Pada  saat membaca Al-Fatihah inilah sebenarnya esensi dari dialog dengan  Allah. Karena disebutkan dalam sebuah hadits Qudsi bahwa setiap ayat  yang dibaca seseorang dari Al-Fatihah mendapat jawaban langsung dari  Allah, sehingga terjadi dialog antara hamba dengan Allah. Sebagaimana  disebutkan dalam hadits qudsi tersebut :
قَسَمْتُ الصَّلاَةَ  بَيْنِيْ  وَبَيْنَ عَبْدِيْ نِصْفَيْنِ وَلِعَبْدِيْ مَا سَأَلَ فَإِذَا قَالَ  الْعَبْدُ الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ قَالَ اللهُ تَعَالَى  حَمِدَنِي عَبْدِي وَإِذَا قَالَ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ قَالَ اللهُ  تَعَالَى أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي وَإِذَا قَالَ مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ  قَالَ مَجَّدَنِي عَبْدِي َوقَالَ مَرَّةً فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي فَإِذَا  قَالَ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ قَالَ  هذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ فَإِذَا قَالَ  اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيِْم صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ  عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُْوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّيْنَ قَالَ هذا  لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ   
“ Aku membagi As -Sholaah  (Al-Fatihah) antara Aku dengan hamba-Ku menjadi 2 bagian dan bagi hamba-Ku  ia mendapatkan yang ia minta. Jika seorang hamba mengucap : 
الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ Allah berfirman : ‘HambaKu telah memujiKu’. Jika seorang hamba mengucapkan :  الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ , Allah berfirman : ‘HambaKu telah memujiKu. Jika hambaKu mengucapkan : مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ , Allah berfirman : ‘HambaKu telah mengagungkan Aku’,  dan kemudian  Ia berkata selanjutnya : “HambaKu telah menyerahkan (urusannya) padaKu. Jika seorang hamba mengatakan :   إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ  , Allah menjawab : Ini adalah antara diriKu dan hambaKu, hambaKu akan mendapatkan yang ia minta. Jika seorang hamba mengatakan : 
اِهْدِنَا  الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيِْم صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ  غَيْرِ الْمَغْضُْوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّيْنَ    
 Allah  menjawab : Ini adalah untuk hambaKu, dan baginya apa yang ia minta .
(H.R  Muslim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dalam Shohihnya, AtTirmidzi dalam  Sunannya)
Allah menjawab ucapan seseorang dengan kalimat : “hambaKu telah memujiKu” pada saat diucapkan الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ dan الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ. Dua kalimat tersebut mengandung pujian bagi Allah, namun ada sedikit perbedaan. Pada kalimat yang pertama : الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ ( segala puji bagi Allah) pujian bagi Allah karena kebaikan perbuatan, sedangkan pada kalimat yang kedua : الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ (Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang) selain mengandung pujian karena kebaikan perbuatan juga karena kesempurnaan   SifatNya 25 
Para  Ulama’ berbeda pendapat tentang apakah basmalah termasuk dalam surat Al  Fatihah atau tidak. Hal yang menjadi kesepakatan adalah bahwa basmalah  (bismillaahirrohmaanirohiim) merupakan bagian dari salah satu ayat surat  AnNaml, yaitu ketika Nabi Sulaiman mengirim surat pada Ratu Balqis, di  dalamnya terkandung basmalah. Hal ini terdapat dalam Surat AnNaml ayat 30 :
إِنَّهُ مِنْ سُلَيْمَانَ وَإِنَّهُ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
 Artinya  : “Dan sesungguhnya (surat itu) berasal dari Sulaiman dan sesungguhnya  (terdapat tulisan) Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha  Penyayang.
Sebagian  Ulama’ menyatakan bahwa basmalah hanyalah merupakan bagian permulaan  tiap surat sebagai pemisah antar surat, kecuali surat AtTaubah. Dalil yang menunjukkan bahwa ia merupakan pemisah antar surat adalah hadits :
 عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِي اللهُ  عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ  صَلَّى اللهُ عَلَيِْه وَسَلَّمَ كَانَ لاَ  يَعْرِفُ فَصْلَ  السُّوْرَةِ حَتَّى يُنْزَلَ عَلَيْهِ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
Dari  Ibnu Abbas – Radliyallaahu ‘anhuma – bahwasanya Rasulullah Shollallaahu  ‘alaihi wa sallam sebelumnya tidak mengetahui pemisah antar surat  (dalam AlQuran) sampai (Allah) turunkan atas beliau  ‘bismillaahirrohmaanirrohiim’ (H.R Abu Dawud dalam Sunannya, dan Ibnu  Katsir menyebutkan dalam tafsirnya bahwa sanad hadits ini shohih)  
          Hadits Qudsi tersebut di atas juga dijadikan dalil oleh para Ulama’ yang berpendapat bahwa bacaan basmalah (bismillaahirrohmaanirrohiim) bukanlah  termasuk dari AlFatihah. Nampak dari hadits qudsi di atas bahwa  permulaan bacaan tersebut (dialog antara pembaca AlFatihah dengan Allah)  adalah: الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ, bukan dimulai dengan basmalah. 
          Namun,  walaupun seandainya kita mengikuti pendapat ulama’ yang menyatakan  bahwa basmalah bukan termasuk AlFatihah, dalam sholat sebelum membacanya  tetap kita baca basmalah, karena Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi  wasallam juga membaca basmalah dalam sholat. Sebagaimana disebutkan  dalam hadits Nu’aim al-Mujmiri ketika menerangkan sholat Abu Hurairah :
صَلَّيْتُ  وَرَاءَ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَقَرَأَ بِسْمِ اللهِ  الرَّحْمنِ الرَّحِيْم ثُمَّ قَرَأَ بِأُمِّ اْلقُرْآنِ حَتَّى بَلَغَ  وَلاَ الضَّالِّيْنَ فَقَالَ امِيْن وَقَالَ النَّاسُ امِيْن وَيَقُوْلُ  كُلَّمَا سَجَدَ اللهُ أَكْبَر فَإِذَا قَامَ مِنَ اْلجُلُوْسِ قَالَ اللهُ  أَكْبَر وَيَقُوْلُ إِذَا سَلَّمَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنِّي  َلأَشْبَهَكُمْ صَلاَةً بِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ   
“Aku  sholat di belakang Abu Hurairah – semoga Allah meridlainya- dia membaca  bismillaahirrohmaanirrohiim kemudian membaca Ummul Qur’an (AlFatihah)  sampai pada bacaan :  وَلاَ الضَّالِّيْنَ , kemudian  mengucapkan : Aamiin, orang-orang (makmum) juga mengucapkan : Aamiin,  kemudian setiap akan sujud membaca : Allaahu akbar, ketika bangkit dari  duduk membaca : Allaahu akbar, dan ketika selesai salam beliau berkata :  “ Demi Dzat Yang jiwaku berada di TanganNya, sesungguhnya aku paling  menyerupai sholatnya dengan Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam  dibandingkan kalian “ (H.R AnNasaa’I dan Ibnu Khuzaimah)  
 Rincian Makna :
Ø بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
بِسْمِ اللهِ  =     Dengan Nama Allah
الرَّحْمنِ = Yang Maha Pengasih
الرَّحِيْمِ     =   Yang Maha Penyayang
Ø   الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ 
الْحَمْدُ = Segala pujian 
ِللهِ = untuk Allah
رَبِّ =Tuhan (Pencipta, Penguasa, Pengatur) 
اْلعَالَمِيْنَ =         seluruh alam semesta
Segala  pujian hanyalah milik Allah dan hanya pantas dikembalikan kepada Allah,  Pemilik segala Sifat kesempurnaan. Allah terpuji pada seluruh Sifat dan  seluruh perbuatanNya. IA dipuji dalam segenap keadaan.  Sebagaimana Rasululullah senantiasa memuji Allah baik dalam keadaan gembira atau susah. Disebutkan dalam hadits :
عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ اْلمُؤْمِنِيْنَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ  صَلَّى  اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَتَاهُ اْلأَمْرُ يَسُرُّهُ قَالَ  اْلحَمْدُ ِللهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتِ وَإِذَا  أَتَاهُ اْلأَمْرُ يَكْرَهُهُ قَالَ اْلحَمْدُ ِللهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ 
“  Dari ‘Aisyah Ummul Mu’minin – semoga Allah meridlai beliau – beliau  berkata : Adalah Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam jika ditimpa  keadaan yang menyenangkan, beliau berkata : اْلحَمْدُ ِللهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتِ (Segala  puji bagi Allah yang dengan kenikmatan (dari)Nya kebaikan-kebaikan  menjadi sempurna). Sedangkan jika beliau ditimpa sesuatu yang tidak  disenanginya, beliau mengucapkan : اْلحَمْدُ ِللهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ (Segala puji bagi Allah dalam segenap keadaan)”(H.R Al-Hakim dalam Al-Mustadraknya dan  Ibnu Majah dalam Sunannya).
          Allah dipuji dalam seluruh tahapan kehidupan, baik di dunia maupun di akhirat. Sebagaimana dalam FirmanNya : 
وَهُوَ اللهُ لاَ إِلهَ إِلاَّ هُوَ لَهُ اْلحَمْدُ فِي اْلأُوْلَى وَاْلآخِرَةِ وَلَهُ اْلحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ 
“ Dan Dialah Allah Yang tidak ada sesembahan yang haq kecuali Dia, bagiNya pujian di dunia dan di akhirat, dan hanya milikNyalah keputusan hukum, dan kepadaNya kalian semua akan dikembalikan “     (Q.S Al-Qoshos : 70)
          Allah adalah : رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ , yaitu  Pencipta, Penguasa, dan Pengatur bagi seluruh semesta alam, segala  sesuatu yang ada di bumi dan di langit serta di antara keduanya, di masa  dulu, saat ini, dan untuk keseluruhan waktu. Sebagaimana juga Allah berfirman dalam ayat yang lain ketika menceritakan percakapan antara Fir’aun dan Nabi Musa : 
قَالَ فِرْعَوْنُ وَمَا رَبُّ اْلعَالَمِيْنَ . قَالَ رَبُّ السَّموَاتِ وَاْلأَرْضِ وَ مَا بَيْنَهُمَا إِنْ كُنْتُمْ مُوْقِنِيْنَ 
“ Berkata Fir’aun : Apakah رَبُّ اْلعَالَمِيْنَ itu?  (Musa) berkata : Tuhan seluruh langit-langit dan bumi dan yang ada di  antara keduanya, jika kalian memang meyakininya “(Q.S Asy-Syu’araa : 23)
Ø   الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ    
          Kata الرَّحْمنِ dan الرَّحِيْمِ dalam  bahasa Indonesia sering diartikan : Yang Maha Pengasih lagi Maha  Penyayang. Terjemahan ini tidaklah salah, karena memang dalam bahasa  Arab keduanya memiliki makna : ذُوالرَّحْمَة  (Yang Memiliki Sifat ‘rahmat’). Sifat ‘rahmat’ tersebut bisa diartikan  kasih sayang sehingga penggunaan ‘Maha Pengasih’ sinonim dengan ‘Maha  Penyayang’. Namun, sebenarnya di dalam dua kata ini terkandung makna yang lebih khusus, mendalam, dan memiliki karakteristik masing-masing. 
           Dijelaskan oleh Syaikh Muhammad Ibn Sholih al-Utsaimin bahwa : الرَّحْمنِ artinya adalah  ‘Yang Memiliki rahmat yang luas’, sedangkan الرَّحِيْمِ adalah ‘Yang Mampu menjadikan rahmat / kasih sayangNya sampai/ menjangkau hambaNya’. Sebagian ulama’ menyatakan bahwa : الرَّحْمنِ artinya Allah memiliki rahmat yang berlaku umum untuk seluruh makhluk tanpa terkecuali, sedangkan الرَّحِيْم artinya Allah memiliki rahmat yang diberikan khusus bagi orang yang beriman saja. Namun, pendapat ini terbantahkan dengan surat AlHajj ayat 65 :
إِنَّ اللهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْم
“Sesungguhnya Allah terhadap manusia adalah sangat pengasih lagi penyayang “(Q.S AlHajj : 65)
           Dalam ayat ini Allah menyebutkan NamaNya dalam bentuk : رَحِيْم  untuk menyebutkan  kasih sayangNya pada seluruh manusia secara umum, bukan hanya orang  yang beriman saja. Sehingga penafsiran yang lebih tepat untuk dua Nama  Allah tersebut adalah seperti yang dijelaskan oleh Syaikh al-Utsaimin di  atas.
Allah memiliki sifat rahmat yang luas, yang meliputi segala sesuatu sebagaimana dalam firmanNya :
وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ 
“ Dan rahmatKu meliputi segala sesuatu” (Q.S Al-A’raaf : 156)
Allah  Subhaanahu WaTa’ala adalah Yang Paling bersifat rahmat/ kasih sayang di  antara segala sesuatu yang memiliki kasih sayang (rahmat). Jika  seluruh kasih sayang makhluk dikumpulkan, sedikitpun tidak bisa  mendekati besarnya kasih sayang (rahmat) Allah. Sebagaimana disebutkan  dalam firmanNya :
فَاللهُ خَيْرٌ حَافِظًا وَّهُوَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِيْنَ 
“ Maka Allah adalah sebaik-baik penjaga dan Dia adalah Yang paling Penyayang di antara seluruh penyayang “ (Q.S Yusuf :64)
Kasih  sayang Allah kepada hambaNya sangat besar dan melebihi kasih sayang  seorang ibu kepada anak yang sangat dicintainya. Sebagaimana disebutkan  dalam sebuah hadits Al-Bukhari-Muslim ketika datang salah seorang wanita  sedang mencari-cari anaknya di hadapan Rasul dan para Sahabatnya,  setelah  terus berupaya mencari akhirnya ia berhasil menemukan anaknya.  Didekapnya anak tersebut dengan begitu erat dan penuh kasih sayang  seakan-akan tidak akan dilepaskannya lagi selama-lamanya. Ketika menyaksikan hal itu Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
أَتَرَوْنَ هذِهِ طَارِحَةٌ وَلَدَهَا فِي النَّارِ قُلْنَا لاَ وَهِي تَقْدِرُ عَلَى أَنْ لاََ تَطْرَحَهُ فَقَالَ   َللهُ أَرْحَمُ بِعِبَادِهِ مِنْ هذِهِ بِوَلَدِهَا (رواه البخاري و مسلم )
“  Apakah kalian menyangka wanita itu (tega) melemparkan anaknya ke api ?  Para Sahabat menjawab : Tidak akan, jika dia memiliki kemampuan untuk  tidak melemparkannya. Rasul bersabda : “Sungguh-sungguh Allah jauh lebih  sayang kepada hamba-hambaNya dibandingkan kasih sayang wanita itu  kepada anaknya”(H.R Al-Bukhari-Muslim)
Dengan kasih sayangNya pula Allah mengampuni orang-orang berdosa yang mohon ampunanNya dengan sebenar-benarnya taubat. Sebagaimana disebutkan dalam ayatNya :
كَتَبَ  رَبُّكُمْ عَلَى نَفْسِهِ الرَّحْمَةَ أَنَّهُ مَنْ عَمِلَ مِنْكُمْ  سُوْءًا بِجَهَالَةٍ ثُمَّ تَابَ مِنْ بَعْدِهِ وَأَصْلَحَ فَأَنَّهُ  غَفُوْرٌ رَّحِيم
“  Dialah Allah Yang Mewajibkan bagi DiriNya Sendiri untuk bersikap  rahmat. Barangsiapa di antara kalian yang beramal keburukan dengan  kejahilan kemudian bertaubat setelahnya dan berbuat baik, maka  sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang “(Q.S Al-An’aam :  54)
           AsySyaikh Muhammad Ibn Sholih al-Utsaimin menjelaskan makna ayat ini : “Tidaklah  Allah menutup ayat dengan kalimat ini kecuali orang-orang yang  bertaubat akan mendapatkan ampunan dan rahmat. Ini adalah termasuk  rahmatNya yang Ia wajibkan untuk DiriNya sendiri. Padahal sebenarnya  sudah merupakan keadilan kalau seseorang berdosa diadzab sesuai dengan  dosanya, dan dibalas sesuai dengan perbuatan baiknya. (Misalkan), kalau  seandainya seseorang melakukan perbuatan dosa selama 50  hari,  kemudian bertaubat dan berbuat baik 50 hari, sudah termasuk adil kalau  seandainya Allah mengadzabnya untuk yang 50 hari dan memberinya pahala  untuk yang 50 hari. Tetapi Allah Azza Wa Jalla mewajibkan DiriNya  sendiri untuk bersikap rahmat. (Maka dengan itu)  seluruh dosa yang dilakukan selama 50 hari bisa dihilangkan hanya sesaat  (dengan taubat). Kemudian Allah tambah :
فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ (الفرقان :70)
“ Maka mereka itu adalah orang-orang yang Allah ganti keburukan-keburukannya dengan kebaikan – kebaikan “(Q.S AlFurqon : 70) 
Seluruh  keburukan-keburukan sebelumnya menjadi kebaikan-kebaikan, karena setiap  kebaikan tersebut adalah taubat dan setiap taubat akan mendapatkan  pahala 27
          Sungguh  kita sangat mengharapkan rahmat Allah. Kita sangat butuh pada rahmatNya  melampaui segala sesuatu. Kita tidak bisa mengandalkan amalan-amalan  kita semata tanpa rahmat Allah untuk mencapai kenikmatan hakiki yang  Allah sediakan bagi hamba-hambaNya yang beriman. Sebagaimana Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
فَإِنَّهُ  لَنْ يُدْخِلَ اْلجَنَّةَ أَحَدًا عَمَلُهُ قَالُوا وَلاَ أَنْتَ يَا  رَسُوْلَ اللهِ قَالَ وَلاَ أَنَا إِلاَّ أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللهُ  مِنْْهُ بِرَحْمَةٍ وَاعْلَمُوْا أَنَّ أَحَبَّ اْلعَمَلِ إِلَى اللهِ  أَدْوَمُهُ وَإِنْ قَلَّ
“  Sesungguhnya tidak ada amalan seseorangpun yang bisa memasukkan  seseorang ke dalam surga. Para Sahabat bertanya : ‘Apakah termasuk anda  juga wahai Rasulullah?’ Rasul menjawab: Tidak juga saya, kecuali Allah telah melimpahkan rahmatNya padaku.  Ketahuilah bahwasanya amalan yang paling dicintai Allah adalah yang  paling istiqomah walaupun sedikit “(H.R AlBukhari-Muslim, lafadz hadits  Muslim)
          Benar, kita tidak bisa mengandalkan amalan kita semata untuk masuk surga. Kita membutuhkan rahmat Allah. 
          Jika  ada pertanyaan, bagaimana dengan ayat-ayat dalam AlQuran yang  menjelaskan bahwa seorang masuk surga disebabkan oleh amalannya. Seperti dalam firman Allah :
وَتِلْكَ اْلجَنَّةُ الَّتِي أُوْرِثْتُمُوْهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ 
“ Dan itu adalah surga yang diwariskan kepada kalian disebabkan apa yang kalian amalkan “(Q.S AzZukhruf : 72) dan firman Allah :
 سَلاَمٌ عَلَيْكُمُ ادْخُلُوا اْلجَنَّةَ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ 
“ Keselamatan atas kalian, masuklah ke dalam surga disebabkan apa – apa yang kalian amalkan “(AnNahl :32)
AlHafidz Ibnu Hajar menukil perkataan Ibnul Jauzi 28: “ ada 4 jawaban tentang masalah ini :
1.     Taufiq  (petunjuk) dari Allah supaya seseorang mengamalkan sesuatu adalah  merupakan rahmat Allah. Kalau tidak karena rahmat Allah terdahulu, maka  tidaklah akan tercapai iman dan ketaatan yang dengan itu bisa dicapai  keselamatan.
2.     Bahwasanya  seorang hamba (budak) yang beramal untuk Tuannya adalah merupakan hak  dari Tuannya. Kalau seandainya Tuan tersebut memberikan  ganjaran/balasan, maka itu adalah fadhilah (kelebihan) yang  diberikannya.
3.     Terdapat  dalam beberapa hadits bahwa masuknya seseorang ke dalam surga adalah  karena rahmat Allah, sedangkan perbedaan-perbedaan derajat dalam surga  dicapai sesuai  kadar amalan.
4.     Amalan-amalan  ketaatan yang dilakukan seorang hamba terjadi pada masa yang singkat  (di dunia) sedangkan balasan dengan surga,pen.) adalah kekal. Maka  balasan yang kekal untuk sesuatu yang fana (tidak kekal) adalah  merupakan suatu fadhilah (kelebihan) bukanlah suatu balasan yang  sebanding.
 Demikian  besarnya rahmat Allah sehingga kita tidak boleh putus asa dari  rahmatNya. Allah adalah Yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih kepada  hambaNya. Namun, jangan sampai kemudian kita terjerumus kepada sikap  yang lain ketika memahami hal ini. Jangan sampai kemudian kita  menggampangkan untuk berbuat dosa dengan anggapan nanti kita bisa  bertaubat dan diampuniNya. Sikap semacam adalah merasa aman dari Makar (adzab)  Allah, dan termasuk dosa besar. Sebagaimana putus asa dari rahmat Allah  adalah dosa besar, demikian pula merasa aman dari adzab Allah adalah  juga dosa besar. Hal ini sesuai dengan hadits:
عَنِ  بْنِ مَسْعُوْدٍ أَكْبَرُ اْلكَبَائِرِ اْلإِشْرَاكُ بِاللهِ وَاْلأَمْنُ  مِنْ مَكْرِ اللهِ وَاْلقُنُوْطُ مِنْ رَحْمَةِ اللهِ وَاْليَأْسُ مِنْ  رَوْحِ اللهِ (رواه الطبرني و عبد الرزاق )
“Dari  Ibnu Mas’ud : (termasuk) dosa yang paling besar adalah Syirik  (mensekutukan) Allah, merasa aman dari makar (adzab) Allah, dan putus  asa dari rahmat Allah “(H.R AtThobrony dan Abdurrozzaq dan sanad hadits  ini shohih sebagaimana dijelaskan oleh AlHaitsaimi dalam Majma’uz  Zawaaid)
          Betapa  indahnya susunan kalimat-kalimat dalam AlQuran yang Allah susun supaya  manusia tidak putus asa dari rahmat Allah sekaligus tidak merasa aman  dari adzab Allah. Banyak susunan dalam AlQuran yang jika Allah  menyebutkan bahwa Ia adalah Maha Pengampun lagi Maha Pengasih,  selanjutnya Ia berikan ancaman bahwa adzabNya sangat pedih. Demikian  pula sebaliknya. Sebagaimana disebutkan dalam AlQuran:
نَبِّئْ عِبَادِيْ أَنِّي أَنَا اْلغَفُوْرُ الرَّحِيْم ( 49) وَأَنَّ عَذَابِي هُوَ اْلعَذَابُ اْلأَلِيْم (50) 
“  Khabarkan kepada hamba-hambaKu bahwa Aku adalah Yang Maha Pengampun  lagi Maha Penyayang. Dan bahwasanya adzabKu sangat pedih “ (Q.S Al-Hijr)
إِنَّ رَبَّكَ سَرِيْعُ اْلعِقَابِ وَإِنَّهُ لَغَفُوْرٌ رَّحِيْم 
“  Sesungguhnya Tuhanmu sangat cepat adzabNya, dan sesungguhnya Ia adalah  Maha Pengampun lagi Maha Penyayang “(Q.S AlAn’aam : 165)
          Demikian  pula Allah memuji orang-orang yang menyembah dengan memadukan perasaan  takut dari adzabNya dan berharap mendapatkan rahmat, pahala, ampunanNya :
إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُوْنَ فِي اْلخَيْرَاتِ وَيَدْعُوْنَنَا رَغَبًا وَّرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِيْنَ
“Sesungguhnya mereka dulunya senantiasa bersegera dalam kebaikan dan menyembah Kami dengan perasaan berharap dan takut dan mereka merasa tunduk (takut) kepada Kami”(Q.S Al-Anbiyaa’:21)
Ø   مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ
مَالِكِ =  Yang Memiliki 
يَوْمِ الدِّيْنِ = Hari Pembalasan
          Dalam ayat ini ada dua bacaan yang diperbolehkan karena sama-sama berasal dari riwayat yang shohih, yaitu boleh dibaca : مَالِكِ , boleh juga dibaca : مَلِِك  , sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Imam Ibnu Katsir dalam tafsir beliau. Jika dibaca : مَلِِك artinya adalah Yang Menguasai/ Merajai. Sedangkan kata : الدِّيْنِ artinya adalah ‘pembalasan’ atau ‘penghitungan/ hisab ’. Sebagaimana makna semacam ini terdapat dalam ayat yang lain :
يَوْمَئِذٍ يُّوَفِّيْهِمُ اللهُ دِيْنَهُمُ الْحَقَّ 
“Pada hari itu Allah sempurnakan perhitungan/pembalasan bagi mereka secara haq”(Q.S AnNuur : 25)
          Sehingga  arti dari ayat ini adalah : Allahlah Yang Memiliki dan Menguasai secara  mutlak hari pembalasan (yaumul qiyaamah). Pada hari itu tidak ada lagi  yang memiliki kekuasaan kecuali Allah. Sebagaimana dalam hadits  disebutkan :
 يَقْبِضُ اللهُ  اْلأَرْضَ  وَيَطْوِي السَّمَاءَ بِيَمِيْنِهِ ثُمَّ يَقُوْلُ أَنَا اْلمَلِك أَيْنَ  مُلُوْكُ اْلأَرْضِ أَيْنَ اْلجَبَّارُوْنَ أَيْنَ اْلمُتَكَبِّرُوْنَ 
“  (Pada hari kiamat) Allah menggenggam bumi dan melipat langit dengan  Tangan KananNya, kemudian berseru : “Akulah Raja. Mana raja-raja di  bumi? Mana orang-orang yang sombong? Mana orang-orang yang takabbur?  “(H.R AlBukhari-Muslim)
Dalam ayat yang lain Allah berfirman :
اْلمُلْكُ يَوْمَئِذٍ  اْلحَقُّ لِلرَّحْمنِ وَكَانَ يَوْمًا عَلَى اْلكَافِرِيْنَ عَسِيْرًا 
“  Kekuasaan pada hari itu hanyalah milik ArRahmaan dan itu adalah hari  dimana bagi orang-orang kafir terasa sulit”(Q.S AlFurqoon: 26)
          Pada hari itu tidak ada yang berani berbicara kecuali yang diijinkan Allah, sebagaimana dalam FirmanNya : 
يَوْمَ يَقُوْمُ الرُّوْحُ  وَاْلمَلاَئِكَةُ صَفًّا لاَ يَتَكَلَّمُوْنَ إِلاَّ مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمنُ وَقَالَ صَوَابًا
“  Pada hari di mana berdiri manusia dan para Malaikat bershaf-shaf tidak  ada yang berbicara kecuali yang diijinkan ArRahmaan, dan tidaklah  berbicara kecuali ucapan yang benar” (Q.S AnNabaa’ : 38)
...وَخَشَعَتِ اْلأَصْوَاتُ لِلرَّحْمنِ فَلاَ تَسْمَعُ إِلاَّ هَمْسًا
“  Dan suara-suara (pada hari itu) tunduk (hening) di hadapan ArRahmaan,  tidak ada yang terdengar kecuali suara kaki diletakkan “(Q.S Thoha :108)
Ø      إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ 
إِيَّاكَ نَعْبُدُ = hanya kepadaMu kami menyembah 
وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ = dan hanya kepadaMu kami meminta pertolongan
         Bacaan : إِيَّاكَ harus dibaca dengan tasydid pada huruf : ي  (ya’)  yang artinya : ‘hanya kepadaMu’, jika tidak ada tasydid pada huruf ya’  maka akibatnya akan fatal karena artinya sangat berbeda. Kalau kita  membaca tanpa tasydid artinya adalah : ‘kepada matahariMu’, sehingga kalau kita membaca : 
إِيَاكَ نَعْبُدُ 
Artinya adalah ‘kepada matahariMu kami menyembah’.
Ini  adalah ucapan kesyirikan, karena kita menyatakan menyembah matahari.  Sehingga harus diperhatikan benar, bacaan pada ayat ini pada huruf ya’  harus ditasydid.
 Dalam  ayat ini terkandung pernyataan dari kita bahwa hanya kepada Allahlah  kita menyembah, sehingga hanya kepadaNya seluruh peribadatan kita  persembahkan. Hal ini sesuai dengan perintah Allah dalam ayat yang lain :
قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي ِللهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ (163) لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَبِذ`لِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ اْلمُسْلِمِيْنَ(الأنعام : 123-124) 
“  Katakanlah (Muhammad): sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan  matiku untuk Allah Tuhan semesta alam. Tidak ada sekutu bagiNya, karena  itulah aku diperintahkan dan aku adalah muslim yang paling awal “(Q.S  AlAn’aam : 123-124)
         Seorang muslim hanyalah menyerahkan ibadahnya kepada Allah semata, tidak dibagi dengan yang selainNya. Berbeda  dengan orang-orang musyrikin yang selain mereka menyembah Allah, mereka  juga menyembah berhala-berhala. Mereka berdoa kepada Allah, namun  menjadikan berhala-berhala tersebut sebagai perantara (wasilah) supaya bisa mendekatkan diri mereka kepada Allah dan supaya berhala-berhala tersebut bisa memberikan syafaat di sisi Allah. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran :
وَالَّذِيْنَ اتَّخَذُوا مِنْ دُوْنِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلاَّ لِيُقَرِّبُوْنَا إِلَى اللهِ زُلْفَى(الزمر :3)
“  Dan orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai wali-wali  (penolong), (mereka mengatakan) : ‘kami tidaklah menyembah mereka  kecuali supaya mendekatkan diri kami kepada Allah’ (Q.S AzZumar : 3)  
 وَيَعْبُدُوْنَ  مِنْ دُوْنِ اللهِ مَا لاَ يَضُرُّهُمْ وَلاَ يَنْفَعُهُمْ وَيَقُوْلُوْنَ  هَؤُلاَءِ شُفَعَاؤُنَاعِنْدَ اللهِ (يونس : 18)
“ Dan mereka menyembah selain Allah apa-apa yang tidak mampu  memudharatkan  ataupun memberi manfaat, dan mereka berkata : ‘ Ini adalah  pemberi-pemberi syafaat kami di sisi Allah’ “ (Q.S Yunus : 18)
Sahabat Nabi yang mulya, Abdullah Ibnu Abbas ketika menjelaskan firman Allah :
وَقَالُوا لاَ تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلاَ تَذَرُنَّ وَدًّا وَّلاَ سُوَاعًا وَّلاَ يَغُوْثَ وَيَعُوْقَ وَنَسْرًا ( نوح :23)
” (Kaum Nuh yang kafir) berkata : ‘Janganlah kalian tinggalkan sesembahan-sesembahan kalian, dan janganlah kalian tinggalkan Wadd, Suwaa’, Yaghuts, dan Nasr “(Q.S Nuh : 23)
berkata (Ibnu Abbas) : “ Ini (Wadd, Suwaa’, Yaghuts, dan Nasr) adalah  nama-nama orang-orang sholih dari kaum Nuh yang ketika mereka  meninggal, syaitan membisikkan kepada mereka : ‘hendaknya kalian membuat  patung di tempat dulu mereka bermajelis dan berilah nama sesuai dengan  nama-nama mereka’, kemudian kaum tersebut mengerjakan bisikan syaitan  itu. Pada awalnya patung-patung itu tidak disembah, namun lama-kelamaan  ketika kaum pembuat patung tadi meninggal dan ilmu (syariat) dilupakan,  patung-patung itu disembah “( Diriwayatkan oleh Imam alBukhari dalam Shahihnya dalam Kitab atTafsir bab surat Nuh)
         Allah Subhaanahu Wa Ta’ala memerintahkan hambaNya untuk memohon dan berdoa secara langsung padaNya tanpa perantara 29. Sebagaimana firmanNya :
وَأَنَّ اْلمَسَاجِدَ ِللهِ فَلاَ تَدْعُوا مَعَ اللهِ أَحَدًا 
“Dan  sesungguhnya masjid-masjid itu adalah (hanya) milik Allah, maka  janganlah kalian berdoa kepada Allah (dengan menyertakan) suatu apapun  bersamaNya “)Q.S AlJin : 18)
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيْبٌ أُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِي إِذَا دَعَانِ
“  Dan jika hamba-hambaKu bertanya tentang Aku, maka katakanlah bahwa  sesungguhnya Aku dekat. Aku akan kabulkan doa orang yang berdoa “ (Q.S  AlBaqoroh : 186)
         Dalam ayat ini kita juga menyatakan bahwa hanya kepada Allah kita meminta pertolongan, dalam ucapan : وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ. Meminta  tolong hanya kepada Allah juga sesuai dengan Hadits Nabi ketika beliau  memberi nasehat kepada Sahabat Ibnu Abbas yang masih kecil, dalam sabda  beliau :
إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَِل اللهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ 
“  … Jika engkau meminta maka mintalah kepada Allah, dan jika engkau minta  tolong, minta tolonglah hanya kepada Allah “(H.R Ahmad, AlHakim, Ibnu  Hibban, atTirmidzi, dan beliau menyatakan bahwa hadits tersebut hasan shoih)
Dijelaskan  oleh para Ulama’ bahwa hanya kepada Allahlah kita minta tolong untuk  hal-hal yang memang hanya Allah yang bisa melakukannya seperti : rizqi,  kesembuhan, jodoh, keselamatan, dan yang semisalnya. Meminta kepada  selain Allah hal-hal yang hanya Allah saja yang mampu melakukannya  adalah termasuk kesyirikan. 
Adapun meminta tolong kepada seseorang yang mampu untuk melakukannya sebagai bentuk taawun (tolong menolong) adalah termasuk hal yang diperbolehkan, karena Allah memerintahkan :
...وَتَعَاوَنُوا عَلَى اْلبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ وَاْلعُدْوَانِ... (المائدة : 2)
“  Dan tolong menolonglah kalian dalam kebajikan dan ketaqwaan, janganlah  kalian tolong menolong dalam dosa dan permusuhan “ (Q.S AlMaidah : 2)
Dalam hadits juga disebutkan :
وَأَنْ تُعِيْنَ الرَّجُلَ عَلَى دَابَّتِهِ وَتَحْمِلهُ عَلَيْهَا صَدَقَةٌ        
“  Dan engkau membantu seseorang untuk naik ke atas kendaraannya dan  membawakan barang baginya adalah termasuk shodaqoh “ (H.R Ibnu Khuzaimah  dalam Shohihnya)
Namun,  meskipun kita meminta tolong kepada manusia untuk memenuhi sebagian  kebutuhan kita, yang harus kita tanamkan dalam hati kita tetaplah  keyakinan yang kuat bahwa pada hakikatnya Allahlah yang menolong kita  dan menjadikan kita mendapatkan manfaat, sedangkan manusia tersebut  hanyalah sebagai sebab (yang diijinkan) saja. Kita sandarkan hati  kita sepenuhnya kepada Allah, dan kita bertawakkal semata kepada Allah.  Tawakkal adalah ibadah hati dan merupakan syarat keimanan. Allah  Subhaanahu wa Ta’ala berfirman :
 وَعَلَى اللهِ فَتَوَكَّلُوْا إِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ (المائدة : 23)
“ Dan hendaknya hanya kepada Allah sajalah kalian bertawakkal jika kalian benar-benar beriman “(AlMaaidah : 23)
AsySyaikh Abdurrahman bin Nashir AsSa’di menjelaskan dalam tafsirnya : “(ayat ini) menunjukkan wajibnya tawakkal, dan kadar tawakkal tersebut tergantung kadar keimanan seorang hamba “
          AsySyaikh al-Utsaimin menjelaskan dalam kitab Al-Qoulul  Mufiid : “ ayat ini menunjukkan bahwa hilangnya kesempurnaan iman  adalah dengan hilangnya tawakkal kepada Allah, bahkan jika penyandaran  diri sepenuhnya (secara mutlak) kepada selain Allah bisa tergolong  syirik akbar yang menghilangkan keimanan secara keseluruhan”  
Beliau menjelaskan definisi tawakkal:  “Tawakkal adalah bersandar kepada Allah Subhaanahu waTa’ala dalam upaya  mencapai sesuatu yang diinginkan dan mencegah dari sesuatu yang tidak  disenangi (ditakuti), diikuti perasaan percaya (yakin) secara penuh  (kepada Allah) dengan mengerjakan sebab-sebab yang diijinkan”
Mengerjakan  sebab-sebab yang diijinkan untuk mencapai suatu tujuan adalah merupakan  tuntunan Rasulullah. Tidaklah dikatakan bertawakkal seseorang yang  menyandarkan diri sepenuhnya kepada Allah untuk mencapai sesuatu namun  dia tidak melakukan sebab-sebab yang diijinkan. Rasulullah senantiasa  membawa bekal ketika bepergian, dan disebutkan dalam hadits yang  diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah bahwa beliau ketika keluar  untuk perang Uhud menggunakan 2 baju besi. Ketika beliau pergi  berhijrah, beliau mengupah seseorang sebagai penunjuk jalan, sebagaimana  yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam AlBukhari  dalam shahihnya. Semua beliau lakukan dengan melakukan sebab-sebab yang  diijinkan oleh Allah, dengan menyandarkan sepenuhnya keberhasilan itu  pada Allah.
Allah dengan HikmahNya telah  menjadikan segala sesuatu terjadi dengan sebab-sebab. Sebab-sebab yang  bisa menghantarkan pada sesuatu dan diijinkan oleh Allah terkelompokkan  menjadi 2 hal, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama’ :
1. Penyebab secara qodari.
          Penyebab  yang diketahui secara ilmiah dengan percobaan-percobaan yang valid  sebelumnya bahwa hal itu memang bisa menjadi penyebab terjadinya  sesuatu. Contoh : obat-obatan medis secara kimiawi dengan dosis tertentu  dan aturan penggunaan tertentu bisa menjadi sebab kesembuhan pada  penyakit-penyakit tertentu, demikian juga kacamata minus bagi penderita  rabun jauh, dan sebab-sebab yang lain. Secara sederhana, makan bisa  menyebabkan kenyang, tidur bisa menghilangkan kantuk, dan semisalnya.
2. Penyebab secara syar’i.
          Penyebab  yang dalam aturan syariat (AlQuran dan AlHadits yang shohih) memang  bisa menjadikan tercapainya sesuatu. Misalkan, membaca AlFatihah bisa  menjadi sebab tercapainya kesembuhan bagi penderita sakit, karena memang  disebutkan demikian keutamaannya dalam hadits yang shohih. Demikian  juga dengan meminum air zam-zam, madu, habbatus saudaa’ (jinten hitam), dan semisalnya.
          Para Ulama’ menjelaskan bahwa menjadikan sesuatu sebagai sebab, padahal Allah tidak menjadikan hal itu sebagai sebab, baik syar’i ataupun qodarii, maka  dia telah menjadikan sesuatu itu sebagai sekutu bagi Allah (berbuat  syirik). Sebagaimana orang-orang musyrikin yang telah menjadikan  berhala-berhala yang mereka sembah sebagai sebab/perantara untuk  mendekatkan diri mereka pada Allah, padahal Allah tidak menjadikan  sesuatu makhlukpun sebagai sebab syar’i ataupun sebab qodarii untuk  dijadikan perantara tercapainya doa/ ibadah hambaNya. Firman Allah  tentang hal itu dalam surat AzZumar ayat 3 telah disebutkan dalam  penjelasan terdahulu.
          Demikian  juga seseorang yang memakai jimat untuk tujuan keselamatan, kemudahan  rezeki, kesembuhan, dan sebagainya biasanya mereka beralasan bahwa  mereka tetap berkeyakinan bahwa Allahlah saja yang menentukan  tercapainya tujuan itu semua, mereka hanya meyakini bahwa jimat dan yang  semisalnya hanyalah sebagai sebab saja. Sehingga mereka beranggapan  bahwa mereka tidak berbuat syirik. Padahal sesungguhnya keyakinan bahwa  jimat tersebut adalah sebagai sebab, padahal Allah tidak menjadikan itu  sebagai sebab syar’i maupun qodarii adalah termasuk perbuatan syirik, bahkan secara tegas Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
 مَنْ تَعَلَّقَ تَمِيْمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ (رواه أحمد و صححه الألباني )
“ Barangsiapa yang menggantungkan tamiimah, maka dia telah berbuat syirik “ (H.R Ahmad dan dishahihkan oleh Syaikh AlAlbani dalam Shahiihul Jaami’)
          Makna tamiimah dijelaskan  oleh para Ulama’ di antaranya Abut Thoyyib dalam kitab Aunul Ma’bud :  sesuatu yang digantungkan pada anak kecil dengan tujuan untuk  menghindari penyakit akibat ‘ain (akibat pandangan mata hasad,pen.)
          Dalam hadits yang lain disebutkan :
عَنْ عَبْدِ اللهِ ابْنِ عُكَيْم مَرْفُوْعًا : مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُ كِلَ إِلَيْهِ 
“  Dari Abdillah bin ‘Ukaim secara marfu’ (dari Rasulullah) : ‘Barangsiapa  yang menggantungkan sesuatu (jimat dan semisalnya), maka akan  diserahkan kepada sesuatu itu ‘ (H.R Ahmad dan AtTirmidzi dihasankan  oleh Syaikh al-Albaany)
Dijelaskan oleh para Ulama’, makna : ‘akan diserahkan kepada sesuatu itu ‘ artinya Allah tidak menolongnya dan membiarkannya.
Ø    اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيِْم 
اِهْدِنَا = tunjukilah kami
الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيِْم = jalan yang lurus
         Dalam ayat ini kita memohon hidayah (petunjuk) kepada Allah. Dijelaskan oleh para Ulama’ bahwa hidayah terbagi menjadi dua  :
a.    Hidayah yang berarti penjelasan / keterangan.
Pemberian  hidayah (petunjuk) ini bisa dilakukan oleh manusia siapa saja, terlebih  Rasululullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam yang disebut oleh Allah :
وَإِنَّكَ لَتَهْدِيْ إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ (الشورى :52)
“ Dan sesungguhnya engkau (wahai Muhammad) adalah benar-benar pemberi petunjuk menuju jalan yang lurus “(Q.S AsySyuura :52).
Syaikh Abdurrahman bin Nashir AsSa’di menjelaskan : “engkau  menjelaskan kepada manusia, menerangi jalan tersebut, menganjurkan  manusia untuk mengikuti jalan itu, mencegah dari jalan selainnya, dan  memberikan peringatan bagi manusia (untuk menghindari jalan selainnya)”.
b.   Hidayah yang berarti taufiq.
Hanya Allah saja yang mampu memberikan hidayah semacam ini pada hamba-hamba yang dikehendakiNya. Allahlah  yang menggerakkan hati seorang hamba sehingga dia menerima kebenaran.  Tidak ada seorangpun yang mampu memberikan hidayah semacam ini kepada  orang lain, bahkan termasuk Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam tidak mampu memberikan hidayah taufiq kepada paman beliau, Abu Thalib agar mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallaah  sebelum ajal menjemputnya. Ketika paman beliau tersebut meninggal dalam  keadaan kafir, Rasulullah sedih sehingga kemudian Allah turunkan ayat :
إِنَّكَ لاَ تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللهَ يَهْدِي مَنْ يَّشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِاْلمُهْتَدِيْنَ (القصص : 56)
“Sesungguhnya  engkau tidak bisa memberi hidayah kepada orang yang engkau cintai  (sekalipun) akan tetapi Allahlah yang memberi hidayah kepada orang-orang  yang dikehendakinya. Dan Dia lebih tahu siapakah (yang berhak)  mendapatkan petunjuk” (Q.S AlQoshos : 52)
Maka  dalam doa yang terkandung pada ayat ini kita mengharapkan dua macam  petunjuk itu dari Allah. Kita mengharapkan agar Ia memberikan penjelasan  kepada kita bagaimanakah dan ke arah manakah jalan  yang  lurus tersebut dengan dianugerahkannya ilmu syariat AlQuran dan Sunnah  dengan pemahaman para Sahabat Nabi. Selain itu yang lebih penting lagi  kita memohon kepada Allah taufiq  agar kita bisa mengamalkan ilmu yang telah kita miliki itu untuk berjalan di atas jalan yang lurus tersebut. 
Dalam sebuah hadits disebutkan :
عَنْ  عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ خَطَّ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ  عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا خَطًّا ثُمَّ قَالَ هَذَا سَبِيْلُ اللهِ ثُمَّ  خَطَّ خُطُوْطًاعَنْ يَمِيْنِهِ وَخُطُوْطًا عَنْ يَسَارِهِ ثُمَّ قَالَ  هَذِهِ سُبُلٌ عَلَى كُلِّ سَبِيٍْل مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُو إِلَيْهَا  ثُمَّ قَرَأَ هَذِهِ اْلآيَةَ : وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيْمًا  فَاتَّبِعُوْهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ  سَبِيْلِهِ (الأنعام:153) 
“ Dari  Sahabat Abdullah bin Mas’ud : Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam  pernah menggambar garis untuk kami pada suatu hari kemudian berkata :  ‘Ini adalah jalan Allah’. Kemudian beliau membuat garis-garis di sebelah  kanan dan sebelah kiri garis tadi kemudian bersabda :’ Ini adalah  jalan-jalan, yang pada setiap jalan tersebut ada syaitan yang menyeru/  mengajak kepada jalan itu, kemudian beliau membaca ayat :
 وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهِ (الأنعام:153)
“ Dan  ini sesungguhnya adalah jalanKu yang lurus maka ikutilah ia, janganlah  mengikuti jalan-jalan(yang lain), karena kalian akan berpecah belah dari  jalanNya “ (Q.S AlAn’aam : 153)(H.R AtTirmidzi, Ibnu Majah, AlHakim,  Ibnu Hibban,AtTirmidzi, dan beliau mengatakan bahwa hadits ini shohih)
Ø    صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِم
صِرَاطَ الَّذِيْنَ = (yaitu) jalannya orang-orang yang  
أَنْعَمْتَ عَلَيْهِم = Engkau beri nikmat kepada mereka  
        Dalam bacaan ini kita memohon ditunjukkan ke jalan orang-orang yang Allah beri nikmat. Siapakah orang-orang yang Allah beri nikmat tersebut ? Imam AlQurthuby menjelaskan bahwa jumhur mufassirin berpendapat bahwa ayat ini ditafsirkan dengan ayat yang lain :
وَمَنْ  يُّطِعِ اللهَ وَالرَّسُوْلَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِيْنَ أَنْعَمَ اللهُ  عَلَيْهِمْ مِّنَ النَّبِيِّيْنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ  وَالصَّالِحِيْنَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيْقًا (النساء :69)
“  Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul, maka mereka ini akan  (dikumpulkan) bersama orang-orang yang Allah beri nikmat dari kalangan  para Nabi, AsShiddiiqiin, Asysyuhada’, dan Asshoolihiin. Mereka ini  adalah sebaik-baiknya teman kembali “ (Q.S AnNisaa’:69)
Sehingga, orang-orang yang Allah beri nikmat yang kita  seharusnya menginginkan mengikuti jalan mereka adalah :
1.   Para Nabi, yang Allah mulyakan mereka dengan wahyu. 
2.   Para Shiddiiqiin (orang-orang yang jujur dan membenarkan risalah Nabi).
Imam AsSuyuuthi menjelaskan bahwa yang dimaksud AsShiddiiqiin adalah para Sahabat Nabi yang mereka menunjukkan ketinggian sifat shidq (kejujuran) dan tashdiiq (membenarkan ajaran Nabi berdasarkan wahyu dari Allah). Penjelasan ini terdapat dalam tafsir Jalalain.  Mereka jujur dalam keimanan, tidaklah lisan dan amalan mereka  menyelisihi apa yang ada dalam hati, tidak sama dengan keadaan  orang-orang munafiq. Mereka  terdepan dalam membenarkan  khabar dari Rasulullah Shollallaahu ‘alahi wasallam. Mereka adalah murid  langsung Rasul yang senantiasa dalam bimbingan beliau. Jika mereka  menghadapi suatu permasalahan dalam Dien, mereka bertanya pada Rasul,  dan Rasul senantiasa membimbing mereka, meluruskan aqidah, amalan,  ataupun ucapan yang salah.  Merekalah yang Allah pilih  untuk mendampingi RasulNya, membela dan berjuang bersama beliau. Para  Sahabat Nabi dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka , adalah  orang-orang yang ridla kepada Allah, dan Allahpun ridla kepada mereka  sebagaimana dalam firmanNya :
وَالسَّابِقُوْنَ  اْلأَوَّلُوْنَ مِنَ اْلمُهَاجِرِيْنَ وَاْلأَنْصَارِ وَالَّذِيْنَ  اتَّبَعُوْهُمْ بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِيْ تَحْتَهَااْلأَنْهَارُ خَالِدِيْنَ فِيْهَا أَبَدًا ذلِكَ اْلفَوْزُ اْلعَظِيْم (التوبة : 100)
“  Dan orang-orang yang terdahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshor, dan  orang – orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridla kepada  mereka dan merekapun ridla kepada Allah.Dan Allah sediakan bagi mereka  surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai –sungai, mereka kekal di  dalamnya. Yang demikian itu adalah keberuntungan yang besar “ (Q.S AtTaubah : 100)
Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
لاَ  تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْا أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ  ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيْفَهُ (رواه البخاري و  مسلم )
“  Janganlah kalian mencela Sahabatku, kalau seandainya salah seorang dari  kalian berinfaq sebesar bukit Uhud emas tidak akan bisa menyamai  (pahala) satu mud ( 2 genggam tangan) infaq mereka, (bahkan) tidak pula  setengahnya “(H.R AlBukhari-Muslim)
Di antara para Sahabat Nabi tersebut banyak yang mengikuti peristiwa Bai’atur Ridlwaan, padahal Allah telah menyatakan keridlaanNya atas orang-orang yang mengikuti Baiat tersebut. Allah berfirman :
لَقَدْ رَضِيَ اللهُ عَنِ اْلمُؤْمِنِيْنَ إِذْ يُبَايِعُوْنَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ ...(الفتح : 18)
“ Sungguh Allah telah ridla kepada kaum mukmin yang membaiat engkau di bawah sebuah pohon “(Q.S AlFath : 18)
Dalam sebuah riwayat dari Sahabat Jabir yang disebutkan dalam Shahihain (Shohih AlBukhari dan Muslim) bahwa jumlah Sahabat yang berbaiat pada waktu itu adalah 1500-an orang. 
Para  Sahabat Nabi banyak pula yang mengikuti perang Badr, jumlahnya sekitar  300-an orang. Orang-orang yang mengikuti perang Badr ini mendapatkan  keutamaan diampuni dosa-dosanya oleh Allah. Dalam sebuah hadits  disebutkan   bahwa Rasulullah bersabda kepada Umar bin Khottob :
وَمَا  يُدْرِيْكَ لَعَلَّ الله أَنْ يَكُوْنَ قَدْ يَتَحَقَّق عَلَى أَهْلِ  بَدْرٍ فَقَالَ اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ  (رواه البخاري و مسلم)
“  Tidakkah engkau tahu bahwa Allah telah menegaskan pada Ahlu Badr (kaum  mukminin yang ikut perang Badr) dan berfirman : “ Berbuatlah sekehendak  kalian karena sungguh kalian telah diampuni “ (H.R AlBukhari-Muslim)
Perintah  mengikuti jalan yang dilalui Rasul dan para Sahabatnya sebagai  satu-satunya jalan keselamatan dalam Dien dipertegas dengan hadits :
إِنَّ  بَنِي إِسْرَائِيْلَ افْتَرَقُوْا عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً  وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً كُلُّهَا فِي  النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً فَقِيْلَ لَهُ مَا اْلوَاحِدَة قَالَ  مَا أَنَا عَلَيْهِ اْليَوْمَ وَأَصْحَابِي 
“  Sesungguhnya Bani Israil terpecah menjadi 71 golongan dan akan terpecah  umatku menjadi 73 golongan seluruhnya di neraka kecuali satu. Ketika  ditanyakan : Siapakah satu golongan yang selamat itu ?Rasulullah  Shollallaahu ‘alahi wasallam bersabda : (golongan yang berjalan di atas  jalan) aku dan para Sahabatku saat ini (H.R AtTirmidzi dan AlHakim, Imam  AlLaalikaai menyatakan bahwa hadits ini tsabit (bisa  digunakan sebagai hujjah), Imam AlMubarakfury menyatakan bahwa  AtTirmidzi menghasankannya karena memiliki beberapa penguat) 
Dalam hadits yang lain disebutkan :
خَيْرُالنَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ (رواه البخاري و مسلم)
“Sebaik-baik  manusia adalah pada masa kurunku (generasiku), kemudian yang  setelahnya, kemudian yang setelahnya “(H.R AlBukhari-Muslim)
Imam AlMubarakfury menjelaskan 30 : “ (Nabi menyatakan): ‘Sebaik-baiknya manusia adalah kurunku’ artinya : orang-orang yang mendapati aku masih hidup dan beriman denganku, yaitu para Sahabatku, ‘kemudian yang setelahnya’  artinya  : yang mendekati mereka dalam urutan kurun (generasi) berikutnya atau  yang mengikuti mereka dalam keimanan dan keyakinan yaitu para Tabi’in, dan (perkataan beliau selanjutnya) : ‘kemudian yang setelahnya’ adalah Atbaa’ut Taabi’iin. Makna hadits ini menunjukkan bahwa para Sahabat, Tabi’in, dan yang mengikut Tabi’in setelahnya, mereka ini adalah 3 kurun (generasi) yang paling utama… “   
(Selanjutnya  beliau menukil perkataan Imam AsSuyuthi) : “ AsSuyuuthi berkata : ‘  yang benar dalam masalah ini suatu kurun tidaklah dibatasi dengan ukuran  waktu tertentu. Kurun Rasulullah Shollallaahu ‘alahi wasallam adalah  masa kehidupan para Sahabat Nabi yang rentang waktunya adalah sejak  diutusnya beliau (Nabi Muhammad) sampai meninggalnya Sahabat yang  terakhir 31 yaitu 120 tahun, sedangkan kurun Tabi’in antara 70-100 tahun, dan kurun Atbaa’ut Taabi’in  adalah kurang lebih 220-an tahun ”.
  Ketiga kurun tersebut (Sahabat Nabi, Taabi’iin, Atbaaut Taabi’iin)  disebut juga dengan Salafus Shoolih ( para pendahulu yang sholih).
Semakin jauh dari masa 3 generasi utama ini (Sahabat Nabi, Tabi’in, Atbaa’ut Tabiin)  semakin berkuranglah ilmu, amal sholih, dan pemahaman Dien yang benar.  Setiap zaman datang keadaannya lebih buruk dari keadaan sebelumnya.  Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits :
عَنِ  الزُّبَيْر بْنِ عَدِي قَالَ أَتَيْنَا أَنَسَ بْنِ مَالِك فَشَكَوْنَا  إِلَيْهِ مَا يَلْقَوْنَ مِنَ اْلحَجَّاج فَقَالَ اصْبِرُوا فَإِنَّهُ لاَ  يَأْتِي عَلَيْكُمْ زَمَانٌ إِلاَّ وَالَّذِي بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ حَتَّى  تَلْقَوا رَبَّكُمْ سَمِعْتُهُ مِنْ نَبِيِّكُمْ  صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (رواه البخاري)
“  Dari Zubair bin ‘Adi ia berkata : ‘Kami mendatangi Anas bin Malik  kemudian kami mengadukan keadaan orang-orang dalam menghadapi  (perlakuan) Hajjaj, kemudian Anas berkata : “Bersabarlah kalian, karena tidaklah datang pada kalian suatu zaman, kecuali yang setelahnya lebih buruk keadaannya, sampai kalian bertemu dengan Tuhan kalian. Saya mendengar hal ini dari Rasulullah Shollallaahu ‘alahi wasallam “ (H.R AlBukhari)
Dalam sebuah atsar, Sahabat Ibnu Mas’ud berkata :
لاَ  يَأْتِيْ عَلَيْكُمْ يَوْمٌ اَِّلا وَهُوَ شَرٌّ مِنَ اْليَوْمِ الَّذِي  كَانَ قَبْلَهُ حَتَّى تَقُوْمَ السَّاعَة لَسْتُ أَعَنَّي رُخَاء مِنَ  اْلعَيْشِ يُصِيْبُهُ وَلاَ مَالاَ يُفِيْدُهُ وَلَكِنْ لاَ يَأْتِي  عَلَيْكُمْ يَوْمٌ اِلاَّ وَهُوَ أَقَلُّ عِلْمًا مِنَ اْليَوْمِ الَّذِي  مَضَى قَبْلَهُ فَإِذَا ذَهَبَ اْلعُلَمَاءُ اسْتَوَى النَّاس فَلاَ  يَأْمُرُوْنَ بِاْلمَعْرُوْفِ وَلاَ يَنْهَوْنَ عَنِ اْلمُنْكَرِ فَعِنْدَ  ذلِكَ يَهْلِكُوْنَ
“Tidaklah  datang suatu hari kecuali keadaannya lebih buruk dari keadaan  sebelumnya sampai hari kiamat. Bukan maksudku kemewahan hidup duniawi  (yang berkurang) atau dalam hal manfaat (duniawai), tetapi tidaklah  datang kepada kalian hari kecuali hari tersebut lebih sedikit ilmu  (Dien) padanya dibandingkan sebelumnya. Ketika Ulama’ telah pergi, maka  manusia menjadi sama keadaanya, mereka tidaklah menganjurkan kepada  hal-hal yang ma’ruf ( amar ma’ruf) dan tidak pula mencegah dari hal-hal  yang munkar (nahi munkar), maka pada saat itu mereka binasa “ 
Dalam atsar yang lain, Masruuq (seorang Taabi’in) 32 berkata:
لاَ  يَأْتِيْ عَلَيْكُمْ زَمَانٌ اِلاَّ وَهُوَ أَشَرُّ مِمَّا كَانَ قَبْلَهُ  اَمَّا أَنِّي لاَ أَعِنِّي أَمِيْرًا خَيْرًا مِنْ أَمِيْر وَلاَ عَامًا  خَيْرًا مِنْ عَامٍ وَلَكِنْ عُلَمَاؤُكُمْ وَفُقَهَاؤُكُمْ يَذْهَبُوْنَ  ثُمَّ لاَ تَجِدُوْنَ مِنْهُمْ خَلْفًا وَيَجِيْءُ قَوْمٌ يَفْتُوْنَ  بِرَأْيِهِمْ 
“Tidaklah  akan datang kepada kalian suatu zaman kecuali keadaannya lebih buruk  dari sebelumnya. Maksudku bukanlah pemimpin (pada waktu sebelumnya)  lebih baik dari pemimpin (setelahnya) dan tidak pula suatu tahun lebih  baik dari tahun (setelahnya), akan tetapi para Ulama’ dan para Fuqohaa’  meninggal kemudian tidaklah didapati pengganti, kemudian datang kaum  yang berfatwa tanpa ilmu” 33
         Saudaraku  kaum muslimin, semoga Allah memberikan hidayah kepada kita semua.  Karena itulah merujuk pada pemahaman 3 generasi terbaik/ Salafus Sholih  itu adalah suatu keharusan. Mungkin seluruh kaum muslimin sepakat bahwa  kita harus kembali pada AlQuran dan AsSunnah, namun tidak semuanya yang  mengajak pada memahami AlQuran dan AsSunnah itu dengan pemahaman Salafus Sholih, khususnya para Sahabat Nabi –ridlwaanullaahi ‘alahim ‘ajma’iin-. Ketika  landasan hukumnya sudah benar, yaitu AlQuran dan AsSunnah tapi dalam  hal memahami kedua sumber hukum tersebut tidak dengan kaidah yang  seharusnya, tetapi malah dikembalikan kepada kebebasan berfikir  (liberal) dan independensi penafsiran masing-masing individu, maka yang  terjadi adalah penyimpangan-penyimpangan dalam hal aqidah, ibadah, dan  segala hal yang berkaitan dengan Dienul Islam. 
         Banyak  orang yang merasa mampu untuk menafsirkan AlQuran dengan logika dan  akal pikirnya semata, kemudian mereka menyatakan : ‘Kalau para Sahabat  Nabi bisa menafsirkan AlQuran, mengapa kita tidak ?’. Subhaanallaah. Jelas  berbeda para Sahabat Nabi dengan orang-orang setelahnya. 
          Berikut  ini kami paparkan beberapa argumen yang menunjukkan bahwa para Sahabat  Nabi tidak bisa disamakan dengan keadaan orang-orang yang setelahnya  terutama dalam hal memahami dan menafsirkan Kalam Ilahi (AlQuran) :
a.  Para Sahabat Nabi, dengan kebaikan akhlaq dan adab mereka, tidak berani  menafsirkan AlQuran dengan akal pikiran / logika semata, karena memang  ada larangan yang keras dari Rasulullaah Shollallaahu ‘alaihi wasallam :
مَنْ قَالَ فِي اْلقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (رواه الترمذي) 
     “Barangsiapa  yang berbicara tentang (ayat) AlQuran dengan ra’yu (akal  pikiran/logika)nya, maka hendaknya persiapkanlah tempat duduknya di  neraka “(H.R atTirmidzi dan beliau berkata bahwa hadits ini hasan)
     Abu Bakar AsShiddiq –radliyallaahu ‘anhu-pernah berkata : 
أَيُّ أَرْضٍ تُقِلُّنِي وَأَيُّ سَمَاءٍ تُظِلُّنِي إِذَا قُلْتُ فِي كِتَابِ اللهِ بِمَا لاَ أَعْلَمُ
   “ Bumi mana yang bisa melindungiku, dan langit mana yang bisa menaungiku, jika aku berkata tentang Kitabullah tanpa ilmu ?” 34 Sehingga  penafsiran dari para Sahabat itu adalah penjelasan yang mereka dapatkan  langsung dari Rasul atau dari penjelasan Sahabat yang lain, bukan  karena akal pikiran mereka semata.
b.   Di  antara para Sahabat Nabi tersebut ada yang memang didoakan oleh  Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam secara khusus agar Allah  menganugerahkan ilmu tafsir kepadanya, seperti Ibnu Abbas yang didoakan  Rasulullah :
اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيْلَ
“  Yaa Allah, jadikanlah ia faqih (paham) dalam ilmu Dien, dan ajarkan  kepadanya tafsir (AlQuran) “(H.R AlHaakim dan Ibnu Hibban dalam  Shahihnya)
c.    Ayat-ayat AlQuran banyak yang turun berkaitan dengan keadaan seorang Sahabat. 
         Seperti ayat ifk , tentang tuduhan bahwa ‘Aisyah –radliyallaahu ‘anha- telah  melakukan perbuatan keji, maka Allah turunkan ayat surat AnNuur ayat  11-26 yang menjelaskan bahwa beliau suci dari segala tuduhan orang-orang  munafiq tersebut. 
          Demikian  juga dengan surat Ataubah ayat 118 yang diturunkan Allah berkaitan  dengan ampunan dosa bagi 3 orang Sahabat Nabi yang tidak ikut berperang  dalam perang Tabuk tanpa udzur, kemudian mereka bertaubat. 
          Surat Luqmaan ayat 15 turun berkaitan dengan Sa’ad bin Maalik yang sangat berbakti kepada  ibunya.  Ketika ia masuk Islam, ibunya selalu berusaha mengajaknya keluar dari  Islam, dan kemudian menyuruhnya memilih, apakah ia keluar dari Islam,  ataukah Ibunya tidak akan makan dan minum. Saat ibunya sudah sangat  lemah karena tidak makan dan minum, ia berkata : “ Wahai ibuku, kalau  seandainya ibu memiliki 100 nyawa dan lepas satu persatu, aku tidak akan  mau meninggalkan Islam, jika ibu mau makanlah, jika tidak silakan.  Kemudian ibunya kembali makan karena dia merasa tidak bisa menggoyahkan  keteguhan aqidah anaknya.
          Masih  sangat banyak lagi ayat-ayat yang turun berkaitan dengan keadaan  Sahabat Nabi. Ayat-ayat yang turun sebagai jawaban atas pertanyaan salah  seorang Sahabat juga sangat banyak, di antaranya :
Ketika  para Sahabat yang bertanya, “ Wahai Rasulullah, apakah Tuhan kita  sangat dekat sehingga kita berbisik padaNya (dalam berdoa, pen) ataukah  Ia jauh, sehingga kita harus berteriak ?”. Maka Allah turunkan ayat ke  186 dari surat AlBaqoroh : 
“ Jika hambaKu bertanya tentang Aku, maka (katakan bahwa) Aku dekat …”(Q.S AlBaqoroh : 186)    
d.   Banyak  di antara Sahabat yang mengetahui secara langsung sebab turunnya ayat,  penjelasan tentang ayat itu, dsb, seperti Sahabat Ibnu Mas’ud, beliau  berkata :
وَالَّذِي  لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ مَا نُزِلَتْ آيَةٌ مِنْ كِتَابِ اللهِ إِلاَّ  وَأَنَا أَعْلَمُ فِيْمَنْ نُزِلَتْ وَأَيْنَ نُزِلَتْ وَلَوْ أَعْلَمُ  مَكَانَ أَحَدٍ أَعْلَم بِكِتَابِ اللهِ مِنِّي تَنَالُهُ الْمَطَايَا  َلأَتَيْتُهُ   
    “  Demi Yang tidak ada sesembahan yang haq kecuali Dia, tidaklah turun  suatu ayat dari Kitabullah kecuali aku yang paling tahu kepada siapa  diturunkan dan di mana diturunkan, kalau aku mendapati ada seseorang  yang lebih tahu tantang aku (dalam hal itu) aku mendatanginya (untuk  mengambil ilmu darinya) “(disebutkan dalam Muqoddimah Tafsir Ibnu  Katsir)
e.    Para  Sahabat Nabi telah mendapat jaminan keridlaan dari Allah sebagaimana  dalam surat AtTaubah ayat 100 dan ayat-ayat yang lain, berbeda dengan  orang-orang setelahnya yang tidak ada jaminan keridlaan Allah kepadanya,  kecuali jika mereka mengikuti jalan para Sahabat Nabi dalam berIslam.  Allah Subhaanahu Wa Ta’ala menjamin, jika kita beriman sebagaimana  berimannya para Sahabat Nabi, maka pasti kita akan mendapatkan petunjuk.  Sebagaimana dalam firmanNya :
فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا 
   “ Jika mereka beriman seperti imannya kalian, pastilah mereka akan mendapatkan petunjuk … “(Q.S AlBaqoroh : 137)
f.     Rasulullah  telah menjamin bahwa jalannya golongan yang selamat adalah karena  mengikuti jalan Rasul dan para Sahabatnya, sesuai dengan hadits yang  diriwayatkan AtTirmidzi tentang terpecahnya umat Nabi Muhammad menjadi  73 golongan seperti yang telah dikemukakan di atas.
g.    Kekeliruan  para Sahabat dalam memahami suatu ayat Al-Quran tidak dibiarkan begitu  saja oleh Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam. Ketika mereka keliru  dalam memahami suatu ayat, Rasulullah akan meluruskan pemahamannya.  Sebagai contoh, disebutkan dalam sebuah hadits dari Sahabat Ibnu Mas’ud :
لَمَّا  نَزَلَتْ الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَلَمْ يَلْبِسُوْا إِيْمَانَهُمْ بِظُلْمٍ  شَقَّ ذَلِكَ عَلَى أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ  وَسَلَّمَ وَقاَلُوْا أَيَّنَا لاَ يَظْلِمُ نَفْسَهُ فَقَالَ رَسُوْلُ  اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ هُوَ كَمَا تَظُنًّوْنَ  إِِنَّمَا هُوَ كَمَا قَالَ لُقْمَانُ لاِبْنِهِ يَِا بُنَيَّّ لاَ تُشْرِكْ باِللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ 
“Ketika  turun ayat al-Quran : ‘ Orang-orang yang beriman yang tidak mencampuri  imannya dengan kedzaliman (mereka itu adalah yang mendapatkan keamanan  dan mendapatkan hidayah)’[Q.S Al-An-‘aam : 82) , para Sahabat Nabi resah  dan berkata : ‘Siapa diantara kita yang tidak pernah  mendzalimi  dirinya sendiri’. Maka kemudian Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi  wasallam bersabda :” (Makna ayat tersebut) tidaklah seperti yang kalian  persangkakan itu, sesungguhnya maknanya adalah sebagaimana yang  dikatakan Luqman kepada anaknya :” Wahai anakku, janganlah engkau  mensekutukan Allah, karena sesungguhnya kesyirikan adalah kedzaliman  yang terbesar”[Q.S Luqman :13] (H.R Muslim)
         Para  Ulama’ menjelaskan makna hadits tersebut. Ketika turun al-Quran surat  al-An-aam : 82, para Sahabat Nabi resah. Ayat tersebut menyatakan bahwa  orang beriman yang tidak mencampuri keimanannya dengan kedzaliman akan  mendapatkan keamanan dan hidayah. Para Sahabat menyangka kedzaliman yang  dimaksud ayat ini adalah perbuatan dosa apapun, baik kecil maupun  besar. Mereka mengira akan sulit mencapai keadaan yang disebutkan dalam  ayat itu karena tidak ada yang bisa selamat dari kedzaliman, yaitu dosa.  Namun kemudian Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan  bahwa yang dimaksud dengan ‘kedzaliman’ pada ayat tersebut adalah  kesyirikan.
         Contoh  yang lain, yang menunjukkan bahwa kekeliruan pemahaman para Sahabat  diluruskan oleh Rasulullah adalah sebagaimana disebutkan dalam hadits :
عَنْ  عَدِي بْنِ حَاتِمٍ قَالَ لَمَّا نَزَلَتْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ  الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ قاَلَ  لَهُ عَدِي يَارَسُوْلَ اللَّهِ إِنِّي أَجْعَلُ تَحْتَ وِسَادَتِيْ  عِقَالَيْنِ عِقَالاً أَبْيَضُ وَعِقَالاً أَسْوَدُ أَعْرِفُ بِهِمَا  اللَّيْلَ مِنَ النَّهَارِِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ  عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ وِسَادَكَ لَعَرِيْض إِنَّمَا هُوَ سَوَادُ  اللَّيْلِ وَ بَيَاضُ النَّهَارِِ 
“ Dari Sahabat Adi bin Hatim beliau berkata :“Ketika turun ayat Alqur’an :  (  yang artinya ): …” (teruslah makan dan minum) sampai nampak dengan  jelas bagi kalian benang putih atas benang hitam dari fajar”, Adi bin  Hatim bertanya kepada Rasulullah : ‘Wahai Rasulullah sesungguhnya saya  telah membuat 2 ikat (benang) di bawah bantalku : satu ikat berwarna  putih dan satu ikat berwarna hitam sehingga dengan itu aku bisa  membedakan malam dengan siang’. Maka Rasulullah bersabda :  “Kalau demikian, nantinya tidurmu akan sangat panjang. Sesungguhnya  yang dimaksud adalah hitamnya malam dan putihnya siang (H.R Muslim)   
         Dari  penjelasan ini, nampaklah bahwa tidaklah cukup kita mengatakan :  ‘kembali kepada AlQuran dan AsSunnah’ saja, namun yang lebih tepat :  ‘kembali kepada AlQuran dan AsSunnah dengan pemahaman SalafusSholih, terutama para Sahabat Nabi’. Para Sahabat Nabi adalah para Shiddiiqiin yang utama dan terdepan, yang kita ingin mengikuti jalan mereka, dan mereka termasuk orang-orang yang Allah beri nikmat.
3.   AsySyuhadaa’.
Ibnu Jarir AtThobari menjelaskan dalam tafsirnya : “ AsySyuhadaa’ adalah bentuk jama’ dari syahiid yaitu orang-orang yang terbunuh di jalan Allah. Dinamakan demikian karena mereka mempersaksikan al-haq (kebenaran) di sisi Allah sampai mereka terbunuh.
4.   Shoolihiin (orang-orang Sholih)   
Ibnu Jarir AtThobari menjelaskan dalam tafsirnya : “ Asshoolihiin adalah bentuk jama’ dari Shoolih (baik) yaitu semua orang yang baik keadaan lahir dan batinnya “
AsySyaikh  Muhammad Ibn Sholih al-Utsaimin menjelaskan bahwa AshShoolihiin adalah  setiap orang yang benar-benar memenuhi hak Allah dan hak hamba Allah  (memperbaiki hubungan dengan Allah dan dengan hamba Allah yang lain).  Para Nabi, Shiddiiqiin, dan  Syuhaadaa’ adalah termasuk  AsShoolihin (bahkan pada tingkatan yang tinggi), namun disebutkan secara  khusus kelompok AsSholihiin setelah ketiga kelompok tersebut, untuk  memasukkan orang-orang yang tidak masuk dalam ketiga kategori tersebut  dan tingkatannya di bawah mereka 35 
         Maka  keempat jenis inilah (para Nabi, Shiddiiqiin, Syuhaadaa’, dan  Shoolihiin) yang kita senantiasa berdoa supaya Allah tunjukkan ke jalan  yang telah mereka lalui sehingga Allah beri nikmat kepada mereka. Bukannya jalan orang-orang yang Allah sebut dalam lafadz selanjutnya :
Ø      غَيْرِ الْمَغْضُْوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّيْنَ  
 غَيْرِ =  bukannya (jalan)  
الْمَغْضُْوبِ عَلَيْهِمْ =  orang-orang yang dimurkai
 وَلاَ الضَّالِّيْنَ   = tidak pula (jalan) orang-orang yang sesat
         Dalam hadits disebutkan :
إِنَّ اْلمَغْضُوْبَ عَلَيْهِمُ اْليَهُوْدُ وَإِنَّ الضَّالِّيْنَ النَّصَارَى
“  Sesungguhnya (orang-orang yang ) dimurkai adalah Yahudi dan  sesungguhnya orang-orang yang sesat adalah Nashrani “ (Hadits Shohih  disebutkan oleh AsySyaikh AlAlbaani dalam Shohiihul Jaami’)
Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya : “…sesungguhnya  jalan yang ditempuh oleh orang yang beriman adalah mengandung ilmu  tentang al-Haq dan amal (berilmu tentang syariat kemudian mengamalkan  ilmu tersebut,pen) sedangkan Yahudi tidak melakukan amal, dan Nashrani  tidak berilmu. Karena itu kemurkaan (Allah) untuk orang-orang Yahudi dan  kesesatan untuk orang-orang Nashrani. Karena barangsiapa  yang berilmu tapi tidak mengamalkan ilmunya berhak mendapatkan  kemurkaan, berbeda dengan orang yang tidak berilmu. Sedangkan Nashrani  berupaya untuk mencapai sesuatu tetapi mereka tidak mendapatkan petunjuk  menuju jalan itu karena mereka tidak mendatangi sesuatu pada pintunya,  yaitu mengikuti al-Haq,  sehingga mereka sesat. Baik Yahudi  maupun Nashrani sebenarnya mereka adalah (sama-sama) sesat dan  mendapatkan kemurkaan, namun keadaan dimurkai lebih khusus bagi Yahudi,  seperti dalam firman Allah:
مَنْ لَعَنَهُ اللهُ وَغَضِبَ عَلَيْهِ  
“(yaitu) orang yang Allah laknat dan Allah murka padanya “
Sedangkan orang –orang Nashrani memiliki kekhususan dalam hal kesesatan, sebagaimana firman Allah :
قَدْ ضَلُّوا مِنْ قَبْلُ وَأَضَلُّوا كَثِيْرًا وَّضَلُّوْا عَنْ سَوَاءِ السَّبِيْلِ 
“ mereka telah sesat sebelumnya dan mereka menyesatkan banyak orang dan mereka sesat dari jalan yang lurus “
          Maka  kita berdoa kepada Allah dengan mengucapkan lafadz ini agar tidak  menjadi kedua golongan itu : dimurkai dan sesat. Para Ulama’ menjelaskan  bahwa siapapun dari umat ini yang berilmu Dien tapi tidak mengamalkan  ilmunya, berarti telah menyerupai orang-orang Yahudi yang dimurkai,  sebaliknya yang tidak berilmu, sehingga ia beramal tanpa ilmu, maka  mereka menyerupai orang-orang  Nashrani. Semoga Allah  menjadikan kita berilmu dengan syariat-syariatNya yang tertuang dalam  AlQuran dan AsSunnah dengan pemahaman para Sahabat Nabi, kemudian Allah  berikan taufiq kepada kita semua untuk beramal dengan ilmu itu secara ikhlas karena Allah semata.
CATATAN KAKI :
25. Lihat Syarhun Nawaawi ‘ala Shohih Muslim karya Imam AnNawaawi juz 4 hal 104 cetakan Daaru Ihyaa’it Turoots al-‘Aroby Beirut
26. Syarh al-Aqiidah al-Waasithiyyah karya Syaikh Muhammad Ibn Sholih al-Utsaimin juz 1 hal 38 cetakan Daaru Ibnil Jauzi 
27. Ibid, juz 1 hal 252
28. Silakan disimak Fathul Baari karya Ibnu Hajar al-Asqolani juz 11 hal 297 cetakan Daarul Ma’rifah 
Beirut tahun 1379 H
29.  Jika kemudian ada pertanyaan : ‘Bagaimanakah dengan  tawassul(menggunakan wasilah/perantara untuk berdoa kepada Allah).  Bukankah hal itu disyariatkan ?’ 
Maka jawabannya adalah : Benar, tawassul memang disyariatkan sesuai dengan firman Allah :
يَأيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ اْلوَسِيْلَةَ (المائدة : 35)
“  Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kalian kepada Allah dan  carilah wasilah (yang bisa mendekatkan diri kalian kepadaNya) (Q.S  AlMaaidah : 35)
أُولَئِكَ الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ يَبْتَغُوْنَ إِلَى رَبِّهِمُ اْلوَسِيْلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ
“Makhluk-makhluk yang mereka ibadahi (Nabi, orang sholih, para Malaikat) (berlomba-lomba)  mencari wasilah manakah di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah)” (Q.S Al-Israa’: 57) 
Namun, wasilah tersebut haruslah wasilah yang ditentukan syariat bahwa itu memang bisa digunakan sebagai wasilah. AsySyaikh  Muhammad Ibn Sholih al-Utsaimin menjelaskan (kami nukil dan kutipkan  secara ringkas) bahwa tawassul yang disyariatkan (untuk mempermudah doa  dikabulkan/ lebih mendekatkan diri kepada Allah ) ada 6 : 
          1) Berdoa dengan didahului/      dibarengi penyebutan Nama-Nama Allah yang Mulia. Sesuai dengan   
           firman      Allah :
 وَِللهِ اْلأَسْمَاءُ اْلحُسْنَى فَادْعُوْهُ بِهَا ( الأعراف : 180)
“Dan Allah memiliki Nama-Nama Yang Baik, berdoalah dengan (menyebut Nama-Nama itu) “(Q.S AlA’roof : 180) 
2) Bertawassul  kepada Allah      dengan sifat-sifatNya. Misalnya, berdoa dengan  menyebutkan sifat Allah      Yang Maha Mengetahui dan Maha Kuasa,  sebagaimana doa yang diajarkan      Rasulullah :
اللَّهُمَّ  بِعِلْمِكَ اْلغَيْبَ وَقُدْرَتِكَ عَلَى اْلخَلْقِ أَحْيِنِي مَا  عَلِمْتَ الْحَيَاةَ خَيْرًا لِي وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتِ اْلوَفَاةَ  خَيْرًا لِي 
            “ Yaa Allah dengan Ilmu-Mu terhadap hal-hal yang ghaib dan KekuasaanMu dalam mencipta,  Hidupkanlah aku jika Engkau tahu hidup lebih baik bagiku dan matikanlah  aku jika Engkau ketahui bahwa mati lebih baik bagiku “ (H.R AnNasaa’i,  Ibnu Hibban dalam Shahihnya) 
          3) Bertawassul       kepada Allah dengan keimanan kepadaNya dan RasulNya, sebagaimana  doa yang      disebutkan dalam AlQuran surat      Ali Imran ayat  193 :
رَبَّنَا  إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُّنَادِي لِْلإِيْمَانِ أَنْ آمِنُوا  بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوْبَنَا وَ كَفِّرْ  عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَ تَوَفَّنَا مَعَ اْلأَبْرَارِ ( ال عمران : 193)
      “ Wahai Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mendengar seruan penyeru kepada keimanan : ‘Hendaklah kalian beriman kepada Tuhan kalian’, kemudian kami beriman.  Wahai Tuhan kami ampuni dosa-dosa kami dan hapuskanlah  kesalahan-kesalahan kami dan wafatkan kami (untuk dikumpulkan) bersama  orang-orang yang berbakti (taat kepadaMu) “ (Q.S Ali Imran : 193) 
   4) Bertawassul       kepada Allah dengan amal sholih. Dalam berdoa, seseorang  menyebutkan      terlebih dahulu amal sholih yang pernah dilakukan dan  dilakukan ikhlas      untuk Allah, kemudian memohon kepada Allah  permintaannya. Sebagaimana yang      disebutkan dalam hadits tentang 3  orang dari kalangan Bani Israil yang      terjebak dalam gua. Kemudian  masing-masing berdoa dengan menyebut amal      sholih terdahulu yang  telah pernah mereka lakukan. Orang pertama dari      mereka menyebutkan  amalan berbakti kepada kedua orang tua, orang kedua      menyebutkan  bahwa karena perasaan takutnya kepada Allah ia tinggalkan       kemaksiatan yang sudah di depan mata, sedangkan orang terakhir berdoa       dengan menyebutkan keadaan dirinya yang berusaha bersifat amanah  dalam      memberikan hak pekerjanya serta memaafkan. Setelah  menyebutkan amal-amal      sholih mereka masing-masing mereka berdoa : “Yaa Allah, jika hal itu      aku lakukan semata-mata karenaMu, maka keluarkan kami dari masalah kami      ini “. Akhirnya,  dengan idzin Allah mereka bisa keluar dari gua      tersebut. Hadits  tersebut diriwayatkan oleh alBukhari dan Muslim dalam      Shahihnya. 
     5) Bertawassul       kepada Allah dengan menyebutkan keadaan dirinya dan demikian  butuhnya ia      atas pertolongan Allah. Sebagaimana doa Nabi Zakaria  yang diabadikan Allah      dalam AlQuran :
 قاَلَ  رَبِّ إِنِّي وَهَنَ اْلعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا  وَّلَمْ أَكُنْ بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا (4) وَإِنِّي خِفْتُ  اْلمَوَالِيَ مِنْ وَّرَائِيْ وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِرًا فَهَبْ لِي  مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا (5) يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ آلِ يَعْقُوْبَ  وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيًّا (6)   
               “ )Zakaria berkata) : Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah, dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepadaMu,  wahai Tuhanku. Dan aku mengkhawatirkan pengganti sepeninggalku,  sedangkan istriku mandul. Anugerahkan kepadaku wali, yang mewarisi  dariku (kenabian) dan mewarisi dari keturunan Ya’qub, dan jadikan ia  Wahai Tuhanku sebagai (manusia) yang diridlai “(Q.S Maryam : 4-6) 
           6) Bertawassul       kepada Allah dengan memohon bantuan orang sholih yang masih hidup  untuk      berdoa kepada Allah. Sebagaimana hal ini banyak dilakukan  para Sahabat      Nabi ketika beliau masih hidup mereka meminta  Rasulullah untuk mendoakan      mereka. Seperti hadits dari Sahabat Anas  bin Malik yang diriwayatkan oleh      AlBukhari dalam Shahihnya ketika  kekeringan melanda, pada hari Jumat ada      seseorang yang meminta  Rasulullah berdoa agar Allah turunkan hujan, dan      kemudian Allah  turunkan hujan. Setelah hujan berlangsung dalam seminggu, Jumat       kemudian laki-laki itu datang untuk meminta Rasulullah berdoa agar Allah       menghentikan hujan karena terlampau banyak, kemudian Rasulullah  berdoa dan      hujan menjadi reda. 
Demikian  pula yang dilakukan Sahabat Ukasyah bin Mihshan ketika Rasulullah  menyebut bahwa di antara umatnya ada sekelompok orang yang masuk surga  tanpa melewati tahapan hisab terlebih dahulu karena demikian tingginya  sikap tawakkal kepada Allah, Ukasyah meminta Rasul untuk berdoa agar ia  dimasukkan dalam golongan yang beruntung tersebut. Hadits ini disebutkan  oleh AlBukhari dalam kitab AtThibb bab Man iktawaa aw kawaaghairohu… (5705).
Demikian  juga yang dilakukan oleh Sahabat Umar bin Khottob yang meminta kepada  Abbas, paman Nabi yang masih hidup pada saat itu, sedangkan Nabi sudah  meninggal. Sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh AlBukhari dalam  Shahihnya :
عَنْ  أَنَس أَنَّ عُمَرَ بْنَ اْلخَطَّاب رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ إِذَا  قَحَطُوا اسْتَسْقَى بِالْعَبَّاس بن عَبْدِ اْلمُطَلِّب فَقَالَ  اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِيْنَا  وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا 
            “  Dari Anas bin Malik : ‘Bahwasanya Umar bin alKhottob –radliyallaahu  anhu- jika terjadi kekeringan panjang meminta Abbas bin Abdil Muthollib  untuk berdoa istisqo’ (minta hujan), kemudian berkata : “ Yaa  Allah sesungguhnya dulu kami bertawassul kepadaMu dengan Nabi kami,  kemudian Engkau turunkan hujan kepada kami, sedangkan kami saat ini  bertawassul kepadaMu dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan  kepada kami “ (H.R AlBukhari dalam kitab Al-Istisqo’ bab Su-al anNaas alImaam al-Istisqoo’ idzaa qohathuu (1010))
                Demikianlah  teladan yang terbaik dari Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam dan  para Sahabat beliau. Ketika Rasulullah sudah meninggal, para Sahabat  tidak bertawassul kepada beliau. Padahal kalau hal itu diperbolehkan,  tentunya bertawassul kepada beliau walaupun beliau sudah meninggal  adalah suatu hal yang utama untuk dilakukan. Namun, para Sahabat tidak  melakukannya karena larangan Allah :
وَأَنَّ اْلمَسَاجِدَ ِللهِ فَلاَ تَدْعُوا مَعَ اللهِ أَحَدًا 
“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah (hanya) milik Allah, maka janganlah kalian berdoa kepada Allah (dengan menyertakan) suatu apapun bersamaNya “)Q.S AlJin : 18)
Demikian  juga kaum Nabi Nuh yang berbuat kesyirikan karena bertawassul dengan  orang-orang sholih di antara mereka yang sudah meninggal (Wadd, Suwaa’, Yaghuts, dan Nasr), sebagaimana penjelasan Sahabat Nabi Ibnu Abbas ketika menafsirkan surat Nuh ayat 23).
Dan  memang para Sahabat Nabi bersepakat dalam masalah ini, bahwa tidak  boleh menjadikan orang-orang mati yang sudah meninggal sebagai perantara  (wasilah) kepada Allah, karena hal itu termasuk bentuk  kesyirikan. Tidak diketahui adanya perbedaan pendapat di antara mereka  (para Sahabat Nabi) dalam masalah tersebut, demikian pula tidak ada  perbedaan pendapat tentang hal itu dalam Imam-Imam Madzhab setelahnya. 
                Adapun hadits yang menyebutkan perintah Nabi untuk bertawassul dengan jaah (kedudukan) Nabi :
تَوَسَّلُوا بِجَاهِي فَإِنَّ جَاهِي عِنْدَ اللهِ عَظِيُمٌ
“ Bertawassullah dengan jaah (kedudukanku) karena kedudukanku di sisi Allah adalah agung “ 
hadits ini dijelaskan oleh para Ulama’ Ahlul Hadits sebagai hadits yang palsu, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin AlAlbani.
                Maka  jika bertawassul dengan Nabi Muhammad yang sudah meninggal saja  dilarang, apalagi bertawassul dengan manusia lain yang sudah meninggal  tentunya lebih terlarang lagi. Semoga Allah memberikan hidayah kepada  kita semua dan seluruh kaum muslimin untuk memurnikan ibadah kepadaNya  semata dan meninggalkan segala bentuk kesyirikan baik yang kita sadari  maupun tidak kita sadari.
30. Lihat Tuhfatul Ahwadzi karya AlMubarakfury juz 6 hal 482 cetakan Daarul Kutubil ‘Ilmiyyah.
31. Sahabat adalah seseorang yang bertemu dengan Nabi dalam keadaan muslim  dan mati dalam keadaan beriman. Jika pernah bertemu dengan Nabi dalam  keadaan beriman kemudian murtad dan tidak kembali kepada Islam, maka  bukanlah Sahabat Nabi, seperti : Qirroh bin alMaysaroh dan alAsy’ats bin Qoys. Jika sebelum mati kembali ke Islam (setelah sebelumnya murtad), maka termasuk dalam kelompok Sahabat Nabi, seperti Abdullah bin Abi Sarj. Seseorang yang bertemu/melihat Nabi walaupun pertemuan itu terjadi sebelum diutusnya Nabi, dan kemudian dia mati dalam keadaan hanafiyah (muslim) maka termasuk Sahabat Nabi seperti Zaid bin ‘Amr bin Nufail. Jika pertemuan itu terjadi pada saat dia masih sangat kecil (bayi), seperti bayi-bayi yang ditahnik(dikunyahkan  kurma oleh Nabi kemudian dioleskan pada langit-langit mulut bayi, pen),  maka bukan termasuk Sahabat. Namun, jika usianya lebih dari itu  (balita), walaupun belum mencapai baligh, maka termasuk Sahabat Nabi,  seperti alHasan, alHusein, dan Ibnu Zubair.  ‘Bertemu’ dengan Nabi bisa berarti ‘melihat’ langsung, menemui beliau  (walaupun tidak bisa melihat, seperti Ibnu Ummi Maktum yang buta,pen),  atau mendengar ucapan beliau secara langsung (walaupun terhalangi dari  melihat beliau)(Lihat Tadriibur Roowi karya Imam AsSuyuuthi juz 2 hal 209 cetakan Maktabatur Riyaadl alhadiitsah dan al-Istii’aab karya Yusuf bin Abdillah bin Muhammad bin Abdil Barr juz 1 hal 24 cetakan Daarul Jayl Beirut tahun 1412 H).     
32. Masruuq adalah seorang tabi’in  yang mengambil ilmu dari : Abu Bakr AsShiddiq, Umar, Ubay bin Ka’ab,  Ummu Ruumaan, Mu’adz bin Jabal, Khobaab, ‘Aisyah, Ibnu Mas’ud, Utsman,  Ali, Abdullah bin ‘Amr, dan Ibnu Umar, dan beberapa Sahabat Nabi yang  lain. AsySya’bi mengatakan : “Aku tidaklah mendapati di seluruh penjuru  ufuk yang lebih bersemangat dalam menuntut ilmu dari Masruuq “ (Lihat Siyaar A’laamin Nubalaa’ karya Imam AdzDzahabi juz 4 hal 65 cetakan Mu’assasah arRisaalah Beirut)
33.  Hadits Anas, atsar dari Ibnu Mas’ud dan Masruuq tersebut disebutkan  oleh AlHafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Baari (lihat juz 13 hal 20-21  cetakan Daarul Ma’rifah Beirut).
34. Lihat Tafsir alQur’aanil ‘Adzhiim karya Ibnu Katsir juz 1 hal 6 dan Fathul Baari karya Ibnu Hajar juz 13 hal 271
35. Syarh al Aqiidah al Waasithiyyah karya Muhammad Ibn Sholih alUtsaimin jilid 1 hal 155-156 cetakan Daaru Ibnil Jauzi  tahun 1415 H.
(Abu Utsman Kharisman)
Referensi: 
http://itishom.web.id
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar