Simbol Kebangkitan Politik Pengusaha
Sebelum Orde Baru tumbang tahun 1998, nama Arifin Panigoro hanya  dikenal kalangan terbatas sebagai pengusaha di bidang perminyakan.  Lingkaran pergaulannya lebih banyak dengan Pertamina dan pengusaha  perminyakan internasional. Namun, ketika reformasi tengan “hamil tua”  yang ditandai dengan maraknya aksi demonstrasi mahasiswa, kesadaran  politik Arifin bangkit. Ia telah menjadi simbol kebangkitan politik  pengusaha.
Tidak hanya itu, ia turut serta secara aktif membantu pergerakan  mahasiswa, termasuk menyiapkan nasi bungkus untuk dikirim kepada  mahasiswa yang tengah menggelar aksi di Gedung DPR Senayan, Jakarta.
Alumni Elektro Institut Teknologi 
Sebelum tahun 1980-an, awalnya ia cuma sebagai  kontraktor instalasi listrik door to door. Selanjutnya memulai proyek  pemasangan pipa secara kecil-kecilan. Begitu ada proyek yang berdiameter  besar, hal itu bukan porsi pengusaha lokal, melainkan pengusaha asing.  Jadi, setiap Pertamina melakukan tender untuk pemasangan pipa besar,  maka perusahaan asing yang menang karena untuk pipeline butuh peralatan  berat. Peralatan itu umumnya hanya dimiliki oleh perusahaan asing.
Kondisi itu membuatnya berpikir, sebaiknya pengusaha lokal pun diberi  kesempatan atau dibantu untuk bisa menangani pemasangan pipa besar dan  tidak hanya diberi pekerjaan yang kecil-kecil. Tahun 1981 ia  memberanikan diri untuk mulai masuk proyek pipanisasi yang berdiameter  besar. Untuk pekerjaan itu, ia bekerja sama dengan perusahaan asing.  Deal-nya, bila satu proyek selesai, bagi hasilnya adalah peralatan itu.  Mitra setuju, proyek pun selesai. Sejak itu dengan alat tersebut ia  mencari proyek ke mana-mana.
Selain menggandeng mitra asing, dukungan dan proteksi dari pemerintah  amat diperlukan. Tidak mungkin pengusaha lokal yang baru berdiri dan  tidak memiliki pengalaman dapat tiba-tiba bersaing dengan perusahaan  asing yang berpengalaman di bidang perminyakan sela puluhan tahun.  Menggandeng mitra luar dan dukungan pemerintah itu merupakan cara  pengusaha lokal bisa membuka pintu ke bidang bisnis yang lebih luas.  Dengan begitu, persaingan dengan perusahaan asing bisa dilakukan.
Semuanya dimulai dari tahapan membiasakan pengusaha lokal mengerjakan  proyek besar. Contoh yang dialaminya dengan bendera usaha Medco tejadi  pada tahun 1979-1980 ketika terjadi oil boom, Sekretariat Negara  mengambil inisiatif untuk membangun kilang minyak karena ada tambahan  anggaran. Pada saat itu, pemerintah berkeinginan untuk menyelipkan unsur  pembinaan bagi pengusaha lokal, termasuk Medco. Saat itu, dalam  pembangunan Kilang Cilacap, Medco dikawinkan dengan satu perusahaan asal  Amerika Serikat. Akhirnya, Medco yang tidak tahu apa-apa tentang  pemasangan pipa, menjadi mengerti.
Demikian juga saat memulai usaha pengeboran minyak tahun 1981, juga  tak lepas dari bantuan pemerintah. Menurut Arifin, tahun itulah titik  awal Medco menjadi besar. Pada waktu itu, ia memiliki kedekatan dengan  Dirjen Migas Wiharso yang menginginkan ada pengusaha lokal dalam proyek  jasa pengeboran. Kebetulan ada penyertaan modal pemerintah ke Pertamina,  yang mau melakukan pengeboran gas di Sumatera Selatan.
Pemerintah mendorongnya untuk ikut tender, meskipun tidak punya  peralatan ngebor. Pemerintah memanggil perusahaan asing yang berpeluang  menang diminta untuk menyewakan alat, atau memakai orang-orang Medco  sebagai mitra. Tujuan pemerintah waktu itu adalah untuk membesarkan  pengusaha lokal. Namun, tanggapan dari perusahaan asing itu membuat Pak  Wiharso tersingung dan batal. Lalu Pak Wiharso memintanya menggarap  proyek itu sendirian. Arifin sama sekali tidak percaya dengan keputusan  itu karena ia tidak memiliki pengalaman melakukan pengeboran.
Hasilnya, ia kelabakan karena proyek yang ditenderkan tahun 1979  sudah harus mulai dikerjakan pada tahun 1980. Dengan perasaan yakin, ia  pun terima tantangan itu. Tahap awal ia instruksikan staf yang memiliki  kemampuan bahasa Inggris untuk menjajaki pusat penjualan peralatan  pengeboran di AS. Baru setelah ada kepastian dan diketahui harganya, ia  terbang dari Jakarta ke Houston, AS. Perjalanan itu merupakan pengalaman  pertamanya ke AS. Bermodal “bahasa Inggris Tarzan” dan uang 300.000  dollar AS, ia melakukan deal dengan pemilik barang. Hasilnya, deal  berangsung buruk.
Penjual barang meminta dalam waktu dua minggu barang seharga 4 juta  dollar AS sudah dibayar, kalau tidak maka uang muka 300.000 dollar AS  hangus. Ia terpaksa menerima syarat itu karena posisi tawarnya yang  jelek. Setelah itu ia langsung terbang ke Indonesia. Saking panjangnya  perjalanan dengan tiket ekonomi, tiba di Indonesia langsung sakit.  Namun, dengan kondisi yang berat ia berusaha menemui Gubernur Bank  Indonesia Rachmat Saleh, lalu ke Pertamina.
Cara itu merupakan langkah terakhir yang harus dilakukan karena ia  masih merupakan pengusaha “bayi”. Beruntung, Pak Piet Haryono dan Pak  Wiharso memberikan rekomendasi, Medco patut dibantu. Dana pun cair di  ambang batas perjanjian. Proyek pun bisa berjalan sesuai waktu yang  ditentukan pemerintah.
Terhadap bantuan yang diberikan pemerintah itu, Arifin menilai sangat  positif agar pengusaha lokal mampu bersaing. Namun, tetap harus  dilakukan secara betul karena kalau tidak bisa, jadi salah arah. Di  sinilah sulitnya, kadang proteksi itu memberikan hasil yang sebaliknya.  Mumpung dikasih proteksi, pengusaha malah menjadi manja.
Setelah merintis usaha tahun 80-an, Medco memulai kejayaannya pada  tahun 1990. Sebelum tahun 1990 Medco selalu bekerja sama dengan pihak  ketiga dan untuk masuk ke sana bukan hanya masalah konsistensi ketekunan  dan normatif, tetapi juga urusan garis tangan sebagai penentu. Sebab,  untuk memburu satu sumur minyak bukan urusan ribuan dollar AS, tetapi  jutaan dollar AS dan itu pun belum tentu ketemu minyaknya.
Namun, keinginan untuk bisa mandiri tetap ada, maka tahun 1990 untuk  pertama kali Arifin membeli sumur minyak di Tarakan, Kalimantan Timur,  seharga 13 juta dollar AS. Ladang itu mampu berproduksi 4.000 barrel per  hari (bph). Tahun 1995, beli lagi sumur minyak tertua PT Stanvac  Indonesia milik ExxonMobil, yang sampai saat ini total produksi yang  dimiliki Medco mencapai 80.000 bph.
Barangkali inilah prestasi paling gemilang dari Arifin dan  perusahaannya, Meta Epsi Drilling Company (Medco). Pembelian Stanvac  dimenangkan melalui tender yang kemudian namanya diubah menjadi Expan.  Dengan pembelian itu, PT Stanvac tidak lagi dikuasai orang asing sebab  perusahaan minyak tertua di Indonesia itu sudah dimiliki sepenuhnya oleh  Medco.
Keberhasilan itu konon karena ada unsur tekanan dari pemerintah. Atas  isu tersebut, Arifin membeberkan bahwa ia membeli perusahaan minyak itu  melalui tender intemasional. Untuk bertemu langsung dengan orangnya  saja tidak bisa. Baru setelah selesai pembelian, mereka bisa benar-benar  bertemu. Ia membelinya secara langsung. Waktu itu cadangannya cuma 20  juta. Kemudian tahun 1996 produksi digenjot. Hasilnya, satu lapangan  saja bisa mendapatkan 320 juta barel minyak.
Sukses di bidang perminyakan ternyata membuat Arifin berpikir lain  masih dalam sektor tambang. Kenapa orang lokal tidak bisa berjaya di  gas, seperti halnya di minyak. Padahal Indonesia kan salah satu produsen  gas terbesar di dunia dan banyak industri yang berteriak kekurangan  gas? Pernyaan inilah yang kerap membuatnya gundah. Jika kita lihat pada  satu sisi, Indonesia menempati posisi nomor satu di dunia dalam ekspor  LNG karena cadangan gas jauh lebih banyak dari minyak. Kini, cadangan  sudah mencapai 170 triliun kaki kubik (TCF). Jika cadangan itu  diproduksi, sampai 50 tahun pun tidak akan habis.
Gas itu ada di luar Pulau Jawa, tetapi tetap harus harus dibawa ke  Pulau Jawa karena berapa pun harganya tetap menarik. Misalnya PLN, jika  membeli gas harganya hanya 3 dollar per million metric british thermal  unit (MMBTU) sudah sangat mewah. Namun, kalau disetarakan dengan BBM  sama dengan 18 dollar AS per barrel. Harga itu sangat murah dibandingkan  harga BBM yang harus dibayar PLN sebesar 30 dollar AS per barrel.
Namun, kembali lagi, kenapa gas tidak ada di Pulau Jawa, ini masalah  kebijakan pemerintah. Jadi, mestinya Bappenas atau Menteri bidang Ekuin  sama memikirkan, apakah terus bergantung minyak yang harganya 30 dollar  AS per barrel. Medco menjual ke Pusri 1,8 dollar AS ditambah ongkos pipa  0,5 sen dollar, sudah bisa untung.
Inilah yang ia anggap kebijakan itu keliru. Demikian juga proyek yang  dibangun oleh PT Perusahaan Gas Negara, yang berhasil menyambung pipa  gas ke Singapura, setelah itu membangun pipa ke Pulau Jawa adalah  kebijakan yang salah. Gas di Sumsel sebenarnya tak banyak lagi, jadi  seharusnya dibawa ke Jawa saja. Tetapi, barangkali pemeritah memiliki  pertimbangan harga di Singapura yang barangkali lebih baik.
Sukses di dunia bisnis membuatnya ikut berpetualang ke dunia politik.  Awalnya ia melakukan pertemuan di Hotel Radisson Yogyakarta tahun 1997.  Sebenarnya itu adalah pertemuan atau diskusi biasa. Namun, efeknya luar  biasa, khususnya buat Arifin. Ia dituduh berupaya menggagalkan Sidang  Umum MPR yang akan mengesahkan Soeharto menjadi Presiden ketujuh  kalinya.
Ketika aksi mahasiswa semakin memanas, Arifin memberi bantuan  konsumsi kepada para demonstran yang melakukan aksi di Gedung DPR.  Ribuan kotak makanan dikirim. Tak heran jika kemudian muncul opini bahwa  Arifin adalah tokoh di belakang aksi atau cukong para mahasiswa. Namun,  Arifin tahu bahwa ia tidak sendiri. Gerakan reformasi merupakan suratan  untuk memperbaiki keadaan.
Cobaan terhadap langkahnya di dunia politik masih berlanjut. Di era  Presiden BJ Habibie, Arifin Panigoro kembali dijerat dengan tuduhan  pidana korupsi penyalahgunaan commercial paper senilai lebih dari Rp 1,8  triliun. Pada waktu itu, sejumlah kalangan percaya dijeratnya Arifin  karena kedekatannya dengan gerakan mahasiswa. Bahkan pada masa  pemerintahan Megawati, Arifin kembali dicoba untuk dijerat lewat perkara  di kejaksaan. Sejak awal, dirinya yakin hanya dikerjain karena masih  banyak pihak yang tidak senang dengan aktivitas politik yang digeluti.
Pengalamannya sebagai pengusaha membuat dia tidak kaget dengan  praktik politik karena di dalamnya ada aktivitas melobi atau menggarap,  juga money politics. Baginya, hari-hari uang adalah urusannya. Dari  permulaan bekerja sebagai pengusaha, ia tidak pernah buat kesepakatan  dengan fasilitas yang diperolehnya.
Demikian juga dengan urusan politik yang juga bagian dari kompromi  lintas fraksi, kesepakatan semua kekuatan. Hal-hal begitu tidak selalu  pakai uang, cukup pengertian bahwa kita punya sesuatu yang lebih besar,  mari kita jalani sama-sama. Namun, perjalanan tidak selalu mulus, godaan  banyak. Apalagi kekuatan politik sekarang sesudah zaman Soeharto,  relatif pemainnya baru semua.
Meskipun terbiasa bermain dengan uang, namun Arifin mengaku memiliki  batasan dalam memainkan uangnya. Sayangnya, proses politik atau proses  pengambilan keputusan politik, ternyata uang yang berbicara. Padahal,  meskipun ia seorang pebisnis, tetapi ia mau bisnis tanpa uang. Meskipun  ia mengaku, cara bisnisnya memang tidak sebersih di AS. Di negara itu,  mentraktir makan di atas 100 dollar AS sudah termasuk kategori sogokan.  Ia tidak begitu amat, tetapi mendambakan good government and corporate  governance, supaya bisa membuat bangsa ini ke depan lebih baik.
Ia berhitung, hari ini, uang dihabiskan untuk apa saja. Ia mau  menghitung berapa total uang yang dikeluarkan dalam pemilihan kepala  daerah di Indonesia, yang akan membebani APBD setiap daerah. Jangan  lupa, itu uang rakyat dari pajak. Kalau pemimpinnya main, tentu  menggelembungkan dana proyek, tentu bawahan juga ikut ambil bagian.  Dengan demikian korupsi akibat kedudukan bisa menimbulkan efek berantai,  jika dana diselewengkan Rp 1 triliun, uang rakyat yang bakal hilang  sekitar Rp 10 triliun untuk pemilihan kepala daerah.
Perkenalannya lebih mendalam dengan dunia politik adalah ketika  partai-partai baru bermunculan tahun 1998-1999 setelah lengsernya  Soeharto dari kursi presiden. Pada awalnya, Arifin menjalin hubungan  dengan berbagai tokoh politik, baik tokoh masyarakat yan sudah lama  dikenal maupun tokoh yang baru muncul. Saat deklarasi partai baru  dilangsungkan, Arifin kerap menghadirinya. Namun, akhirnya pilihannya  jatuh ke PDI Perjuangan yang dipimpin Megawati Soekarnoputri. Bersama  PDIP, Arifin pun melenggang menuju Senayan sebagai anggota DPR/MPR.
Untuk kategori pemain baru di dunia politik, sebenarnya karir politik  Arifin terbailang bagus. Ia bisa duduk di jajaran DPP partai peraih  suara terbanyak dalam pemilu. Ia pernah memimpin lintas fraksi, juga  menjadi Ketua Fraksi PDIP MPR. Namun, dunia politik memang seperti cuaca  yang cepat berubah. Arifin yang kerap dikenal sebagai anak “indekos” di  partai berlambang banteng merah gemuk itu dianggap sudah kurang loyal  kepada partainya dan mulai memihak lawan partai politiknya bernaung.
Arifin Panigoro yang dulu dianggap sebagai inspirator pembangunan  jalan mulus Presiden Megawati menuju kursi kepresidenan, kini dianggap  sebagai anak yang nakal. Isu pun merebak bahwa Arifin bakal dipecat.  Namun, hingga saat ini, isu tersebut tidak berbuah menjadi kenyataan.
Terhadap isu tersebut, ia berpendapat kalau dirinya dikeluarkan,  sepertinya ia harus membuat acara perpisahan dengan teman-teman. Tetapi,  sebetulnya ia sudah memikirkan untuk keluar. Menurutnya, kalau  dikeluarkan dirinya akan lebih senang. Seperti orang kerja, kalau  berhenti tidak dapat pesangon, kalau diberhentikan malah dapat pesangon.
Meskipun siap untuk keluar, namun mengenai masa depan politiknya  masih belum jelas, dan ia sendiri masih belum bisa mengira-ngira ke mana  akan berlabuh. Hal itu terjadi karena dari tahun 1998 ia termasuk  non-partisan, meskipun belakangan bergabung ke partai. Awalnya, ia  datang pada setiap acara peresmian partai baru, sampai akhirnya  bergabung dengan PDIP.
Arifin menganggap dirinya sebagai seorang oportunis yang iseng-iseng.  Atau ia hanya ingin ada lima tahun periode yang lain, tidak hanya  menjadi seorang pengusaha.Tetapi yang pasti, hematnya, konyol jika  berhenti lalu serta-merta melawan PDIP, apalagi mau menggulingkan  Megawati.
Jika benar-benar mundur dari dunia politik, kemungkinan ia akan  relaksasi dan bermain golf di Paris atau mencari sekolah khusus untuk  mereka yang sudah berumur di kota yang mempunyai makanan yang enak-enak.  Mungkin enam bulan istirahat dulu.
Ia juga termasuk orang yang respek terhadap cendekiawan muslim  Noercholish Madjid (Cak Nur). Menurutnya, Cak Nur itu bukan politikus,  tetapi berminat jadi presiden. Ketika pertama kali mengemukakan minatnya  jadi presiden Arifin termasuk orang yang awal-awal mendatangi dan  bertanya, ternyata jawabannya memang mau. Pikirnya, siapa pun ini, dia  dari unsur yang berbeda dibandingkan politikus yang lain. Dengan  demikian bisa menjadi ukuran moral, sebab moral juga harus terukur.  Paling tidak, politikus ada malu-malu sedikit. Jadi, pencalonan Cak Nur,  sebenarnya dapat meningkatkan kualitas pertandingan.
Mengenai kehidupan keluarganya, suami dari Raisis A Panigoro cukup  bahagia. Anak-anaknya sudah besar, bahkan yang tertua Maera Hanafiah  sudah menikah dan sebentar lagi dikarunia anak kedua. Adapun yang bungsu  Yaser Mairi sedang menambah pendidikan di Singapura pada bidang IT.  Sekarang, meskipun agak telat, ia sadar, kalau dirinya kurang memberikan  perhatian kepada anak-anak, karena jam kerja yang ngawur. Sekarang,  sejak sekolah di luar negeri, anak-anaknya seakan-akan lupa dengan orang  tua.
Meskipun anak-anak itu bersekolah di luar negeri, namun tidak ada  yang secara khusus disiapkan menggantikannya. Anak pertamanya seorang  ibu rumah tangga, anak kedua tidak dipersiapkan untuk itu. Prinsipnya,  Medco bukan perusahaan keluarga, jadi sebaiknya dijalankan oleh  profesional. Kebetulan, adiknya orang minyak. Jadi, Hilmi Panigoro duduk  Medco.
Ia juga tidak akan memaksakan anak-anak untuk meneruskan usaha orang  tuanya. Jika kapasitasnya sudah dipenuhi, silakan saja kalau mau  meneruskan. Ia mengaku tidak takut jika perusahaannya dipegang oleh  orang lain, toh semua aset, cadangan tidak ke mana-mana.
Meskipun kini sudah menjadi “raja minyak”, suami dari Raisis A  Panigoro ini mengaku, kaya itu relatif. Dia mengaku tak pernah  menghitung, apakah dirinya kaya atau tidak, sebab semua hidup yang  dijalani terus menggelinding. Baginya, disebut kaya itu relatif, kalau  di Indonesia, seperti dirinya memang sudah menonjol. Sebagai orang yang  beberapa kali dicekal untuk bepergian ke luar negeri, ia pun bertanya  untuk apa kekayaan itu.
Sebagai orang yang romantis, ia mengaku merasa benar-benar kaya,  kalau berada dalam satu konser musik yang benar-benar disukai. Seperti  saat ini, setelah bisa menikmati alunan gamelan Jawa, maka setiap  mendengar musik Jawa itu sebelum tidur, dia merasa kaya. Jadi, baginya  kaya cukup sederhana, bukan harta melimpah atau kekuasaan.
Arifin juga sadar, suatu saat akan pendiun sebagai orang perminyakan.  Namun, tidak berarti ia akan berdiam diri. Ia merencanakan untuk  memfokuskan ke Medco yang lain yaitu di bidang agrobisnis. Sekarang ini  orang sedang banyak bicara tentang pertanian. Masalah minyak goreng yang  masih kurang kelapa sawitnya. Mungkin itu adalah salah satu pelabuhan  yang akan ditujunya kemudian.
Nama : Arifin Panigoro
Lahir : Bandung, 14 Maret 1945
Agama : Islam
Isteri : Raisis A Panigoro
Anak : Maera Hanafiah
Yaser Mairi
Lahir : Bandung, 14 Maret 1945
Agama : Islam
Isteri : Raisis A Panigoro
Anak : Maera Hanafiah
Yaser Mairi
Pendidikan:
Lulusan Jurusan Elektro, Institut Teknologi Bandung, 1973
Mengikuti Senior Executive Programme Institute of Business Administration di Fountainebleau, Prancis yang dikoordinir oleh Kadin, 1979
Lulusan Jurusan Elektro, Institut Teknologi Bandung, 1973
Mengikuti Senior Executive Programme Institute of Business Administration di Fountainebleau, Prancis yang dikoordinir oleh Kadin, 1979
Pengalaman Kerja :
:: PT Meta Epsi Duta Corporation (Komisaris Utama), sejak 1989
:: PT Inti Persada Multi Graha (Presiden Direktur), sejak 1994
:: PT Meta energi Petrasanga (Komisaris), sejak 1994
:: PT Energi Patranagari (Komisaris), sejak 1994
:: PT Apexindo Pratama Duta (Komisaris) sejak 1987
:: PT Citra Panji Manunggal (Komisaris Utama) sejak 1987
:: PT Meta Epsi Engineering (Komisaris Utama) sejak 1983
:: PT Meta Epsi Antareja Drilling Co.(Komisaris Utama) sejak 1983
:: PT Bina Karya Pariwisindo (Komisaris) sejak 1981
:: PT Meta Epsi Sarana Graha (Presiden Komisaris) sejak 1994
:: PT Meta Epsi Agro (Komisaris) sejak 1994
:: PT Meta Epsi Duta Corporation (Komisaris Utama), sejak 1989
:: PT Inti Persada Multi Graha (Presiden Direktur), sejak 1994
:: PT Meta energi Petrasanga (Komisaris), sejak 1994
:: PT Energi Patranagari (Komisaris), sejak 1994
:: PT Apexindo Pratama Duta (Komisaris) sejak 1987
:: PT Citra Panji Manunggal (Komisaris Utama) sejak 1987
:: PT Meta Epsi Engineering (Komisaris Utama) sejak 1983
:: PT Meta Epsi Antareja Drilling Co.(Komisaris Utama) sejak 1983
:: PT Bina Karya Pariwisindo (Komisaris) sejak 1981
:: PT Meta Epsi Sarana Graha (Presiden Komisaris) sejak 1994
:: PT Meta Epsi Agro (Komisaris) sejak 1994
Jabatan Politik:
Ketua Fraksi PDI-P MPR RI 2002-2003
Ketua Fraksi PDI-P MPR RI 2002-2003
Organisasi :
:: Yayasan Padamu Negeri (Ketua Umum) 1991-sekarang,
:: Ikatan Alumni Elektro ITB (Ketua I ) 1989-sekarang,
:: Persatuan Insinyur Indonesia (Ketua Umum) 1994
:: Ketua DPP PDI-Perjuangan 1999
:: Yayasan Padamu Negeri (Ketua Umum) 1991-sekarang,
:: Ikatan Alumni Elektro ITB (Ketua I ) 1989-sekarang,
:: Persatuan Insinyur Indonesia (Ketua Umum) 1994
:: Ketua DPP PDI-Perjuangan 1999
Alamat Rumah:
Jalan Jenggala, Kebayoran Baru.
Jalan Jenggala, Kebayoran Baru.
Referensi 
- pengusahamuda.wordpress.com/biografi/
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar