapi untuk menepatkan (perasaan bahasa) bahwa sarung dan selendang memang biasa digunakan sebagai pengibaratan dalam (bahasa) Arab (untuk menyatakan) keagungan dan kesombongan “(perkataan beliau dinukil dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi karya AlMubarakfury juz 7 hal 197 cetakan Daarul Kutub al-Ilmiyyah Beirut)
AsSuyuuthi, Abdul Ghoni, dan Fakhrul Hasan adDahlawi menjelaskan dalam kitab syarh Sunan Ibn Maajah (I/308) : Disebutkan dalam kitab anNihaayah, (maksud hadits Qudsi tersebut) Allah memberikan permisalan bahwa hanya Dialah satu-satunya yang pantas memiliki Sifat Keagungan dan Kesombongan, bukan seperti sifat-sifat lain yang bisa jadi dimiliki yang lain seperti (sifat) rahmat dan kedermawanan, sebagaimana tidak mungkin seseorang memakai bersama sarung dan selendang orang lain “
          Sifat sombong memang tidak boleh ada pada makhluk bahkan bisa menghalangi seseorang masuk surga (AlJannah), sebagaimana disebutkan dalam hadits :
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ عَنِ النَّبِيِّ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  قَالَ لاَ يَدْخُلُ اْلجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِِهِ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُوْنَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللهَ جَمِيْلٌ يُحِبُّ اْلجَمَالَ اْلكِبْرُ بَطَرُ اْلحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“ Dari Sahabat Ibnu Mas’ud dari Nabi Shollallaahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda : ‘ Tidak masuk surga seseorang yang di hatinya ada sebesar dzarrah kesombongan. Salah seorang laki-laki berkata : Sesungguhnya ada seseorang yang suka memakai pakaian dan sandal yang bagus. Rasul menyatakan : Sesungguhnya Allah Indah dan mencintai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia “(H.R Muslim)
          Seseorang seringkali bersikap sombong dengan menolak kebenaran yang disampaikan oleh saudaranya sesama muslim ketika ia dinasehati, semata-mata merasa dirinya lebih berilmu dan orang yang memberinya nasehat masih di bawahnya dalam hal keilmuan,  sehingga kemudian ia meremehkannya, dan tidak mau menerima nasehat tersebut. Padahal nasehat yang disampaikan adalah nasehat yang bersumber dari AlQuran dan AsSunnah shohihah dengan pemahaman para Sahabat Nabi.
          Sikap yang seharusnya dilakukan jika ada seseorang yang menegur kita dan menyatakan bahwa yang kita lakukan salah, hendaknya kita berdiskusi dengan dia dengan cara yang baik dan didasari niat ikhlas untuk mencari kebenaran. Jika kita berselisih pendapat tentang suatu permasalahan dalam Dien ini hendaknya kita  menjalankan perintah Allah :
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُوْلِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَّأَحْسَنُ تَأْوِيْلاً (النساء : 59)
“ Jika kalian berselisih pendapat tentang suatu hal, maka kembalikanlah kepada Allah dan RasulNya jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir, yang demikian ini lebih baik dan lebih baik (pula) akibatnya “ (Q.S AnNisaa’:59)
          Jika ternyata yang kita lakukan selama ini tidak ada dasarnya sama sekali dari AlQuran dan AsSunnah yang shohih, sedangkan saudara kita yang berdiskusi dengan kita ternyata berlandaskan dalil yang kuat, maka hendaknya kita berupaya menundukkan hawa nafsu kita – yang senantiasa mengajak untuk menolak kebenaran – untuk menerima dan mengubah sikap kita sebelumnya. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman :
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَّلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُوْنَ لَهُمُ اْلخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَّعْصِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُّبِيْنًا (الأحزاب : 36)
“Tidak boleh bagi orang mukmin laki-laki maupun wanita jika Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu perintah, kemudian masih ada pilihan dalam urusannya. Barangsiapa yang bermaksiat kepada Allah dan RasulNya, maka telah sesat dengan kesesatan yang nyata “(Q.S AlAhzab :36)
AsySyaikh As-Sa’di menjelaskan dalam tafsirnya bahwa jika Allah dan RasulNya telah jelas menetapkan suatu perintah, maka tidak ada pilihan baginya untuk (boleh) mengerjakan atau (boleh) tidak mengerjakan.
Dalam ayat yang lain disebutkan :
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ حَتَّى يُحَكِّمُوْكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُوْا فِيْ أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا (النساء :65)
“ Maka Tidaklah, Demi TuhanMu, tidaklah mereka beriman sampai menjadikan engkau (wahai Muhammad) sebagai hakim atas hal-hal yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak mendapati di dalam diri mereka sempit dada atas apa yang engkau putuskan, dan mereka menerima dengan penuh penerimaan“(Q.S AnNisaa’:65)
Demikianlah seharusnya kewajiban seorang mukmin, jika telah datang dalil yang jelas dari AlQuran dan hadits yang shohih, hendaknya ia terima dengan lapang dada dan mengerjakan hal yang diperintahkan.     
       Namun, yang sangat disayangkan, seringkali terjadi jika seseorang dinasehati bahwa apa yang dilakukan adalah terlarang secara syariat, kemudian dijelaskan dalil-dalil yang tegas dari AlQuran dan AsSunnah yang shohihah, ia tetap pada pendiriannya dengan alasan : “ ini adalah kebiasaan dan tradisi yang telah kuat mengakar dan dilakukan secara turun temurun “. Allah Subhaanahu Wa Ta’ala mencela sikap orang-orang musyrikin dan para penentang dakwah Rasul yang ketika datang perintah dan larangan dari Rasul tersebut mereka tidak mau mentaatinya dengan alasan nenek moyang mereka telah mewariskan tradisi (kesesatan) itu secara turun temurun. Dalam hal ini Allah Subhaanahu WaTa’ala berfirman :
وَإِذَا قِيْلَ لَهُمُ اتَّبِعُوْا مَا أَنْزَلَ اللهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَ لَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لاَ يَعْقِلُوْنَ شَيْئًا وَّلاَ يَهْتَدُوْنَ (البقرة :170)
“ Dan jika dikatakan kepada mereka : ‘Ikutilah apa yang telah Allah turunkan. Mereka mengatakan : ‘kami mengikuti apa-apa yang kami dapati dari ayah-ayah kami (sebelumnya). (Allah berfirman) : ‘Apakah (mereka akan tetap mengikuti) walaupun ayah-ayah mereka tidak memahami sesuatu dan tidak mendapatkan petunjuk ?”(Q.S AlBaqoroh :170) 
وَإِذَا قِيْلَ لَهُمُ اتَّبِعُوْا مَآ أَنْزَلَ اللهُ قَالُوْا بَلْ نَتَّّبِعُ مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبآءَنَا أَوَلَوْ كَانَ الشَّيْطَانُ يَدْعُوْهُمْ إِلَى عَذَابِ السَّعِيْرِ (لقمان : 21)
“ Dan jika dikatakan kepada mereka : ‘Ikutilah apa yang Allah turunkan . Mereka mengatakan : ‘kami mengikuti apa-apa yang kami dapati dari ayah-ayah kami’. (Allah berfirman):’Apakah mereka akan tetap (mengikuti) meskipun syaitan mengajak mereka menuju adzab yang pedih ?”(Q.S Luqmaan : 21)
          Semoga Allah Subhaanahu wa Ta’ala memberikan hidayah kepada kita semua agar terjauhkan dari sikap sombong, menganugerahkan kepada kita sikap tawadlu’, dan memberikan taufiq dan bimbinganNya kepada kita agar senantiasa mau beramal sholih  atau meninggalkan suatu amalan sholih semata-mata karena berlandaskan dalil dari KitabNya dan Sunnah RasulNya yang mulya.

5) Bacaan ruku’ yang disebutkan dalam hadits ‘Ali bin Abi Tholib yang diriwayatkan oleh Muslim , Abu Dawud, AtTirmidzi, dan Ahmad:
  اللَّهُمَّ لَكَ رَكَعْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَلَكَ أَسْلَمْتُ خَشَعَ لَكَ سَمْعِيْ وَبَصَرِيْ وَمُخِّي   وَعَظْمِيْ وَعَصَبِيْ 
“Yaa Allah, untukMu aku ruku’ dan kepadaMu aku beriman dan kepadaMu aku menyerahkan diriku. Tunduk kepadaMu pendengaranku, penglihatanku, otakku, tulangku, dan urat syarafku”

Rincian Makna :
  اللَّهُمَّ =  Yaa Allah
لَكَ رَكَعْتُ = untukMu aku ruku
وَبِكَ آمَنْتُ = dan kepadaMu aku beriman
وَلَكَ أَسْلَمْتُ = dan kepadaMu aku menyerahkan diriku
خَشَعَ لَكَ = tunduk kepadaMu
سَمْعِيْ  =  pendengaranku
وَبَصَرِيْ  = dan penglihatanku
وَمُخِّي  = dan otakku
وَعَظْمِيْ =  dan tulangku
وَعَصَبِيْ = dan uratku
Penjelasan :
          Dalam bacaan ini kita agungkan Allah dan kita nyatakan bahwa kita ruku’ untukNya semata. Kita beriman kepadaNya dan kita pasrahkan diri kita padaNya.
Ibnul Malik menjelaskan bahwa  kita tundukkan pendengaran dan penglihatan kepada Allah artinya kita jadikan 2 indera itu tenang di hadapanNya, sehingga tidaklah mendengar kecuali dariNya, dan tidaklah melihat kecuali karena Allah dan kepadaNya (kepada yang disyariatkan Allah,pen). Pengkhususan penyebutan 2 indera ini adalah karena mayoritas penyakit-penyakit (hati) bersumber darinya, sehingga jika keduanya tunduk (kepada Allah), maka akan meminimalkan (atau bahkan meniadakan) perasaan was-was. Dijelaskan oleh Ibnu Ruslan bahwa disebutkan pula (ketundukan) otak, karena inti segala sesuatu adalah ‘otak’. Sedangkan penyebutan tulang dan urat, adalah untuk pernyataan bahwa tidaklah tulang-tulang dan urat-urat kita tegak dan bergerak kecuali karena Allah dan untuk menjalankan ketaatan kepadaNya 45


CATATAN KAKI :
38. Hadits dho’if adalah hadits yang lemah. Dalam pengertian sederhana, hadits tersebut adalah hadits yang lemah penisbatannya kepada Nabi. Suatu hadits masuk dalam kategori yang lemah dengan berbagai sebab sesuai hasil penelitian ulama’ – ulama’ ahlul hadits : bisa jadi karena sanadnya (urutan mata rantai perawi) terputus, atau di dalam sanad tersebut ada perawi yang pendusta atau sebab-sebab yang lain dan tidak cukup mendapatkan penguat dari riwayat-riwayat yang lain yang bisa mengangkat derajatnya menjadi hasan sehingga bisa diterima. Hadits lemah tidak bisa digunakan sebagai dalil/ sumber hukum.

39. Lihat Nailul Authar juz 2 hal 275 cetakan Daarul Jayl Beirut tahun 1973 M

40. Lafadz hadits secara langkap :
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُوْلُ فِيْ رُكُوْعِهِ وَسُجُوْدِهِ سُبُّوْحٌ قُدُّوْسٌ رَبُّ  اْلمَلاَئِكَةِ وَالرُّوْحِ
“ Dari ‘Aisyah bahwasanya Nabi Shollallaahu ‘alaihi wasallam mengucapkan dalam ruku’ dan sujudnya :  Subbuuhun Qudduusun Robbul Malaaikati WarRuuh “ (H.R Muslim, Ahmad, Abu Dawud, AnNasaa’I)

41. Lihat Aunul Ma’bud karya Abut Thoyyib Muhammad Syamsul haq al-‘Adzhiim  juz 3 hal 88 cetakan Daarul Kutub al-Ilmiyyah Beirut  dan silakan disimak pula Nailul Authar juz 2 hal 273 cetakan Daarul Jayl Beirut tahun 1973 M.

42. Silakan disimak Tafsir Ibnu Katsir dalam penafsiran surat AlBaqoroh ayat 30, tepat pada kalimat ucapan Malaikat :

وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَ نُقَدِّسُ لَكَ

43. Lihat Nailul Authar karya Imam AsySyaukani juz 2 hal 274 cetakan Daarul Jayl Beirut tahun 1973 M.

44. Lihat Tafsir AlQurthuby juz 18 (dari 20 juz) hal 47 cetakan Daaru asySya’b Kairo tahun 1372 H.

45. Lihat Tuhfatul Ahwadzi karya AlMubarakfury juz 9 hal 265


(Abu Utsman Kharisman)

Referensi:
http://itishom.web.id

Tidak ada komentar:

Dipersilahkan mencari artikel blog ini