Sabtu, 19 Februari 2011

Al-Fatihah


          Pada saat membaca Al-Fatihah inilah sebenarnya esensi dari dialog dengan Allah. Karena disebutkan dalam sebuah hadits Qudsi bahwa setiap ayat yang dibaca seseorang dari Al-Fatihah mendapat jawaban langsung dari Allah, sehingga terjadi dialog antara hamba dengan Allah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits qudsi tersebut :

قَسَمْتُ الصَّلاَةَ  بَيْنِيْ وَبَيْنَ عَبْدِيْ نِصْفَيْنِ وَلِعَبْدِيْ مَا سَأَلَ فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ قَالَ اللهُ تَعَالَى حَمِدَنِي عَبْدِي وَإِذَا قَالَ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ قَالَ اللهُ تَعَالَى أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي وَإِذَا قَالَ مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ قَالَ مَجَّدَنِي عَبْدِي َوقَالَ مَرَّةً فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي فَإِذَا قَالَ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ قَالَ هذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ فَإِذَا قَالَ اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيِْم صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُْوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّيْنَ قَالَ هذا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ  

“ Aku membagi As -Sholaah (Al-Fatihah) antara Aku dengan hamba-Ku menjadi 2 bagian dan bagi hamba-Ku ia mendapatkan yang ia minta. Jika seorang hamba mengucap :
  
الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ Allah berfirman : ‘HambaKu telah memujiKu’. Jika seorang hamba mengucapkan :  الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ , Allah berfirman : ‘HambaKu telah memujiKu. Jika hambaKu mengucapkan : مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ , Allah berfirman : ‘HambaKu telah mengagungkan Aku’,  dan kemudian  Ia berkata selanjutnya : “HambaKu telah menyerahkan (urusannya) padaKu. Jika seorang hamba mengatakan :   إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ  , Allah menjawab : Ini adalah antara diriKu dan hambaKu, hambaKu akan mendapatkan yang ia minta. Jika seorang hamba mengatakan :
اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيِْم صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُْوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّيْنَ    
 Allah menjawab : Ini adalah untuk hambaKu, dan baginya apa yang ia minta .
(H.R Muslim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dalam Shohihnya, AtTirmidzi dalam Sunannya)

Allah menjawab ucapan seseorang dengan kalimat : “hambaKu telah memujiKu” pada saat diucapkan الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ dan الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ. Dua kalimat tersebut mengandung pujian bagi Allah, namun ada sedikit perbedaan. Pada kalimat yang pertama : الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ ( segala puji bagi Allah) pujian bagi Allah karena kebaikan perbuatan, sedangkan pada kalimat yang kedua : الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ (Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang) selain mengandung pujian karena kebaikan perbuatan juga karena kesempurnaan   SifatNya 25

Para Ulama’ berbeda pendapat tentang apakah basmalah termasuk dalam surat Al Fatihah atau tidak. Hal yang menjadi kesepakatan adalah bahwa basmalah (bismillaahirrohmaanirohiim) merupakan bagian dari salah satu ayat surat AnNaml, yaitu ketika Nabi Sulaiman mengirim surat pada Ratu Balqis, di dalamnya terkandung basmalah. Hal ini terdapat dalam Surat AnNaml ayat 30 :

إِنَّهُ مِنْ سُلَيْمَانَ وَإِنَّهُ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

 Artinya : “Dan sesungguhnya (surat itu) berasal dari Sulaiman dan sesungguhnya (terdapat tulisan) Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.

Sebagian Ulama’ menyatakan bahwa basmalah hanyalah merupakan bagian permulaan tiap surat sebagai pemisah antar surat, kecuali surat AtTaubah. Dalil yang menunjukkan bahwa ia merupakan pemisah antar surat adalah hadits :

 عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِي اللهُ  عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ  صَلَّى اللهُ عَلَيِْه وَسَلَّمَ كَانَ لاَ  يَعْرِفُ فَصْلَ  السُّوْرَةِ حَتَّى يُنْزَلَ عَلَيْهِ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dari Ibnu Abbas – Radliyallaahu ‘anhuma – bahwasanya Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam sebelumnya tidak mengetahui pemisah antar surat (dalam AlQuran) sampai (Allah) turunkan atas beliau ‘bismillaahirrohmaanirrohiim’ (H.R Abu Dawud dalam Sunannya, dan Ibnu Katsir menyebutkan dalam tafsirnya bahwa sanad hadits ini shohih)  
          Hadits Qudsi tersebut di atas juga dijadikan dalil oleh para Ulama’ yang berpendapat bahwa bacaan basmalah (bismillaahirrohmaanirrohiim) bukanlah termasuk dari AlFatihah. Nampak dari hadits qudsi di atas bahwa permulaan bacaan tersebut (dialog antara pembaca AlFatihah dengan Allah) adalah: الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ, bukan dimulai dengan basmalah.
          Namun, walaupun seandainya kita mengikuti pendapat ulama’ yang menyatakan bahwa basmalah bukan termasuk AlFatihah, dalam sholat sebelum membacanya tetap kita baca basmalah, karena Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam juga membaca basmalah dalam sholat. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Nu’aim al-Mujmiri ketika menerangkan sholat Abu Hurairah :

صَلَّيْتُ وَرَاءَ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَقَرَأَ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم ثُمَّ قَرَأَ بِأُمِّ اْلقُرْآنِ حَتَّى بَلَغَ وَلاَ الضَّالِّيْنَ فَقَالَ امِيْن وَقَالَ النَّاسُ امِيْن وَيَقُوْلُ كُلَّمَا سَجَدَ اللهُ أَكْبَر فَإِذَا قَامَ مِنَ اْلجُلُوْسِ قَالَ اللهُ أَكْبَر وَيَقُوْلُ إِذَا سَلَّمَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنِّي َلأَشْبَهَكُمْ صَلاَةً بِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ   

“Aku sholat di belakang Abu Hurairah – semoga Allah meridlainya- dia membaca bismillaahirrohmaanirrohiim kemudian membaca Ummul Qur’an (AlFatihah) sampai pada bacaan :  وَلاَ الضَّالِّيْنَ , kemudian mengucapkan : Aamiin, orang-orang (makmum) juga mengucapkan : Aamiin, kemudian setiap akan sujud membaca : Allaahu akbar, ketika bangkit dari duduk membaca : Allaahu akbar, dan ketika selesai salam beliau berkata : “ Demi Dzat Yang jiwaku berada di TanganNya, sesungguhnya aku paling menyerupai sholatnya dengan Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam dibandingkan kalian “ (H.R AnNasaa’I dan Ibnu Khuzaimah) 

 Rincian Makna :

Ø   بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

بِسْمِ اللهِ  =     Dengan Nama Allah

الرَّحْمنِ =   Yang Maha Pengasih

الرَّحِيْمِ     =   Yang Maha Penyayang

Ø   الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ
الْحَمْدُ = Segala pujian
ِللهِ = untuk Allah
رَبِّ =Tuhan (Pencipta, Penguasa, Pengatur)
اْلعَالَمِيْنَ =         seluruh alam semesta
         
Segala pujian hanyalah milik Allah dan hanya pantas dikembalikan kepada Allah, Pemilik segala Sifat kesempurnaan. Allah terpuji pada seluruh Sifat dan seluruh perbuatanNya. IA dipuji dalam segenap keadaan.  Sebagaimana Rasululullah senantiasa memuji Allah baik dalam keadaan gembira atau susah. Disebutkan dalam hadits :

عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ اْلمُؤْمِنِيْنَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَتَاهُ اْلأَمْرُ يَسُرُّهُ قَالَ اْلحَمْدُ ِللهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتِ وَإِذَا أَتَاهُ اْلأَمْرُ يَكْرَهُهُ قَالَ اْلحَمْدُ ِللهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ

“ Dari ‘Aisyah Ummul Mu’minin – semoga Allah meridlai beliau – beliau berkata : Adalah Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam jika ditimpa keadaan yang menyenangkan, beliau berkata : اْلحَمْدُ ِللهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتِ (Segala puji bagi Allah yang dengan kenikmatan (dari)Nya kebaikan-kebaikan menjadi sempurna). Sedangkan jika beliau ditimpa sesuatu yang tidak disenanginya, beliau mengucapkan : اْلحَمْدُ ِللهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ (Segala puji bagi Allah dalam segenap keadaan)”(H.R Al-Hakim dalam Al-Mustadraknya dan  Ibnu Majah dalam Sunannya).
          Allah dipuji dalam seluruh tahapan kehidupan, baik di dunia maupun di akhirat. Sebagaimana dalam FirmanNya :
وَهُوَ اللهُ لاَ إِلهَ إِلاَّ هُوَ لَهُ اْلحَمْدُ فِي اْلأُوْلَى وَاْلآخِرَةِ وَلَهُ اْلحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ

Dan Dialah Allah Yang tidak ada sesembahan yang haq kecuali Dia, bagiNya pujian di dunia dan di akhirat, dan hanya milikNyalah keputusan hukum, dan kepadaNya kalian semua akan dikembalikan “     (Q.S Al-Qoshos : 70)
          Allah adalah : رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ , yaitu Pencipta, Penguasa, dan Pengatur bagi seluruh semesta alam, segala sesuatu yang ada di bumi dan di langit serta di antara keduanya, di masa dulu, saat ini, dan untuk keseluruhan waktu. Sebagaimana juga Allah berfirman dalam ayat yang lain ketika menceritakan percakapan antara Fir’aun dan Nabi Musa :
قَالَ فِرْعَوْنُ وَمَا رَبُّ اْلعَالَمِيْنَ . قَالَ رَبُّ السَّموَاتِ وَاْلأَرْضِ وَ مَا بَيْنَهُمَا إِنْ كُنْتُمْ مُوْقِنِيْنَ
“ Berkata Fir’aun : Apakah رَبُّ اْلعَالَمِيْنَ itu? (Musa) berkata : Tuhan seluruh langit-langit dan bumi dan yang ada di antara keduanya, jika kalian memang meyakininya “(Q.S Asy-Syu’araa : 23)

Ø   الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ   
          Kata الرَّحْمنِ dan الرَّحِيْمِ dalam bahasa Indonesia sering diartikan : Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Terjemahan ini tidaklah salah, karena memang dalam bahasa Arab keduanya memiliki makna : ذُوالرَّحْمَة (Yang Memiliki Sifat ‘rahmat’). Sifat ‘rahmat’ tersebut bisa diartikan kasih sayang sehingga penggunaan ‘Maha Pengasih’ sinonim dengan ‘Maha Penyayang’. Namun, sebenarnya di dalam dua kata ini terkandung makna yang lebih khusus, mendalam, dan memiliki karakteristik masing-masing.
           Dijelaskan oleh Syaikh Muhammad Ibn Sholih al-Utsaimin bahwa : الرَّحْمنِ artinya adalah  ‘Yang Memiliki rahmat yang luas’, sedangkan الرَّحِيْمِ adalah ‘Yang Mampu menjadikan rahmat / kasih sayangNya sampai/ menjangkau hambaNya’. Sebagian ulama’ menyatakan bahwa : الرَّحْمنِ artinya Allah memiliki rahmat yang berlaku umum untuk seluruh makhluk tanpa terkecuali, sedangkan الرَّحِيْم artinya Allah memiliki rahmat yang diberikan khusus bagi orang yang beriman saja. Namun, pendapat ini terbantahkan dengan surat AlHajj ayat 65 :
إِنَّ اللهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْم
“Sesungguhnya Allah terhadap manusia adalah sangat pengasih lagi penyayang “(Q.S AlHajj : 65)

           Dalam ayat ini Allah menyebutkan NamaNya dalam bentuk : رَحِيْم  untuk menyebutkan kasih sayangNya pada seluruh manusia secara umum, bukan hanya orang yang beriman saja. Sehingga penafsiran yang lebih tepat untuk dua Nama Allah tersebut adalah seperti yang dijelaskan oleh Syaikh al-Utsaimin di atas.

Allah memiliki sifat rahmat yang luas, yang meliputi segala sesuatu sebagaimana dalam firmanNya :
وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ
“ Dan rahmatKu meliputi segala sesuatu” (Q.S Al-A’raaf : 156)
Allah Subhaanahu WaTa’ala adalah Yang Paling bersifat rahmat/ kasih sayang di antara segala sesuatu yang memiliki kasih sayang (rahmat). Jika seluruh kasih sayang makhluk dikumpulkan, sedikitpun tidak bisa mendekati besarnya kasih sayang (rahmat) Allah. Sebagaimana disebutkan dalam firmanNya :

فَاللهُ خَيْرٌ حَافِظًا وَّهُوَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِيْنَ

“ Maka Allah adalah sebaik-baik penjaga dan Dia adalah Yang paling Penyayang di antara seluruh penyayang “ (Q.S Yusuf :64)
Kasih sayang Allah kepada hambaNya sangat besar dan melebihi kasih sayang seorang ibu kepada anak yang sangat dicintainya. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits Al-Bukhari-Muslim ketika datang salah seorang wanita sedang mencari-cari anaknya di hadapan Rasul dan para Sahabatnya,  setelah terus berupaya mencari akhirnya ia berhasil menemukan anaknya. Didekapnya anak tersebut dengan begitu erat dan penuh kasih sayang seakan-akan tidak akan dilepaskannya lagi selama-lamanya. Ketika menyaksikan hal itu Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

أَتَرَوْنَ هذِهِ طَارِحَةٌ وَلَدَهَا فِي النَّارِ قُلْنَا لاَ وَهِي تَقْدِرُ عَلَى أَنْ لاََ تَطْرَحَهُ فَقَالَ   َللهُ أَرْحَمُ بِعِبَادِهِ مِنْ هذِهِ بِوَلَدِهَا (رواه البخاري و مسلم )

“ Apakah kalian menyangka wanita itu (tega) melemparkan anaknya ke api ? Para Sahabat menjawab : Tidak akan, jika dia memiliki kemampuan untuk tidak melemparkannya. Rasul bersabda : “Sungguh-sungguh Allah jauh lebih sayang kepada hamba-hambaNya dibandingkan kasih sayang wanita itu kepada anaknya”(H.R Al-Bukhari-Muslim)
Dengan kasih sayangNya pula Allah mengampuni orang-orang berdosa yang mohon ampunanNya dengan sebenar-benarnya taubat. Sebagaimana disebutkan dalam ayatNya :

كَتَبَ رَبُّكُمْ عَلَى نَفْسِهِ الرَّحْمَةَ أَنَّهُ مَنْ عَمِلَ مِنْكُمْ سُوْءًا بِجَهَالَةٍ ثُمَّ تَابَ مِنْ بَعْدِهِ وَأَصْلَحَ فَأَنَّهُ غَفُوْرٌ رَّحِيم

“ Dialah Allah Yang Mewajibkan bagi DiriNya Sendiri untuk bersikap rahmat. Barangsiapa di antara kalian yang beramal keburukan dengan kejahilan kemudian bertaubat setelahnya dan berbuat baik, maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang “(Q.S Al-An’aam : 54)

           AsySyaikh Muhammad Ibn Sholih al-Utsaimin menjelaskan makna ayat ini : “Tidaklah Allah menutup ayat dengan kalimat ini kecuali orang-orang yang bertaubat akan mendapatkan ampunan dan rahmat. Ini adalah termasuk rahmatNya yang Ia wajibkan untuk DiriNya sendiri. Padahal sebenarnya sudah merupakan keadilan kalau seseorang berdosa diadzab sesuai dengan dosanya, dan dibalas sesuai dengan perbuatan baiknya. (Misalkan), kalau seandainya seseorang melakukan perbuatan dosa selama 50  hari, kemudian bertaubat dan berbuat baik 50 hari, sudah termasuk adil kalau seandainya Allah mengadzabnya untuk yang 50 hari dan memberinya pahala untuk yang 50 hari. Tetapi Allah Azza Wa Jalla mewajibkan DiriNya sendiri untuk bersikap rahmat. (Maka dengan itu) seluruh dosa yang dilakukan selama 50 hari bisa dihilangkan hanya sesaat (dengan taubat). Kemudian Allah tambah :

فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ (الفرقان :70)

“ Maka mereka itu adalah orang-orang yang Allah ganti keburukan-keburukannya dengan kebaikan – kebaikan “(Q.S AlFurqon : 70)
Seluruh keburukan-keburukan sebelumnya menjadi kebaikan-kebaikan, karena setiap kebaikan tersebut adalah taubat dan setiap taubat akan mendapatkan pahala 27
          Sungguh kita sangat mengharapkan rahmat Allah. Kita sangat butuh pada rahmatNya melampaui segala sesuatu. Kita tidak bisa mengandalkan amalan-amalan kita semata tanpa rahmat Allah untuk mencapai kenikmatan hakiki yang Allah sediakan bagi hamba-hambaNya yang beriman. Sebagaimana Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

فَإِنَّهُ لَنْ يُدْخِلَ اْلجَنَّةَ أَحَدًا عَمَلُهُ قَالُوا وَلاَ أَنْتَ يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ وَلاَ أَنَا إِلاَّ أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللهُ مِنْْهُ بِرَحْمَةٍ وَاعْلَمُوْا أَنَّ أَحَبَّ اْلعَمَلِ إِلَى اللهِ أَدْوَمُهُ وَإِنْ قَلَّ

“ Sesungguhnya tidak ada amalan seseorangpun yang bisa memasukkan seseorang ke dalam surga. Para Sahabat bertanya : ‘Apakah termasuk anda juga wahai Rasulullah?’ Rasul menjawab: Tidak juga saya, kecuali Allah telah melimpahkan rahmatNya padaku. Ketahuilah bahwasanya amalan yang paling dicintai Allah adalah yang paling istiqomah walaupun sedikit “(H.R AlBukhari-Muslim, lafadz hadits Muslim)
          Benar, kita tidak bisa mengandalkan amalan kita semata untuk masuk surga. Kita membutuhkan rahmat Allah.
          Jika ada pertanyaan, bagaimana dengan ayat-ayat dalam AlQuran yang menjelaskan bahwa seorang masuk surga disebabkan oleh amalannya. Seperti dalam firman Allah :

وَتِلْكَ اْلجَنَّةُ الَّتِي أُوْرِثْتُمُوْهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ

“ Dan itu adalah surga yang diwariskan kepada kalian disebabkan apa yang kalian amalkan “(Q.S AzZukhruf : 72) dan firman Allah :
 سَلاَمٌ عَلَيْكُمُ ادْخُلُوا اْلجَنَّةَ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ

“ Keselamatan atas kalian, masuklah ke dalam surga disebabkan apa – apa yang kalian amalkan “(AnNahl :32)
AlHafidz Ibnu Hajar menukil perkataan Ibnul Jauzi 28: “ ada 4 jawaban tentang masalah ini :
1.     Taufiq (petunjuk) dari Allah supaya seseorang mengamalkan sesuatu adalah merupakan rahmat Allah. Kalau tidak karena rahmat Allah terdahulu, maka tidaklah akan tercapai iman dan ketaatan yang dengan itu bisa dicapai keselamatan.
2.     Bahwasanya seorang hamba (budak) yang beramal untuk Tuannya adalah merupakan hak dari Tuannya. Kalau seandainya Tuan tersebut memberikan ganjaran/balasan, maka itu adalah fadhilah (kelebihan) yang diberikannya.
3.     Terdapat dalam beberapa hadits bahwa masuknya seseorang ke dalam surga adalah karena rahmat Allah, sedangkan perbedaan-perbedaan derajat dalam surga dicapai sesuai  kadar amalan.
4.     Amalan-amalan ketaatan yang dilakukan seorang hamba terjadi pada masa yang singkat (di dunia) sedangkan balasan dengan surga,pen.) adalah kekal. Maka balasan yang kekal untuk sesuatu yang fana (tidak kekal) adalah merupakan suatu fadhilah (kelebihan) bukanlah suatu balasan yang sebanding.
 Demikian besarnya rahmat Allah sehingga kita tidak boleh putus asa dari rahmatNya. Allah adalah Yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih kepada hambaNya. Namun, jangan sampai kemudian kita terjerumus kepada sikap yang lain ketika memahami hal ini. Jangan sampai kemudian kita menggampangkan untuk berbuat dosa dengan anggapan nanti kita bisa bertaubat dan diampuniNya. Sikap semacam adalah merasa aman dari Makar (adzab) Allah, dan termasuk dosa besar. Sebagaimana putus asa dari rahmat Allah adalah dosa besar, demikian pula merasa aman dari adzab Allah adalah juga dosa besar. Hal ini sesuai dengan hadits:

عَنِ بْنِ مَسْعُوْدٍ أَكْبَرُ اْلكَبَائِرِ اْلإِشْرَاكُ بِاللهِ وَاْلأَمْنُ مِنْ مَكْرِ اللهِ وَاْلقُنُوْطُ مِنْ رَحْمَةِ اللهِ وَاْليَأْسُ مِنْ رَوْحِ اللهِ (رواه الطبرني و عبد الرزاق )

“Dari Ibnu Mas’ud : (termasuk) dosa yang paling besar adalah Syirik (mensekutukan) Allah, merasa aman dari makar (adzab) Allah, dan putus asa dari rahmat Allah “(H.R AtThobrony dan Abdurrozzaq dan sanad hadits ini shohih sebagaimana dijelaskan oleh AlHaitsaimi dalam Majma’uz Zawaaid)
          Betapa indahnya susunan kalimat-kalimat dalam AlQuran yang Allah susun supaya manusia tidak putus asa dari rahmat Allah sekaligus tidak merasa aman dari adzab Allah. Banyak susunan dalam AlQuran yang jika Allah menyebutkan bahwa Ia adalah Maha Pengampun lagi Maha Pengasih, selanjutnya Ia berikan ancaman bahwa adzabNya sangat pedih. Demikian pula sebaliknya. Sebagaimana disebutkan dalam AlQuran:

نَبِّئْ عِبَادِيْ أَنِّي أَنَا اْلغَفُوْرُ الرَّحِيْم ( 49) وَأَنَّ عَذَابِي هُوَ اْلعَذَابُ اْلأَلِيْم (50)

“ Khabarkan kepada hamba-hambaKu bahwa Aku adalah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan bahwasanya adzabKu sangat pedih “ (Q.S Al-Hijr)

إِنَّ رَبَّكَ سَرِيْعُ اْلعِقَابِ وَإِنَّهُ لَغَفُوْرٌ رَّحِيْم

“ Sesungguhnya Tuhanmu sangat cepat adzabNya, dan sesungguhnya Ia adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang “(Q.S AlAn’aam : 165)
          Demikian pula Allah memuji orang-orang yang menyembah dengan memadukan perasaan takut dari adzabNya dan berharap mendapatkan rahmat, pahala, ampunanNya :

إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُوْنَ فِي اْلخَيْرَاتِ وَيَدْعُوْنَنَا رَغَبًا وَّرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِيْنَ
“Sesungguhnya mereka dulunya senantiasa bersegera dalam kebaikan dan menyembah Kami dengan perasaan berharap dan takut dan mereka merasa tunduk (takut) kepada Kami”(Q.S Al-Anbiyaa’:21)

Ø   مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ
مَالِكِ =  Yang Memiliki
يَوْمِ الدِّيْنِ = Hari Pembalasan
          Dalam ayat ini ada dua bacaan yang diperbolehkan karena sama-sama berasal dari riwayat yang shohih, yaitu boleh dibaca : مَالِكِ , boleh juga dibaca : مَلِِك  , sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Imam Ibnu Katsir dalam tafsir beliau. Jika dibaca : مَلِِك artinya adalah Yang Menguasai/ Merajai. Sedangkan kata : الدِّيْنِ artinya adalah ‘pembalasan’ atau ‘penghitungan/ hisab ’. Sebagaimana makna semacam ini terdapat dalam ayat yang lain :
يَوْمَئِذٍ يُّوَفِّيْهِمُ اللهُ دِيْنَهُمُ الْحَقَّ
Pada hari itu Allah sempurnakan perhitungan/pembalasan bagi mereka secara haq”(Q.S AnNuur : 25)
          Sehingga arti dari ayat ini adalah : Allahlah Yang Memiliki dan Menguasai secara mutlak hari pembalasan (yaumul qiyaamah). Pada hari itu tidak ada lagi yang memiliki kekuasaan kecuali Allah. Sebagaimana dalam hadits disebutkan :

 يَقْبِضُ اللهُ  اْلأَرْضَ وَيَطْوِي السَّمَاءَ بِيَمِيْنِهِ ثُمَّ يَقُوْلُ أَنَا اْلمَلِك أَيْنَ مُلُوْكُ اْلأَرْضِ أَيْنَ اْلجَبَّارُوْنَ أَيْنَ اْلمُتَكَبِّرُوْنَ

“ (Pada hari kiamat) Allah menggenggam bumi dan melipat langit dengan Tangan KananNya, kemudian berseru : “Akulah Raja. Mana raja-raja di bumi? Mana orang-orang yang sombong? Mana orang-orang yang takabbur? “(H.R AlBukhari-Muslim)
Dalam ayat yang lain Allah berfirman :

اْلمُلْكُ يَوْمَئِذٍ  اْلحَقُّ لِلرَّحْمنِ وَكَانَ يَوْمًا عَلَى اْلكَافِرِيْنَ عَسِيْرًا

“ Kekuasaan pada hari itu hanyalah milik ArRahmaan dan itu adalah hari dimana bagi orang-orang kafir terasa sulit”(Q.S AlFurqoon: 26)
          Pada hari itu tidak ada yang berani berbicara kecuali yang diijinkan Allah, sebagaimana dalam FirmanNya :
يَوْمَ يَقُوْمُ الرُّوْحُ  وَاْلمَلاَئِكَةُ صَفًّا لاَ يَتَكَلَّمُوْنَ إِلاَّ مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمنُ وَقَالَ صَوَابًا

“ Pada hari di mana berdiri manusia dan para Malaikat bershaf-shaf tidak ada yang berbicara kecuali yang diijinkan ArRahmaan, dan tidaklah berbicara kecuali ucapan yang benar” (Q.S AnNabaa’ : 38)

...وَخَشَعَتِ اْلأَصْوَاتُ لِلرَّحْمنِ فَلاَ تَسْمَعُ إِلاَّ هَمْسًا

“ Dan suara-suara (pada hari itu) tunduk (hening) di hadapan ArRahmaan, tidak ada yang terdengar kecuali suara kaki diletakkan “(Q.S Thoha :108)
 
Ø      إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ

إِيَّاكَ نَعْبُدُ = hanya kepadaMu kami menyembah
وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ = dan hanya kepadaMu kami meminta pertolongan
         Bacaan : إِيَّاكَ harus dibaca dengan tasydid pada huruf : ي  (ya’) yang artinya : ‘hanya kepadaMu’, jika tidak ada tasydid pada huruf ya’ maka akibatnya akan fatal karena artinya sangat berbeda. Kalau kita membaca tanpa tasydid artinya adalah : ‘kepada matahariMu’, sehingga kalau kita membaca :
إِيَاكَ نَعْبُدُ
Artinya adalah ‘kepada matahariMu kami menyembah’.
Ini adalah ucapan kesyirikan, karena kita menyatakan menyembah matahari. Sehingga harus diperhatikan benar, bacaan pada ayat ini pada huruf ya’ harus ditasydid.
 Dalam ayat ini terkandung pernyataan dari kita bahwa hanya kepada Allahlah kita menyembah, sehingga hanya kepadaNya seluruh peribadatan kita persembahkan. Hal ini sesuai dengan perintah Allah dalam ayat yang lain :
قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي ِللهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ (163) لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَبِذ`لِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ اْلمُسْلِمِيْنَ(الأنعام : 123-124)
“ Katakanlah (Muhammad): sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku untuk Allah Tuhan semesta alam. Tidak ada sekutu bagiNya, karena itulah aku diperintahkan dan aku adalah muslim yang paling awal “(Q.S AlAn’aam : 123-124)
         Seorang muslim hanyalah menyerahkan ibadahnya kepada Allah semata, tidak dibagi dengan yang selainNya. Berbeda dengan orang-orang musyrikin yang selain mereka menyembah Allah, mereka juga menyembah berhala-berhala. Mereka berdoa kepada Allah, namun menjadikan berhala-berhala tersebut sebagai perantara (wasilah) supaya bisa mendekatkan diri mereka kepada Allah dan supaya berhala-berhala tersebut bisa memberikan syafaat di sisi Allah. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran :

وَالَّذِيْنَ اتَّخَذُوا مِنْ دُوْنِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلاَّ لِيُقَرِّبُوْنَا إِلَى اللهِ زُلْفَى(الزمر :3)
“ Dan orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai wali-wali (penolong), (mereka mengatakan) : ‘kami tidaklah menyembah mereka kecuali supaya mendekatkan diri kami kepada Allah’ (Q.S AzZumar : 3)  

 وَيَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ مَا لاَ يَضُرُّهُمْ وَلاَ يَنْفَعُهُمْ وَيَقُوْلُوْنَ هَؤُلاَءِ شُفَعَاؤُنَاعِنْدَ اللهِ (يونس : 18)
“ Dan mereka menyembah selain Allah apa-apa yang tidak mampu  memudharatkan ataupun memberi manfaat, dan mereka berkata : ‘ Ini adalah pemberi-pemberi syafaat kami di sisi Allah’ “ (Q.S Yunus : 18)

Sahabat Nabi yang mulya, Abdullah Ibnu Abbas ketika menjelaskan firman Allah :

وَقَالُوا لاَ تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلاَ تَذَرُنَّ وَدًّا وَّلاَ سُوَاعًا وَّلاَ يَغُوْثَ وَيَعُوْقَ وَنَسْرًا ( نوح :23)
” (Kaum Nuh yang kafir) berkata : ‘Janganlah kalian tinggalkan sesembahan-sesembahan kalian, dan janganlah kalian tinggalkan Wadd, Suwaa’, Yaghuts, dan Nasr “(Q.S Nuh : 23)
berkata (Ibnu Abbas) : “ Ini (Wadd, Suwaa’, Yaghuts, dan Nasr) adalah nama-nama orang-orang sholih dari kaum Nuh yang ketika mereka meninggal, syaitan membisikkan kepada mereka : ‘hendaknya kalian membuat patung di tempat dulu mereka bermajelis dan berilah nama sesuai dengan nama-nama mereka’, kemudian kaum tersebut mengerjakan bisikan syaitan itu. Pada awalnya patung-patung itu tidak disembah, namun lama-kelamaan ketika kaum pembuat patung tadi meninggal dan ilmu (syariat) dilupakan, patung-patung itu disembah “( Diriwayatkan oleh Imam alBukhari dalam Shahihnya dalam Kitab atTafsir bab surat Nuh)
         Allah Subhaanahu Wa Ta’ala memerintahkan hambaNya untuk memohon dan berdoa secara langsung padaNya tanpa perantara 29. Sebagaimana firmanNya :
وَأَنَّ اْلمَسَاجِدَ ِللهِ فَلاَ تَدْعُوا مَعَ اللهِ أَحَدًا
“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah (hanya) milik Allah, maka janganlah kalian berdoa kepada Allah (dengan menyertakan) suatu apapun bersamaNya “)Q.S AlJin : 18)

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيْبٌ أُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِي إِذَا دَعَانِ
“ Dan jika hamba-hambaKu bertanya tentang Aku, maka katakanlah bahwa sesungguhnya Aku dekat. Aku akan kabulkan doa orang yang berdoa “ (Q.S AlBaqoroh : 186)
         Dalam ayat ini kita juga menyatakan bahwa hanya kepada Allah kita meminta pertolongan, dalam ucapan : وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ. Meminta tolong hanya kepada Allah juga sesuai dengan Hadits Nabi ketika beliau memberi nasehat kepada Sahabat Ibnu Abbas yang masih kecil, dalam sabda beliau :

إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَِل اللهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ
“ … Jika engkau meminta maka mintalah kepada Allah, dan jika engkau minta tolong, minta tolonglah hanya kepada Allah “(H.R Ahmad, AlHakim, Ibnu Hibban, atTirmidzi, dan beliau menyatakan bahwa hadits tersebut hasan shoih)
Dijelaskan oleh para Ulama’ bahwa hanya kepada Allahlah kita minta tolong untuk hal-hal yang memang hanya Allah yang bisa melakukannya seperti : rizqi, kesembuhan, jodoh, keselamatan, dan yang semisalnya. Meminta kepada selain Allah hal-hal yang hanya Allah saja yang mampu melakukannya adalah termasuk kesyirikan.
Adapun meminta tolong kepada seseorang yang mampu untuk melakukannya sebagai bentuk taawun (tolong menolong) adalah termasuk hal yang diperbolehkan, karena Allah memerintahkan :

...وَتَعَاوَنُوا عَلَى اْلبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ وَاْلعُدْوَانِ... (المائدة : 2)
“ Dan tolong menolonglah kalian dalam kebajikan dan ketaqwaan, janganlah kalian tolong menolong dalam dosa dan permusuhan “ (Q.S AlMaidah : 2)
Dalam hadits juga disebutkan :
وَأَنْ تُعِيْنَ الرَّجُلَ عَلَى دَابَّتِهِ وَتَحْمِلهُ عَلَيْهَا صَدَقَةٌ       
“ Dan engkau membantu seseorang untuk naik ke atas kendaraannya dan membawakan barang baginya adalah termasuk shodaqoh “ (H.R Ibnu Khuzaimah dalam Shohihnya)
Namun, meskipun kita meminta tolong kepada manusia untuk memenuhi sebagian kebutuhan kita, yang harus kita tanamkan dalam hati kita tetaplah keyakinan yang kuat bahwa pada hakikatnya Allahlah yang menolong kita dan menjadikan kita mendapatkan manfaat, sedangkan manusia tersebut hanyalah sebagai sebab (yang diijinkan) saja. Kita sandarkan hati kita sepenuhnya kepada Allah, dan kita bertawakkal semata kepada Allah. Tawakkal adalah ibadah hati dan merupakan syarat keimanan. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman :
 وَعَلَى اللهِ فَتَوَكَّلُوْا إِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ (المائدة : 23)
“ Dan hendaknya hanya kepada Allah sajalah kalian bertawakkal jika kalian benar-benar beriman “(AlMaaidah : 23)
AsySyaikh Abdurrahman bin Nashir AsSa’di menjelaskan dalam tafsirnya : “(ayat ini) menunjukkan wajibnya tawakkal, dan kadar tawakkal tersebut tergantung kadar keimanan seorang hamba
          AsySyaikh al-Utsaimin menjelaskan dalam kitab Al-Qoulul Mufiid : “ ayat ini menunjukkan bahwa hilangnya kesempurnaan iman adalah dengan hilangnya tawakkal kepada Allah, bahkan jika penyandaran diri sepenuhnya (secara mutlak) kepada selain Allah bisa tergolong syirik akbar yang menghilangkan keimanan secara keseluruhan” 
Beliau menjelaskan definisi tawakkal: “Tawakkal adalah bersandar kepada Allah Subhaanahu waTa’ala dalam upaya mencapai sesuatu yang diinginkan dan mencegah dari sesuatu yang tidak disenangi (ditakuti), diikuti perasaan percaya (yakin) secara penuh (kepada Allah) dengan mengerjakan sebab-sebab yang diijinkan
Mengerjakan sebab-sebab yang diijinkan untuk mencapai suatu tujuan adalah merupakan tuntunan Rasulullah. Tidaklah dikatakan bertawakkal seseorang yang menyandarkan diri sepenuhnya kepada Allah untuk mencapai sesuatu namun dia tidak melakukan sebab-sebab yang diijinkan. Rasulullah senantiasa membawa bekal ketika bepergian, dan disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah bahwa beliau ketika keluar untuk perang Uhud menggunakan 2 baju besi. Ketika beliau pergi berhijrah, beliau mengupah seseorang sebagai penunjuk jalan, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam AlBukhari dalam shahihnya. Semua beliau lakukan dengan melakukan sebab-sebab yang diijinkan oleh Allah, dengan menyandarkan sepenuhnya keberhasilan itu pada Allah.
Allah dengan HikmahNya telah menjadikan segala sesuatu terjadi dengan sebab-sebab. Sebab-sebab yang bisa menghantarkan pada sesuatu dan diijinkan oleh Allah terkelompokkan menjadi 2 hal, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama’ :

1. Penyebab secara qodari.
          Penyebab yang diketahui secara ilmiah dengan percobaan-percobaan yang valid sebelumnya bahwa hal itu memang bisa menjadi penyebab terjadinya sesuatu. Contoh : obat-obatan medis secara kimiawi dengan dosis tertentu dan aturan penggunaan tertentu bisa menjadi sebab kesembuhan pada penyakit-penyakit tertentu, demikian juga kacamata minus bagi penderita rabun jauh, dan sebab-sebab yang lain. Secara sederhana, makan bisa menyebabkan kenyang, tidur bisa menghilangkan kantuk, dan semisalnya.

2. Penyebab secara syar’i.
          Penyebab yang dalam aturan syariat (AlQuran dan AlHadits yang shohih) memang bisa menjadikan tercapainya sesuatu. Misalkan, membaca AlFatihah bisa menjadi sebab tercapainya kesembuhan bagi penderita sakit, karena memang disebutkan demikian keutamaannya dalam hadits yang shohih. Demikian juga dengan meminum air zam-zam, madu, habbatus saudaa’ (jinten hitam), dan semisalnya.
          Para Ulama’ menjelaskan bahwa menjadikan sesuatu sebagai sebab, padahal Allah tidak menjadikan hal itu sebagai sebab, baik syar’i ataupun qodarii, maka dia telah menjadikan sesuatu itu sebagai sekutu bagi Allah (berbuat syirik). Sebagaimana orang-orang musyrikin yang telah menjadikan berhala-berhala yang mereka sembah sebagai sebab/perantara untuk mendekatkan diri mereka pada Allah, padahal Allah tidak menjadikan sesuatu makhlukpun sebagai sebab syar’i ataupun sebab qodarii untuk dijadikan perantara tercapainya doa/ ibadah hambaNya. Firman Allah tentang hal itu dalam surat AzZumar ayat 3 telah disebutkan dalam penjelasan terdahulu.
          Demikian juga seseorang yang memakai jimat untuk tujuan keselamatan, kemudahan rezeki, kesembuhan, dan sebagainya biasanya mereka beralasan bahwa mereka tetap berkeyakinan bahwa Allahlah saja yang menentukan tercapainya tujuan itu semua, mereka hanya meyakini bahwa jimat dan yang semisalnya hanyalah sebagai sebab saja. Sehingga mereka beranggapan bahwa mereka tidak berbuat syirik. Padahal sesungguhnya keyakinan bahwa jimat tersebut adalah sebagai sebab, padahal Allah tidak menjadikan itu sebagai sebab syar’i maupun qodarii adalah termasuk perbuatan syirik, bahkan secara tegas Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
 مَنْ تَعَلَّقَ تَمِيْمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ (رواه أحمد و صححه الألباني )
“ Barangsiapa yang menggantungkan tamiimah, maka dia telah berbuat syirik “ (H.R Ahmad dan dishahihkan oleh Syaikh AlAlbani dalam Shahiihul Jaami’)
          Makna tamiimah dijelaskan oleh para Ulama’ di antaranya Abut Thoyyib dalam kitab Aunul Ma’bud : sesuatu yang digantungkan pada anak kecil dengan tujuan untuk menghindari penyakit akibat ‘ain (akibat pandangan mata hasad,pen.)
          Dalam hadits yang lain disebutkan :
عَنْ عَبْدِ اللهِ ابْنِ عُكَيْم مَرْفُوْعًا : مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُ كِلَ إِلَيْهِ
“ Dari Abdillah bin ‘Ukaim secara marfu’ (dari Rasulullah) : ‘Barangsiapa yang menggantungkan sesuatu (jimat dan semisalnya), maka akan diserahkan kepada sesuatu itu ‘ (H.R Ahmad dan AtTirmidzi dihasankan oleh Syaikh al-Albaany)
Dijelaskan oleh para Ulama’, makna : ‘akan diserahkan kepada sesuatu itu ‘ artinya Allah tidak menolongnya dan membiarkannya.

Ø    اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيِْم
اِهْدِنَا = tunjukilah kami
الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيِْم = jalan yang lurus
         Dalam ayat ini kita memohon hidayah (petunjuk) kepada Allah. Dijelaskan oleh para Ulama’ bahwa hidayah terbagi menjadi dua  :

a.    Hidayah yang berarti penjelasan / keterangan.
Pemberian hidayah (petunjuk) ini bisa dilakukan oleh manusia siapa saja, terlebih Rasululullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam yang disebut oleh Allah :
وَإِنَّكَ لَتَهْدِيْ إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ (الشورى :52)
“ Dan sesungguhnya engkau (wahai Muhammad) adalah benar-benar pemberi petunjuk menuju jalan yang lurus “(Q.S AsySyuura :52).
Syaikh Abdurrahman bin Nashir AsSa’di menjelaskan : “engkau menjelaskan kepada manusia, menerangi jalan tersebut, menganjurkan manusia untuk mengikuti jalan itu, mencegah dari jalan selainnya, dan memberikan peringatan bagi manusia (untuk menghindari jalan selainnya)”.

b.   Hidayah yang berarti taufiq.
Hanya Allah saja yang mampu memberikan hidayah semacam ini pada hamba-hamba yang dikehendakiNya. Allahlah yang menggerakkan hati seorang hamba sehingga dia menerima kebenaran. Tidak ada seorangpun yang mampu memberikan hidayah semacam ini kepada  orang lain, bahkan termasuk Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam tidak mampu memberikan hidayah taufiq kepada paman beliau, Abu Thalib agar mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallaah sebelum ajal menjemputnya. Ketika paman beliau tersebut meninggal dalam keadaan kafir, Rasulullah sedih sehingga kemudian Allah turunkan ayat :
إِنَّكَ لاَ تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللهَ يَهْدِي مَنْ يَّشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِاْلمُهْتَدِيْنَ (القصص : 56)
“Sesungguhnya engkau tidak bisa memberi hidayah kepada orang yang engkau cintai (sekalipun) akan tetapi Allahlah yang memberi hidayah kepada orang-orang yang dikehendakinya. Dan Dia lebih tahu siapakah (yang berhak) mendapatkan petunjuk” (Q.S AlQoshos : 52)
Maka dalam doa yang terkandung pada ayat ini kita mengharapkan dua macam petunjuk itu dari Allah. Kita mengharapkan agar Ia memberikan penjelasan kepada kita bagaimanakah dan ke arah manakah jalan  yang lurus tersebut dengan dianugerahkannya ilmu syariat AlQuran dan Sunnah dengan pemahaman para Sahabat Nabi. Selain itu yang lebih penting lagi kita memohon kepada Allah taufiq  agar kita bisa mengamalkan ilmu yang telah kita miliki itu untuk berjalan di atas jalan yang lurus tersebut.

Dalam sebuah hadits disebutkan :

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ خَطَّ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا خَطًّا ثُمَّ قَالَ هَذَا سَبِيْلُ اللهِ ثُمَّ خَطَّ خُطُوْطًاعَنْ يَمِيْنِهِ وَخُطُوْطًا عَنْ يَسَارِهِ ثُمَّ قَالَ هَذِهِ سُبُلٌ عَلَى كُلِّ سَبِيٍْل مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُو إِلَيْهَا ثُمَّ قَرَأَ هَذِهِ اْلآيَةَ : وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهِ (الأنعام:153)
“ Dari Sahabat Abdullah bin Mas’ud : Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam pernah menggambar garis untuk kami pada suatu hari kemudian berkata : ‘Ini adalah jalan Allah’. Kemudian beliau membuat garis-garis di sebelah kanan dan sebelah kiri garis tadi kemudian bersabda :’ Ini adalah jalan-jalan, yang pada setiap jalan tersebut ada syaitan yang menyeru/ mengajak kepada jalan itu, kemudian beliau membaca ayat :

 وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهِ (الأنعام:153)
Dan ini sesungguhnya adalah jalanKu yang lurus maka ikutilah ia, janganlah mengikuti jalan-jalan(yang lain), karena kalian akan berpecah belah dari jalanNya “ (Q.S AlAn’aam : 153)(H.R AtTirmidzi, Ibnu Majah, AlHakim, Ibnu Hibban,AtTirmidzi, dan beliau mengatakan bahwa hadits ini shohih)
Ø    صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِم
صِرَاطَ الَّذِيْنَ = (yaitu) jalannya orang-orang yang  
أَنْعَمْتَ عَلَيْهِم = Engkau beri nikmat kepada mereka  
        Dalam bacaan ini kita memohon ditunjukkan ke jalan orang-orang yang Allah beri nikmat. Siapakah orang-orang yang Allah beri nikmat tersebut ? Imam AlQurthuby menjelaskan bahwa jumhur mufassirin berpendapat bahwa ayat ini ditafsirkan dengan ayat yang lain :

وَمَنْ يُّطِعِ اللهَ وَالرَّسُوْلَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِيْنَ أَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِمْ مِّنَ النَّبِيِّيْنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيْقًا (النساء :69)
“ Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul, maka mereka ini akan (dikumpulkan) bersama orang-orang yang Allah beri nikmat dari kalangan para Nabi, AsShiddiiqiin, Asysyuhada’, dan Asshoolihiin. Mereka ini adalah sebaik-baiknya teman kembali “ (Q.S AnNisaa’:69)
Sehingga, orang-orang yang Allah beri nikmat yang kita  seharusnya menginginkan mengikuti jalan mereka adalah :
1.   Para Nabi, yang Allah mulyakan mereka dengan wahyu.
2.   Para Shiddiiqiin (orang-orang yang jujur dan membenarkan risalah Nabi).
Imam AsSuyuuthi menjelaskan bahwa yang dimaksud AsShiddiiqiin adalah para Sahabat Nabi yang mereka menunjukkan ketinggian sifat shidq (kejujuran) dan tashdiiq (membenarkan ajaran Nabi berdasarkan wahyu dari Allah). Penjelasan ini terdapat dalam tafsir Jalalain. Mereka jujur dalam keimanan, tidaklah lisan dan amalan mereka menyelisihi apa yang ada dalam hati, tidak sama dengan keadaan orang-orang munafiq. Mereka  terdepan dalam membenarkan khabar dari Rasulullah Shollallaahu ‘alahi wasallam. Mereka adalah murid langsung Rasul yang senantiasa dalam bimbingan beliau. Jika mereka menghadapi suatu permasalahan dalam Dien, mereka bertanya pada Rasul, dan Rasul senantiasa membimbing mereka, meluruskan aqidah, amalan, ataupun ucapan yang salah.  Merekalah yang Allah pilih untuk mendampingi RasulNya, membela dan berjuang bersama beliau. Para Sahabat Nabi dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka , adalah orang-orang yang ridla kepada Allah, dan Allahpun ridla kepada mereka sebagaimana dalam firmanNya :

وَالسَّابِقُوْنَ اْلأَوَّلُوْنَ مِنَ اْلمُهَاجِرِيْنَ وَاْلأَنْصَارِ وَالَّذِيْنَ اتَّبَعُوْهُمْ بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِيْ تَحْتَهَااْلأَنْهَارُ خَالِدِيْنَ فِيْهَا أَبَدًا ذلِكَ اْلفَوْزُ اْلعَظِيْم (التوبة : 100)
“ Dan orang-orang yang terdahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshor, dan orang – orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridla kepada mereka dan merekapun ridla kepada Allah.Dan Allah sediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai –sungai, mereka kekal di dalamnya. Yang demikian itu adalah keberuntungan yang besar “ (Q.S AtTaubah : 100)

Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

لاَ تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْا أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيْفَهُ (رواه البخاري و مسلم )
“ Janganlah kalian mencela Sahabatku, kalau seandainya salah seorang dari kalian berinfaq sebesar bukit Uhud emas tidak akan bisa menyamai (pahala) satu mud ( 2 genggam tangan) infaq mereka, (bahkan) tidak pula setengahnya “(H.R AlBukhari-Muslim)
Di antara para Sahabat Nabi tersebut banyak yang mengikuti peristiwa Bai’atur Ridlwaan, padahal Allah telah menyatakan keridlaanNya atas orang-orang yang mengikuti Baiat tersebut. Allah berfirman :

لَقَدْ رَضِيَ اللهُ عَنِ اْلمُؤْمِنِيْنَ إِذْ يُبَايِعُوْنَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ ...(الفتح : 18)
“ Sungguh Allah telah ridla kepada kaum mukmin yang membaiat engkau di bawah sebuah pohon “(Q.S AlFath : 18)
Dalam sebuah riwayat dari Sahabat Jabir yang disebutkan dalam Shahihain (Shohih AlBukhari dan Muslim) bahwa jumlah Sahabat yang berbaiat pada waktu itu adalah 1500-an orang.
Para Sahabat Nabi banyak pula yang mengikuti perang Badr, jumlahnya sekitar 300-an orang. Orang-orang yang mengikuti perang Badr ini mendapatkan keutamaan diampuni dosa-dosanya oleh Allah. Dalam sebuah hadits disebutkan   bahwa Rasulullah bersabda kepada Umar bin Khottob :

وَمَا يُدْرِيْكَ لَعَلَّ الله أَنْ يَكُوْنَ قَدْ يَتَحَقَّق عَلَى أَهْلِ بَدْرٍ فَقَالَ اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ  (رواه البخاري و مسلم)
“ Tidakkah engkau tahu bahwa Allah telah menegaskan pada Ahlu Badr (kaum mukminin yang ikut perang Badr) dan berfirman : “ Berbuatlah sekehendak kalian karena sungguh kalian telah diampuni “ (H.R AlBukhari-Muslim)
Perintah mengikuti jalan yang dilalui Rasul dan para Sahabatnya sebagai satu-satunya jalan keselamatan dalam Dien dipertegas dengan hadits :

إِنَّ بَنِي إِسْرَائِيْلَ افْتَرَقُوْا عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً فَقِيْلَ لَهُ مَا اْلوَاحِدَة قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ اْليَوْمَ وَأَصْحَابِي
“ Sesungguhnya Bani Israil terpecah menjadi 71 golongan dan akan terpecah umatku menjadi 73 golongan seluruhnya di neraka kecuali satu. Ketika ditanyakan : Siapakah satu golongan yang selamat itu ?Rasulullah Shollallaahu ‘alahi wasallam bersabda : (golongan yang berjalan di atas jalan) aku dan para Sahabatku saat ini (H.R AtTirmidzi dan AlHakim, Imam AlLaalikaai menyatakan bahwa hadits ini tsabit (bisa digunakan sebagai hujjah), Imam AlMubarakfury menyatakan bahwa AtTirmidzi menghasankannya karena memiliki beberapa penguat)
Dalam hadits yang lain disebutkan :
خَيْرُالنَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ (رواه البخاري و مسلم)
“Sebaik-baik manusia adalah pada masa kurunku (generasiku), kemudian yang setelahnya, kemudian yang setelahnya “(H.R AlBukhari-Muslim)
Imam AlMubarakfury menjelaskan 30 : “ (Nabi menyatakan): ‘Sebaik-baiknya manusia adalah kurunku’ artinya : orang-orang yang mendapati aku masih hidup dan beriman denganku, yaitu para Sahabatku, ‘kemudian yang setelahnya’  artinya : yang mendekati mereka dalam urutan kurun (generasi) berikutnya atau yang mengikuti mereka dalam keimanan dan keyakinan yaitu para Tabi’in, dan (perkataan beliau selanjutnya) : ‘kemudian yang setelahnya’ adalah Atbaa’ut Taabi’iin. Makna hadits ini menunjukkan bahwa para Sahabat, Tabi’in, dan yang mengikut Tabi’in setelahnya, mereka ini adalah 3 kurun (generasi) yang paling utama… “   
(Selanjutnya beliau menukil perkataan Imam AsSuyuthi) : “ AsSuyuuthi berkata : ‘ yang benar dalam masalah ini suatu kurun tidaklah dibatasi dengan ukuran waktu tertentu. Kurun Rasulullah Shollallaahu ‘alahi wasallam adalah masa kehidupan para Sahabat Nabi yang rentang waktunya adalah sejak diutusnya beliau (Nabi Muhammad) sampai meninggalnya Sahabat yang terakhir 31 yaitu 120 tahun, sedangkan kurun Tabi’in antara 70-100 tahun, dan kurun Atbaa’ut Taabi’in  adalah kurang lebih 220-an tahun ”.
  Ketiga kurun tersebut (Sahabat Nabi, Taabi’iin, Atbaaut Taabi’iin)  disebut juga dengan Salafus Shoolih ( para pendahulu yang sholih).
Semakin jauh dari masa 3 generasi utama ini (Sahabat Nabi, Tabi’in, Atbaa’ut Tabiin) semakin berkuranglah ilmu, amal sholih, dan pemahaman Dien yang benar. Setiap zaman datang keadaannya lebih buruk dari keadaan sebelumnya. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits :

عَنِ الزُّبَيْر بْنِ عَدِي قَالَ أَتَيْنَا أَنَسَ بْنِ مَالِك فَشَكَوْنَا إِلَيْهِ مَا يَلْقَوْنَ مِنَ اْلحَجَّاج فَقَالَ اصْبِرُوا فَإِنَّهُ لاَ يَأْتِي عَلَيْكُمْ زَمَانٌ إِلاَّ وَالَّذِي بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ حَتَّى تَلْقَوا رَبَّكُمْ سَمِعْتُهُ مِنْ نَبِيِّكُمْ  صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (رواه البخاري)
“ Dari Zubair bin ‘Adi ia berkata : ‘Kami mendatangi Anas bin Malik kemudian kami mengadukan keadaan orang-orang dalam menghadapi (perlakuan) Hajjaj, kemudian Anas berkata : “Bersabarlah kalian, karena tidaklah datang pada kalian suatu zaman, kecuali yang setelahnya lebih buruk keadaannya, sampai kalian bertemu dengan Tuhan kalian. Saya mendengar hal ini dari Rasulullah Shollallaahu ‘alahi wasallam “ (H.R AlBukhari)
Dalam sebuah atsar, Sahabat Ibnu Mas’ud berkata :

لاَ يَأْتِيْ عَلَيْكُمْ يَوْمٌ اَِّلا وَهُوَ شَرٌّ مِنَ اْليَوْمِ الَّذِي كَانَ قَبْلَهُ حَتَّى تَقُوْمَ السَّاعَة لَسْتُ أَعَنَّي رُخَاء مِنَ اْلعَيْشِ يُصِيْبُهُ وَلاَ مَالاَ يُفِيْدُهُ وَلَكِنْ لاَ يَأْتِي عَلَيْكُمْ يَوْمٌ اِلاَّ وَهُوَ أَقَلُّ عِلْمًا مِنَ اْليَوْمِ الَّذِي مَضَى قَبْلَهُ فَإِذَا ذَهَبَ اْلعُلَمَاءُ اسْتَوَى النَّاس فَلاَ يَأْمُرُوْنَ بِاْلمَعْرُوْفِ وَلاَ يَنْهَوْنَ عَنِ اْلمُنْكَرِ فَعِنْدَ ذلِكَ يَهْلِكُوْنَ
“Tidaklah datang suatu hari kecuali keadaannya lebih buruk dari keadaan sebelumnya sampai hari kiamat. Bukan maksudku kemewahan hidup duniawi (yang berkurang) atau dalam hal manfaat (duniawai), tetapi tidaklah datang kepada kalian hari kecuali hari tersebut lebih sedikit ilmu (Dien) padanya dibandingkan sebelumnya. Ketika Ulama’ telah pergi, maka manusia menjadi sama keadaanya, mereka tidaklah menganjurkan kepada hal-hal yang ma’ruf ( amar ma’ruf) dan tidak pula mencegah dari hal-hal yang munkar (nahi munkar), maka pada saat itu mereka binasa “
Dalam atsar yang lain, Masruuq (seorang Taabi’in) 32 berkata:

لاَ يَأْتِيْ عَلَيْكُمْ زَمَانٌ اِلاَّ وَهُوَ أَشَرُّ مِمَّا كَانَ قَبْلَهُ اَمَّا أَنِّي لاَ أَعِنِّي أَمِيْرًا خَيْرًا مِنْ أَمِيْر وَلاَ عَامًا خَيْرًا مِنْ عَامٍ وَلَكِنْ عُلَمَاؤُكُمْ وَفُقَهَاؤُكُمْ يَذْهَبُوْنَ ثُمَّ لاَ تَجِدُوْنَ مِنْهُمْ خَلْفًا وَيَجِيْءُ قَوْمٌ يَفْتُوْنَ بِرَأْيِهِمْ
“Tidaklah akan datang kepada kalian suatu zaman kecuali keadaannya lebih buruk dari sebelumnya. Maksudku bukanlah pemimpin (pada waktu sebelumnya) lebih baik dari pemimpin (setelahnya) dan tidak pula suatu tahun lebih baik dari tahun (setelahnya), akan tetapi para Ulama’ dan para Fuqohaa’ meninggal kemudian tidaklah didapati pengganti, kemudian datang kaum yang berfatwa tanpa ilmu33
         Saudaraku kaum muslimin, semoga Allah memberikan hidayah kepada kita semua. Karena itulah merujuk pada pemahaman 3 generasi terbaik/ Salafus Sholih itu adalah suatu keharusan. Mungkin seluruh kaum muslimin sepakat bahwa kita harus kembali pada AlQuran dan AsSunnah, namun tidak semuanya yang mengajak pada memahami AlQuran dan AsSunnah itu dengan pemahaman Salafus Sholih, khususnya para Sahabat Nabi –ridlwaanullaahi ‘alahim ‘ajma’iin-. Ketika landasan hukumnya sudah benar, yaitu AlQuran dan AsSunnah tapi dalam hal memahami kedua sumber hukum tersebut tidak dengan kaidah yang seharusnya, tetapi malah dikembalikan kepada kebebasan berfikir (liberal) dan independensi penafsiran masing-masing individu, maka yang terjadi adalah penyimpangan-penyimpangan dalam hal aqidah, ibadah, dan segala hal yang berkaitan dengan Dienul Islam.
         Banyak orang yang merasa mampu untuk menafsirkan AlQuran dengan logika dan akal pikirnya semata, kemudian mereka menyatakan : ‘Kalau para Sahabat Nabi bisa menafsirkan AlQuran, mengapa kita tidak ?’. Subhaanallaah. Jelas  berbeda para Sahabat Nabi dengan orang-orang setelahnya.
          Berikut ini kami paparkan beberapa argumen yang menunjukkan bahwa para Sahabat Nabi tidak bisa disamakan dengan keadaan orang-orang yang setelahnya terutama dalam hal memahami dan menafsirkan Kalam Ilahi (AlQuran) :

a. Para Sahabat Nabi, dengan kebaikan akhlaq dan adab mereka, tidak berani menafsirkan AlQuran dengan akal pikiran / logika semata, karena memang ada larangan yang keras dari Rasulullaah Shollallaahu ‘alaihi wasallam :
مَنْ قَالَ فِي اْلقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (رواه الترمذي)
     “Barangsiapa yang berbicara tentang (ayat) AlQuran dengan ra’yu (akal pikiran/logika)nya, maka hendaknya persiapkanlah tempat duduknya di neraka “(H.R atTirmidzi dan beliau berkata bahwa hadits ini hasan)
     Abu Bakar AsShiddiq –radliyallaahu ‘anhu-pernah berkata : 

أَيُّ أَرْضٍ تُقِلُّنِي وَأَيُّ سَمَاءٍ تُظِلُّنِي إِذَا قُلْتُ فِي كِتَابِ اللهِ بِمَا لاَ أَعْلَمُ
   “ Bumi mana yang bisa melindungiku, dan langit mana yang bisa menaungiku, jika aku berkata tentang Kitabullah tanpa ilmu ?” 34 Sehingga penafsiran dari para Sahabat itu adalah penjelasan yang mereka dapatkan langsung dari Rasul atau dari penjelasan Sahabat yang lain, bukan karena akal pikiran mereka semata.

b.   Di antara para Sahabat Nabi tersebut ada yang memang didoakan oleh Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam secara khusus agar Allah menganugerahkan ilmu tafsir kepadanya, seperti Ibnu Abbas yang didoakan Rasulullah :
اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيْلَ
“ Yaa Allah, jadikanlah ia faqih (paham) dalam ilmu Dien, dan ajarkan kepadanya tafsir (AlQuran) “(H.R AlHaakim dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya)

c.    Ayat-ayat AlQuran banyak yang turun berkaitan dengan keadaan seorang Sahabat.
         Seperti ayat ifk , tentang tuduhan bahwa ‘Aisyah –radliyallaahu ‘anha- telah melakukan perbuatan keji, maka Allah turunkan ayat surat AnNuur ayat 11-26 yang menjelaskan bahwa beliau suci dari segala tuduhan orang-orang munafiq tersebut.
          Demikian juga dengan surat Ataubah ayat 118 yang diturunkan Allah berkaitan dengan ampunan dosa bagi 3 orang Sahabat Nabi yang tidak ikut berperang dalam perang Tabuk tanpa udzur, kemudian mereka bertaubat.
          Surat Luqmaan ayat 15 turun berkaitan dengan Sa’ad bin Maalik yang sangat berbakti kepada  ibunya. Ketika ia masuk Islam, ibunya selalu berusaha mengajaknya keluar dari Islam, dan kemudian menyuruhnya memilih, apakah ia keluar dari Islam, ataukah Ibunya tidak akan makan dan minum. Saat ibunya sudah sangat lemah karena tidak makan dan minum, ia berkata : “ Wahai ibuku, kalau seandainya ibu memiliki 100 nyawa dan lepas satu persatu, aku tidak akan mau meninggalkan Islam, jika ibu mau makanlah, jika tidak silakan. Kemudian ibunya kembali makan karena dia merasa tidak bisa menggoyahkan keteguhan aqidah anaknya.
          Masih sangat banyak lagi ayat-ayat yang turun berkaitan dengan keadaan Sahabat Nabi. Ayat-ayat yang turun sebagai jawaban atas pertanyaan salah seorang Sahabat juga sangat banyak, di antaranya :
Ketika para Sahabat yang bertanya, “ Wahai Rasulullah, apakah Tuhan kita sangat dekat sehingga kita berbisik padaNya (dalam berdoa, pen) ataukah Ia jauh, sehingga kita harus berteriak ?”. Maka Allah turunkan ayat ke 186 dari surat AlBaqoroh :
“ Jika hambaKu bertanya tentang Aku, maka (katakan bahwa) Aku dekat …”(Q.S AlBaqoroh : 186)   

d.   Banyak di antara Sahabat yang mengetahui secara langsung sebab turunnya ayat, penjelasan tentang ayat itu, dsb, seperti Sahabat Ibnu Mas’ud, beliau berkata :

وَالَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ مَا نُزِلَتْ آيَةٌ مِنْ كِتَابِ اللهِ إِلاَّ وَأَنَا أَعْلَمُ فِيْمَنْ نُزِلَتْ وَأَيْنَ نُزِلَتْ وَلَوْ أَعْلَمُ مَكَانَ أَحَدٍ أَعْلَم بِكِتَابِ اللهِ مِنِّي تَنَالُهُ الْمَطَايَا َلأَتَيْتُهُ  
    “ Demi Yang tidak ada sesembahan yang haq kecuali Dia, tidaklah turun suatu ayat dari Kitabullah kecuali aku yang paling tahu kepada siapa diturunkan dan di mana diturunkan, kalau aku mendapati ada seseorang yang lebih tahu tantang aku (dalam hal itu) aku mendatanginya (untuk mengambil ilmu darinya) “(disebutkan dalam Muqoddimah Tafsir Ibnu Katsir)

e.    Para Sahabat Nabi telah mendapat jaminan keridlaan dari Allah sebagaimana dalam surat AtTaubah ayat 100 dan ayat-ayat yang lain, berbeda dengan orang-orang setelahnya yang tidak ada jaminan keridlaan Allah kepadanya, kecuali jika mereka mengikuti jalan para Sahabat Nabi dalam berIslam. Allah Subhaanahu Wa Ta’ala menjamin, jika kita beriman sebagaimana berimannya para Sahabat Nabi, maka pasti kita akan mendapatkan petunjuk. Sebagaimana dalam firmanNya :

فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا
   “ Jika mereka beriman seperti imannya kalian, pastilah mereka akan mendapatkan petunjuk … “(Q.S AlBaqoroh : 137)

f.     Rasulullah telah menjamin bahwa jalannya golongan yang selamat adalah karena mengikuti jalan Rasul dan para Sahabatnya, sesuai dengan hadits yang diriwayatkan AtTirmidzi tentang terpecahnya umat Nabi Muhammad menjadi 73 golongan seperti yang telah dikemukakan di atas.

g.    Kekeliruan para Sahabat dalam memahami suatu ayat Al-Quran tidak dibiarkan begitu saja oleh Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam. Ketika mereka keliru dalam memahami suatu ayat, Rasulullah akan meluruskan pemahamannya. Sebagai contoh, disebutkan dalam sebuah hadits dari Sahabat Ibnu Mas’ud :

لَمَّا نَزَلَتْ الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَلَمْ يَلْبِسُوْا إِيْمَانَهُمْ بِظُلْمٍ شَقَّ ذَلِكَ عَلَى أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقاَلُوْا أَيَّنَا لاَ يَظْلِمُ نَفْسَهُ فَقَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ هُوَ كَمَا تَظُنًّوْنَ  إِِنَّمَا هُوَ كَمَا قَالَ لُقْمَانُ لاِبْنِهِ يَِا بُنَيَّّ لاَ تُشْرِكْ باِللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ
“Ketika turun ayat al-Quran : ‘ Orang-orang yang beriman yang tidak mencampuri imannya dengan kedzaliman (mereka itu adalah yang mendapatkan keamanan dan mendapatkan hidayah)’[Q.S Al-An-‘aam : 82) , para Sahabat Nabi resah dan berkata : ‘Siapa diantara kita yang tidak pernah  mendzalimi dirinya sendiri’. Maka kemudian Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :” (Makna ayat tersebut) tidaklah seperti yang kalian persangkakan itu, sesungguhnya maknanya adalah sebagaimana yang dikatakan Luqman kepada anaknya :” Wahai anakku, janganlah engkau mensekutukan Allah, karena sesungguhnya kesyirikan adalah kedzaliman yang terbesar”[Q.S Luqman :13] (H.R Muslim)
         Para Ulama’ menjelaskan makna hadits tersebut. Ketika turun al-Quran surat al-An-aam : 82, para Sahabat Nabi resah. Ayat tersebut menyatakan bahwa orang beriman yang tidak mencampuri keimanannya dengan kedzaliman akan mendapatkan keamanan dan hidayah. Para Sahabat menyangka kedzaliman yang dimaksud ayat ini adalah perbuatan dosa apapun, baik kecil maupun besar. Mereka mengira akan sulit mencapai keadaan yang disebutkan dalam ayat itu karena tidak ada yang bisa selamat dari kedzaliman, yaitu dosa. Namun kemudian Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ‘kedzaliman’ pada ayat tersebut adalah kesyirikan.
         Contoh yang lain, yang menunjukkan bahwa kekeliruan pemahaman para Sahabat diluruskan oleh Rasulullah adalah sebagaimana disebutkan dalam hadits :

عَنْ عَدِي بْنِ حَاتِمٍ قَالَ لَمَّا نَزَلَتْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ قاَلَ لَهُ عَدِي يَارَسُوْلَ اللَّهِ إِنِّي أَجْعَلُ تَحْتَ وِسَادَتِيْ عِقَالَيْنِ عِقَالاً أَبْيَضُ وَعِقَالاً أَسْوَدُ أَعْرِفُ بِهِمَا اللَّيْلَ مِنَ النَّهَارِِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ وِسَادَكَ لَعَرِيْض إِنَّمَا هُوَ سَوَادُ اللَّيْلِ وَ بَيَاضُ النَّهَارِِ
“ Dari Sahabat Adi bin Hatim beliau berkata :“Ketika turun ayat Alqur’an :  ( yang artinya ): …” (teruslah makan dan minum) sampai nampak dengan jelas bagi kalian benang putih atas benang hitam dari fajar”, Adi bin Hatim bertanya kepada Rasulullah : ‘Wahai Rasulullah sesungguhnya saya telah membuat 2 ikat (benang) di bawah bantalku : satu ikat berwarna putih dan satu ikat berwarna hitam sehingga dengan itu aku bisa membedakan malam dengan siang’. Maka Rasulullah bersabda : “Kalau demikian, nantinya tidurmu akan sangat panjang. Sesungguhnya yang dimaksud adalah hitamnya malam dan putihnya siang (H.R Muslim)  
         Dari penjelasan ini, nampaklah bahwa tidaklah cukup kita mengatakan : ‘kembali kepada AlQuran dan AsSunnah’ saja, namun yang lebih tepat : ‘kembali kepada AlQuran dan AsSunnah dengan pemahaman SalafusSholih, terutama para Sahabat Nabi’. Para Sahabat Nabi adalah para Shiddiiqiin yang utama dan terdepan, yang kita ingin mengikuti jalan mereka, dan mereka termasuk orang-orang yang Allah beri nikmat.

3.   AsySyuhadaa’.
Ibnu Jarir AtThobari menjelaskan dalam tafsirnya : “ AsySyuhadaa’ adalah bentuk jama’ dari syahiid yaitu orang-orang yang terbunuh di jalan Allah. Dinamakan demikian karena mereka mempersaksikan al-haq (kebenaran) di sisi Allah sampai mereka terbunuh.

4.   Shoolihiin (orang-orang Sholih)  
Ibnu Jarir AtThobari menjelaskan dalam tafsirnya : “ Asshoolihiin adalah bentuk jama’ dari Shoolih (baik) yaitu semua orang yang baik keadaan lahir dan batinnya
AsySyaikh Muhammad Ibn Sholih al-Utsaimin menjelaskan bahwa AshShoolihiin adalah setiap orang yang benar-benar memenuhi hak Allah dan hak hamba Allah (memperbaiki hubungan dengan Allah dan dengan hamba Allah yang lain). Para Nabi, Shiddiiqiin, dan  Syuhaadaa’ adalah termasuk AsShoolihin (bahkan pada tingkatan yang tinggi), namun disebutkan secara khusus kelompok AsSholihiin setelah ketiga kelompok tersebut, untuk memasukkan orang-orang yang tidak masuk dalam ketiga kategori tersebut dan tingkatannya di bawah mereka 35
         Maka keempat jenis inilah (para Nabi, Shiddiiqiin, Syuhaadaa’, dan Shoolihiin) yang kita senantiasa berdoa supaya Allah tunjukkan ke jalan yang telah mereka lalui sehingga Allah beri nikmat kepada mereka. Bukannya jalan orang-orang yang Allah sebut dalam lafadz selanjutnya :
Ø      غَيْرِ الْمَغْضُْوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّيْنَ 
 غَيْرِ =  bukannya (jalan)  
الْمَغْضُْوبِ عَلَيْهِمْ =  orang-orang yang dimurkai
 وَلاَ الضَّالِّيْنَ   = tidak pula (jalan) orang-orang yang sesat
         Dalam hadits disebutkan :
إِنَّ اْلمَغْضُوْبَ عَلَيْهِمُ اْليَهُوْدُ وَإِنَّ الضَّالِّيْنَ النَّصَارَى
“ Sesungguhnya (orang-orang yang ) dimurkai adalah Yahudi dan sesungguhnya orang-orang yang sesat adalah Nashrani “ (Hadits Shohih disebutkan oleh AsySyaikh AlAlbaani dalam Shohiihul Jaami’)
Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya : “…sesungguhnya jalan yang ditempuh oleh orang yang beriman adalah mengandung ilmu tentang al-Haq dan amal (berilmu tentang syariat kemudian mengamalkan ilmu tersebut,pen) sedangkan Yahudi tidak melakukan amal, dan Nashrani tidak berilmu. Karena itu kemurkaan (Allah) untuk orang-orang Yahudi dan kesesatan untuk orang-orang Nashrani. Karena barangsiapa yang berilmu tapi tidak mengamalkan ilmunya berhak mendapatkan kemurkaan, berbeda dengan orang yang tidak berilmu. Sedangkan Nashrani berupaya untuk mencapai sesuatu tetapi mereka tidak mendapatkan petunjuk menuju jalan itu karena mereka tidak mendatangi sesuatu pada pintunya, yaitu mengikuti al-Haq,  sehingga mereka sesat. Baik Yahudi maupun Nashrani sebenarnya mereka adalah (sama-sama) sesat dan mendapatkan kemurkaan, namun keadaan dimurkai lebih khusus bagi Yahudi, seperti dalam firman Allah:
مَنْ لَعَنَهُ اللهُ وَغَضِبَ عَلَيْهِ  
“(yaitu) orang yang Allah laknat dan Allah murka padanya “
Sedangkan orang –orang Nashrani memiliki kekhususan dalam hal kesesatan, sebagaimana firman Allah :
قَدْ ضَلُّوا مِنْ قَبْلُ وَأَضَلُّوا كَثِيْرًا وَّضَلُّوْا عَنْ سَوَاءِ السَّبِيْلِ
“ mereka telah sesat sebelumnya dan mereka menyesatkan banyak orang dan mereka sesat dari jalan yang lurus “
          Maka kita berdoa kepada Allah dengan mengucapkan lafadz ini agar tidak menjadi kedua golongan itu : dimurkai dan sesat. Para Ulama’ menjelaskan bahwa siapapun dari umat ini yang berilmu Dien tapi tidak mengamalkan ilmunya, berarti telah menyerupai orang-orang Yahudi yang dimurkai, sebaliknya yang tidak berilmu, sehingga ia beramal tanpa ilmu, maka mereka menyerupai orang-orang  Nashrani. Semoga Allah menjadikan kita berilmu dengan syariat-syariatNya yang tertuang dalam AlQuran dan AsSunnah dengan pemahaman para Sahabat Nabi, kemudian Allah berikan taufiq kepada kita semua untuk beramal dengan ilmu itu secara ikhlas karena Allah semata.

CATATAN KAKI :

25. Lihat Syarhun Nawaawi ‘ala Shohih Muslim karya Imam AnNawaawi juz 4 hal 104 cetakan Daaru Ihyaa’it Turoots al-‘Aroby Beirut

26. Syarh al-Aqiidah al-Waasithiyyah karya Syaikh Muhammad Ibn Sholih al-Utsaimin juz 1 hal 38 cetakan Daaru Ibnil Jauzi

27. Ibid, juz 1 hal 252

28. Silakan disimak Fathul Baari karya Ibnu Hajar al-Asqolani juz 11 hal 297 cetakan Daarul Ma’rifah 
Beirut tahun 1379 H

29. Jika kemudian ada pertanyaan : ‘Bagaimanakah dengan tawassul(menggunakan wasilah/perantara untuk berdoa kepada Allah). Bukankah hal itu disyariatkan ?’
Maka jawabannya adalah : Benar, tawassul memang disyariatkan sesuai dengan firman Allah :

يَأيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ اْلوَسِيْلَةَ (المائدة : 35)
“ Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kalian kepada Allah dan carilah wasilah (yang bisa mendekatkan diri kalian kepadaNya) (Q.S AlMaaidah : 35)

أُولَئِكَ الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ يَبْتَغُوْنَ إِلَى رَبِّهِمُ اْلوَسِيْلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ

Makhluk-makhluk yang mereka ibadahi (Nabi, orang sholih, para Malaikat) (berlomba-lomba)  mencari wasilah manakah di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah)” (Q.S Al-Israa’: 57)
Namun, wasilah tersebut haruslah wasilah yang ditentukan syariat bahwa itu memang bisa digunakan sebagai wasilah. AsySyaikh Muhammad Ibn Sholih al-Utsaimin menjelaskan (kami nukil dan kutipkan secara ringkas) bahwa tawassul yang disyariatkan (untuk mempermudah doa dikabulkan/ lebih mendekatkan diri kepada Allah ) ada 6 : 
          1) Berdoa dengan didahului/ dibarengi penyebutan Nama-Nama Allah yang Mulia. Sesuai dengan   
           firman Allah :
 وَِللهِ اْلأَسْمَاءُ اْلحُسْنَى فَادْعُوْهُ بِهَا ( الأعراف : 180)
Dan Allah memiliki Nama-Nama Yang Baik, berdoalah dengan (menyebut Nama-Nama itu) “(Q.S AlA’roof : 180) 

2) Bertawassul kepada Allah dengan sifat-sifatNya. Misalnya, berdoa dengan menyebutkan sifat Allah Yang Maha Mengetahui dan Maha Kuasa, sebagaimana doa yang diajarkan Rasulullah :
اللَّهُمَّ بِعِلْمِكَ اْلغَيْبَ وَقُدْرَتِكَ عَلَى اْلخَلْقِ أَحْيِنِي مَا عَلِمْتَ الْحَيَاةَ خَيْرًا لِي وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتِ اْلوَفَاةَ خَيْرًا لِي
            Yaa Allah dengan Ilmu-Mu terhadap hal-hal yang ghaib dan KekuasaanMu dalam mencipta, Hidupkanlah aku jika Engkau tahu hidup lebih baik bagiku dan matikanlah aku jika Engkau ketahui bahwa mati lebih baik bagiku “ (H.R AnNasaa’i, Ibnu Hibban dalam Shahihnya) 
          3) Bertawassul kepada Allah dengan keimanan kepadaNya dan RasulNya, sebagaimana doa yang disebutkan dalam AlQuran surat Ali Imran ayat  193 :
رَبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُّنَادِي لِْلإِيْمَانِ أَنْ آمِنُوا بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوْبَنَا وَ كَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَ تَوَفَّنَا مَعَ اْلأَبْرَارِ ( ال عمران : 193)
      “ Wahai Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mendengar seruan penyeru kepada keimanan : ‘Hendaklah kalian beriman kepada Tuhan kalian’, kemudian kami beriman. Wahai Tuhan kami ampuni dosa-dosa kami dan hapuskanlah kesalahan-kesalahan kami dan wafatkan kami (untuk dikumpulkan) bersama orang-orang yang berbakti (taat kepadaMu) “ (Q.S Ali Imran : 193) 
   4) Bertawassul kepada Allah dengan amal sholih. Dalam berdoa, seseorang menyebutkan terlebih dahulu amal sholih yang pernah dilakukan dan dilakukan ikhlas untuk Allah, kemudian memohon kepada Allah permintaannya. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits tentang 3 orang dari kalangan Bani Israil yang terjebak dalam gua. Kemudian masing-masing berdoa dengan menyebut amal sholih terdahulu yang telah pernah mereka lakukan. Orang pertama dari mereka menyebutkan amalan berbakti kepada kedua orang tua, orang kedua menyebutkan bahwa karena perasaan takutnya kepada Allah ia tinggalkan kemaksiatan yang sudah di depan mata, sedangkan orang terakhir berdoa dengan menyebutkan keadaan dirinya yang berusaha bersifat amanah dalam memberikan hak pekerjanya serta memaafkan. Setelah menyebutkan amal-amal sholih mereka masing-masing mereka berdoa : “Yaa Allah, jika hal itu aku lakukan semata-mata karenaMu, maka keluarkan kami dari masalah kami ini “. Akhirnya, dengan idzin Allah mereka bisa keluar dari gua tersebut. Hadits tersebut diriwayatkan oleh alBukhari dan Muslim dalam Shahihnya. 
     5) Bertawassul kepada Allah dengan menyebutkan keadaan dirinya dan demikian butuhnya ia atas pertolongan Allah. Sebagaimana doa Nabi Zakaria yang diabadikan Allah dalam AlQuran :
 قاَلَ رَبِّ إِنِّي وَهَنَ اْلعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَّلَمْ أَكُنْ بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا (4) وَإِنِّي خِفْتُ اْلمَوَالِيَ مِنْ وَّرَائِيْ وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِرًا فَهَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا (5) يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ آلِ يَعْقُوْبَ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيًّا (6)   
               )Zakaria berkata) : Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah, dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepadaMu, wahai Tuhanku. Dan aku mengkhawatirkan pengganti sepeninggalku, sedangkan istriku mandul. Anugerahkan kepadaku wali, yang mewarisi dariku (kenabian) dan mewarisi dari keturunan Ya’qub, dan jadikan ia Wahai Tuhanku sebagai (manusia) yang diridlai “(Q.S Maryam : 4-6) 
          
           6) Bertawassul kepada Allah dengan memohon bantuan orang sholih yang masih hidup untuk berdoa kepada Allah. Sebagaimana hal ini banyak dilakukan para Sahabat Nabi ketika beliau masih hidup mereka meminta Rasulullah untuk mendoakan mereka. Seperti hadits dari Sahabat Anas bin Malik yang diriwayatkan oleh AlBukhari dalam Shahihnya ketika kekeringan melanda, pada hari Jumat ada seseorang yang meminta Rasulullah berdoa agar Allah turunkan hujan, dan kemudian Allah turunkan hujan. Setelah hujan berlangsung dalam seminggu, Jumat kemudian laki-laki itu datang untuk meminta Rasulullah berdoa agar Allah menghentikan hujan karena terlampau banyak, kemudian Rasulullah berdoa dan hujan menjadi reda.

Demikian pula yang dilakukan Sahabat Ukasyah bin Mihshan ketika Rasulullah menyebut bahwa di antara umatnya ada sekelompok orang yang masuk surga tanpa melewati tahapan hisab terlebih dahulu karena demikian tingginya sikap tawakkal kepada Allah, Ukasyah meminta Rasul untuk berdoa agar ia dimasukkan dalam golongan yang beruntung tersebut. Hadits ini disebutkan oleh AlBukhari dalam kitab AtThibb bab Man iktawaa aw kawaaghairohu… (5705).
Demikian juga yang dilakukan oleh Sahabat Umar bin Khottob yang meminta kepada Abbas, paman Nabi yang masih hidup pada saat itu, sedangkan Nabi sudah meninggal. Sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh AlBukhari dalam Shahihnya :

عَنْ أَنَس أَنَّ عُمَرَ بْنَ اْلخَطَّاب رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ إِذَا قَحَطُوا اسْتَسْقَى بِالْعَبَّاس بن عَبْدِ اْلمُطَلِّب فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِيْنَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا
            “ Dari Anas bin Malik : ‘Bahwasanya Umar bin alKhottob –radliyallaahu anhu- jika terjadi kekeringan panjang meminta Abbas bin Abdil Muthollib untuk berdoa istisqo’ (minta hujan), kemudian berkata : “ Yaa Allah sesungguhnya dulu kami bertawassul kepadaMu dengan Nabi kami, kemudian Engkau turunkan hujan kepada kami, sedangkan kami saat ini bertawassul kepadaMu dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan kepada kami “ (H.R AlBukhari dalam kitab Al-Istisqo’ bab Su-al anNaas alImaam al-Istisqoo’ idzaa qohathuu (1010))
                Demikianlah teladan yang terbaik dari Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam dan para Sahabat beliau. Ketika Rasulullah sudah meninggal, para Sahabat tidak bertawassul kepada beliau. Padahal kalau hal itu diperbolehkan, tentunya bertawassul kepada beliau walaupun beliau sudah meninggal adalah suatu hal yang utama untuk dilakukan. Namun, para Sahabat tidak melakukannya karena larangan Allah :
وَأَنَّ اْلمَسَاجِدَ ِللهِ فَلاَ تَدْعُوا مَعَ اللهِ أَحَدًا
“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah (hanya) milik Allah, maka janganlah kalian berdoa kepada Allah (dengan menyertakan) suatu apapun bersamaNya “)Q.S AlJin : 18)
Demikian juga kaum Nabi Nuh yang berbuat kesyirikan karena bertawassul dengan orang-orang sholih di antara mereka yang sudah meninggal (Wadd, Suwaa’, Yaghuts, dan Nasr), sebagaimana penjelasan Sahabat Nabi Ibnu Abbas ketika menafsirkan surat Nuh ayat 23).
Dan memang para Sahabat Nabi bersepakat dalam masalah ini, bahwa tidak boleh menjadikan orang-orang mati yang sudah meninggal sebagai perantara (wasilah) kepada Allah, karena hal itu termasuk bentuk kesyirikan. Tidak diketahui adanya perbedaan pendapat di antara mereka (para Sahabat Nabi) dalam masalah tersebut, demikian pula tidak ada perbedaan pendapat tentang hal itu dalam Imam-Imam Madzhab setelahnya.
                Adapun hadits yang menyebutkan perintah Nabi untuk bertawassul dengan jaah (kedudukan) Nabi :

تَوَسَّلُوا بِجَاهِي فَإِنَّ جَاهِي عِنْدَ اللهِ عَظِيُمٌ

“ Bertawassullah dengan jaah (kedudukanku) karena kedudukanku di sisi Allah adalah agung “
hadits ini dijelaskan oleh para Ulama’ Ahlul Hadits sebagai hadits yang palsu, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin AlAlbani.
                Maka jika bertawassul dengan Nabi Muhammad yang sudah meninggal saja dilarang, apalagi bertawassul dengan manusia lain yang sudah meninggal tentunya lebih terlarang lagi. Semoga Allah memberikan hidayah kepada kita semua dan seluruh kaum muslimin untuk memurnikan ibadah kepadaNya semata dan meninggalkan segala bentuk kesyirikan baik yang kita sadari maupun tidak kita sadari.

30. Lihat Tuhfatul Ahwadzi karya AlMubarakfury juz 6 hal 482 cetakan Daarul Kutubil ‘Ilmiyyah.

31. Sahabat adalah seseorang yang bertemu dengan Nabi dalam keadaan muslim dan mati dalam keadaan beriman. Jika pernah bertemu dengan Nabi dalam keadaan beriman kemudian murtad dan tidak kembali kepada Islam, maka bukanlah Sahabat Nabi, seperti : Qirroh bin alMaysaroh dan alAsy’ats bin Qoys. Jika sebelum mati kembali ke Islam (setelah sebelumnya murtad), maka termasuk dalam kelompok Sahabat Nabi, seperti Abdullah bin Abi Sarj. Seseorang yang bertemu/melihat Nabi walaupun pertemuan itu terjadi sebelum diutusnya Nabi, dan kemudian dia mati dalam keadaan hanafiyah (muslim) maka termasuk Sahabat Nabi seperti Zaid bin ‘Amr bin Nufail. Jika pertemuan itu terjadi pada saat dia masih sangat kecil (bayi), seperti bayi-bayi yang ditahnik(dikunyahkan kurma oleh Nabi kemudian dioleskan pada langit-langit mulut bayi, pen), maka bukan termasuk Sahabat. Namun, jika usianya lebih dari itu (balita), walaupun belum mencapai baligh, maka termasuk Sahabat Nabi, seperti alHasan, alHusein, dan Ibnu Zubair. ‘Bertemu’ dengan Nabi bisa berarti ‘melihat’ langsung, menemui beliau (walaupun tidak bisa melihat, seperti Ibnu Ummi Maktum yang buta,pen), atau mendengar ucapan beliau secara langsung (walaupun terhalangi dari melihat beliau)(Lihat Tadriibur Roowi karya Imam AsSuyuuthi juz 2 hal 209 cetakan Maktabatur Riyaadl alhadiitsah dan al-Istii’aab karya Yusuf bin Abdillah bin Muhammad bin Abdil Barr juz 1 hal 24 cetakan Daarul Jayl Beirut tahun 1412 H).     

32. Masruuq adalah seorang tabi’in yang mengambil ilmu dari : Abu Bakr AsShiddiq, Umar, Ubay bin Ka’ab, Ummu Ruumaan, Mu’adz bin Jabal, Khobaab, ‘Aisyah, Ibnu Mas’ud, Utsman, Ali, Abdullah bin ‘Amr, dan Ibnu Umar, dan beberapa Sahabat Nabi yang lain. AsySya’bi mengatakan : “Aku tidaklah mendapati di seluruh penjuru ufuk yang lebih bersemangat dalam menuntut ilmu dari Masruuq “ (Lihat Siyaar A’laamin Nubalaa’ karya Imam AdzDzahabi juz 4 hal 65 cetakan Mu’assasah arRisaalah Beirut)

33. Hadits Anas, atsar dari Ibnu Mas’ud dan Masruuq tersebut disebutkan oleh AlHafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Baari (lihat juz 13 hal 20-21 cetakan Daarul Ma’rifah Beirut).

34. Lihat Tafsir alQur’aanil ‘Adzhiim karya Ibnu Katsir juz 1 hal 6 dan Fathul Baari karya Ibnu Hajar juz 13 hal 271

35. Syarh al Aqiidah al Waasithiyyah karya Muhammad Ibn Sholih alUtsaimin jilid 1 hal 155-156 cetakan Daaru Ibnil Jauzi  tahun 1415 H.


(Abu Utsman Kharisman)

Referensi:
http://itishom.web.id

Tidak ada komentar:

Dipersilahkan mencari artikel blog ini