Indahnya ketika sakit karena difitnah, bila kita mampu merasakan penuh kerendahan….
Indahnya ketika sakit karena dihujat, bila kita bisa diam mengambil hikmah dari hujatan itu….
Karena
sesungguhnya sakit itu sendiri tidak ada, karena nampak sekali itu
adalah ujian Allah bagi hati yang terbuka! Akan tetapi ketika matahati
tertutup yang nampak bukan Tuhan yang memberi rahmat, akan tetapi yang
nampak orang yang menfitnah dan menghujat kita anggap sebagai lawan.
Jangan sekali-kali kita mempunyai lawan dan jangan sekali-kali menciptakan lawan!
Sekali
merasa mempunyai lawan terganjal sudah perjalananmu menuju kepada
Tuhanmu, maka orang selamat tidak punya lawan, ketika disakiti dia tidak
pernah membalas dan tidak pernah merasa itu adalah lawan.
Jangan
ada kebencian walaupun badai fitnah dihadapanmu! Jangan ada sakit hati
walaupun cacian menerpamu! Sekali merasa benci otomatis engkau telah
menciptakan lawan, dan besok diakhirat pasti akan ditemukan dan pasti
akan dituntut dan saling menuntut.
Sakitnya hati ini indah, kalau kita memandang bahwa semua itu skenario Tuhan, kita harus tunduk dengan sakit itu.
Ingat dan perhatikan…!!!
Satu
langkah itu diatur, bukan langkah kita akan tetapi aturan Tuhan,
langkah kita adalah sunnatullah bukan kita yang melangkah karena kita
ini tidak ada sebab kita ini adalah ciptaan dan tidak mampu melangkah.
Masya Allah… begitu berat hidup itu!!!
Dibalik
itu hikmah sungguh besar tapi nafsu yang melarang untuk menerima hikmah
yang datang dari fitnahan itu, dan itu harus diperangi.
Ketika
kita disakiti paksa untuk menerima, paksa untuk mengalah, paksa untuk
diam jangan kau perbolehkan nafsu andil ikut bersemayam didalam hatimu,
karena orang yang berfikir jernih pandangannya hanya Tuhannya!
***
Ingatkah kisah khalifah Umar Bin Khattab ketika mendapat cacian dan fitnaan dari janda tua?
Suatu
masa dalam kepemimpinan Umar, terjadilah Tahun kelam. Dimana masyarakat
Arab, mengalami masa sulit yang berat. Hujan tidak lagi turun.
Pepohonan mengering, tidak terhitung hewan yang mati mengenaskan. Tanah
tempat berpijak hampir menghitam seperti abu.
Hampir
setiap malam Umar bin Khattab melakukan perjalanan diam-diam. Ditemani
salah seorang sahabatnya, ia masuk keluar kampung. Ini ia lakukan untuk
mengetahui kehidupan rakyatnya. Umar khawatir jika ada hak-hak mereka
yang belum ditunaikan oleh aparat pemerintahannya.
Malam
itu pun, bersama Aslam, Khalifah Umar berada di suatu kampung
terpencil. Kampung itu berada di tengah-tengah gurun yang sepi. Saat itu
Khalifah terperanjat. Dari sebuah kemah yang sudah rombeng, terdengar
seorang gadis kecil sedang menangis berkepanjangan. Umar bin khattab dan
Aslam bergegas mendekati kemah itu, siapa tahu penghuninya membutuhkan
pertolongan mendesak.
Setelah
dekat, Umar melihat seorang perempuan tua tengah menjerangkan panci di
atas tungku api. Asap mengepul-ngepul dari panci itu, sementara si ibu
terus saja mengaduk-aduk isi panci dengan sebuah sendok kayu yang
panjang.
“Assalamu’alaikum,” Umar memberi salam.
Mendengar
salam Umar, ibu itu mendongakan kepala seraya menjawab salam Umar. Tapi
setelah itu, ia kembali pada pekerjaannya mengaduk-aduk isi panci.
“Siapakah gerangan yang menangis di dalam itu?” tanya Umar.
Dengan sedikit tak peduli, ibu itu menjawab, “Anakku….”
“Apakah ia sakit?”
“Tidak,” jawab si ibu lagi. “Ia kelaparan.”
Umar
dan Aslam tertegun. Mereka masih tetap duduk di depan kemah sampai
lebih dari satu jam. Gadis kecil itu masih terus menangis. Sedangkan
ibunya terus mengaduk-aduk isi pancinya.
Umar
tidak habis pikir, apa yang sedang dimasak oleh ibu tua itu? Sudah
begitu lama tapi belum juga matang. Karena tak tahan, akhirnya Umar
berkata, “Apa yang sedang kau masak, hai Ibu? Kenapa tidak matang-matang
juga masakanmu itu?”
Ibu itu menoleh dan menjawab, “Hmmm, kau lihatlah sendiri!”
Umar
dan Aslam segera menjenguk ke dalam panci tersebut. Alangkah kagetnya
ketika mereka melihat apa yang ada di dalam panci tersebut. Sambil masih
terbelalak tak percaya, Umar berteriak, “Apakah kau memasak batu?”
Perempuan itu menjawab dengan menganggukkan kepala.
“Buat apa?”
Dengan
suara lirih, perempuan itu kembali bersuara menjawab pertanyaan Umar,
“Aku memasak batu-batu ini untuk menghibur anakku. Inilah kejahatan
Khalifah Umar bin Khattab. Ia tidak mau melihat ke bawah, apakah
kebutuhan rakyatnya sudah terpenuhi belum. Lihatlah aku. Aku seorang
janda. Sejak dari pagi tadi, aku dan anakku belum makan apa-apa.
Jadi
anakku pun kusuruh berpuasa, dengan harapan ketika waktu berbuka kami
mendapat rejeki. Namun ternyata tidak. Sesudah magrib tiba, makanan
belum ada juga. Anakku terpaksa tidur dengan perut yang kosong. Aku
mengumpulkan batu-batu kecil, memasukkannya ke dalam panci dan kuisi
air. Lalu batu-batu itu kumasak untuk membohongi anakku, dengan harapan
ia akan tertidur lelap sampai pagi. Ternyata tidak. Mungkin karena
lapar, sebentar-sebentar ia bangun dan menangis minta makan.” Ibu
itu diam sejenak. Kemudian ia melanjutkan, “Namun apa dayaku? Sungguh
Umar bin Khattab tidak pantas jadi pemimpin. Ia tidak mampu menjamin
kebutuhan rakyatnya.”
Mendengar
penuturan si Ibu seperti itu, Aslam akan menegur perempuan itu. Namun
Umar sempat mencegah. Dengan air mata berlinang ia bangkit dan mengajak
Aslam cepat-cepat pulang ke Madinah. Tanpa istirahat lagi, Umar segera
memikul gandum di punggungnya, untuk diberikan kepada janda tua yang
sengsara itu.
Karena Umar bin Khattab terlihat keletihan, Aslam berkata, “Wahai Amirul Mukminin, biarlah aku saya yang memikul karung itu….”
Dengan
wajah merah padam, Umar menjawab sebat, “Aslam, jangan jerumuskan aku
ke dalam neraka. Engkau akan menggantikan aku memikul beban ini, apakah
kau kira engkau akan mau memikul beban di pundakku ini di hari
pembalasan kelak?”
Aslam
tertunduk. Ia masih berdiri mematung, ketika terseok-seok Khalifah Umar
bin Khattab berjuang memikul karung gandum menuju ke tempat wanita dan
anak-anaknya yang sedang kelaparan. Ketika sampai di tempat wanita
tersebut kemudian khalifah Umar meletakkan karung berisi gandum dan
beberapa liter minyak samin ke tanah, kemudian memasaknya. Tatkala
gandum tersebut sudah masak Khalifah Umar meminta sang ibu membangunkan
anaknya.
“Bangunkanlah anakmu untuk makan.”
Anak yang kelaparan tersebut bangun dan makan dengan lahapnya. Anak tersebut kembali tertidur dengan perut yang telah kenyang.
“Wanita itu berkata, terimakasih, semoga Allah membalas perbuatanmu dengan pahala yang berlipat.”
Sebelum
pergi khalifah Umar berkata kepada wanita tersebut untuk datang menemui
khalifah Umar bin Khattab ra, karena khalifah akan memberikan haknya
sebagai penerima santunan negara.
Esok
harinya pergilah wanita tersebut ke tengah kota Madinah untuk menemui
khalifah Umar bin Khattab ra, dan tatkala wanita tersebut bertemu dengan
khalifah Umar, betapa terkejutnya wanita tersebut, bahwa khalifah Umar
adalah orang yang memanggulkan dan memasakkan gandum tadi malam.
***
Apalah
jadinya jikalau cacian, fitnahan dan hinaan dibalas dengan kekejaman
oleh khalifah Umar Bin Khattab? Bukan kasih sayang yang terjadi malah
semakin meluas fitnahan itu.
Sungguh
indah jikalau cacian, fitnahan dan hinaan dibalas dengan kasih sayang,
ternyata cacian, fitnahan dan hinaan membawa kasih sayang.
Maka
jangan sekali-kali pernah mengujat orang lain, jangan sekali-kali
pernah menyalahkan orang lain karena sekali engkau membenci dan
menyalahkan orang lain, maka satu musuh yang kita tanam.
Walaupun berat perjalanan hidup, semoga Allah meridhoi langkah perjuangan ini… Aamiin...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar